Sejak terbitnya regulasi pertama pemberantasan korupsi pada tahun 1957 melalui Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957, regulasi dan badan anti korupsi silih berganti dilahirkan dan dibubarkan dengan berbagai alasan.Â
Pada awal mula pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim Persiapan Pembentukan KPK padai awal tahun 2000-an mempelajari apa syarat berhasilnya upaya pemberantasan korupsi. Saat itu (sampai sekarang) dunia meyakini bahwa upaya korupsi tidak bisa hanya dilakukan dengan upaya represif saja, namun harus melalui pendekatan tiga arah : (1) penyelidikan dan penanganan tindak kejahatan korupsi; (2) perbaikan sistem untuk mencegah korupsi di masa depan; serta(3) program pendidikan publik dan pemberdayaan masyarakat.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang 30/2002 tentang KPK kemudian dirumuskan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ironisnya, semangat memberantasi korupsi, selalu beriringan dengan temuan-temuan baru kasus korupsi. Meminjam kata-kata Buya Ahmad Syafii Maarif yang menyatakan bahwa elit bangsa kita mengalami "mati rasa". Penilain tersebut bertolak dari keprihatinan realitas elit yang cenderung berorientasi kepada kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan ketimbang bangsa. Para elit yang harusnya memberikan teladan budi pekerti, nilai-nilai luhur, kemanusiaan, kejujuran dan idealisme, justru berbanding terbalik malah mempertontonkan sikap yang melenceng dari nilai-nilai pancasila.
Yang perlu disadari bahwa korupsi muncul bukan hanya karena faktor kebutuhan (need) dan kesempatan (opportunity), melainkan juga karena faktor keserakahan (greed). Setiap individu memiliki potensi sifat serakah, tidak peduli dia berasal dari kalangan menengah bawah atau pun kaum kaya raya. Pada umumnya, sifat serakah muncul karena naluri ingin berfoya-foya, sifat hedonisme, ingin mendongkrak status sosial atau karena merasa tidak pernah puas. Individu yang serakah rela mengorbankan orang lain demi memuaskan nafsu keserakahannya.
Tak kurang, seniman Sudjiwo Tedjo, mengajak masyarakat untuk mengingat serta memperbaharui cita-cita bangsa untuk merdeka, agar diperoleh semangat yang sama untuk menolak korupsi sebagai musuh bangsa. Kita benahi lagi cita-cita bangsa ini, kalau kita tidak punya cita-cita bersama, semua orang kehilangan motivasi, kehilangan motivasi untuk bersih, karena tanpa cita-cita bersama, mau dibawa kemana negara ini.
Wayang KekinianÂ
Kearifan lokal merupakan suatu prinsip kognitif yang dipercaya dan diterima penganutnya sebagai sesuatu hal yang benar dan valid. Kearifan-kearifan ini menjadi serangkaian instruksi bagi masyarakat dalam kegiatan kesehariannya. termasuk didalamnya dukungan dalam upaya pencegahan korupsi.
Wayang kulit menjadi salah satu warisan budaya Indonesia yang memiliki nilai estetika dan kearifan lokal yang sangat kaya. Nenek moyang kita mewariskan nilai, budaya, dan norma kepemimpinan yang diekspresikan antara lain dalam cerita pewayangan.Â
Maka dari itu, seni pertunjukan wayang memiliki fungsi sebagai media tontonan (pementasan), tuntunan (suri tauladan), dan tatanan  (aturan).  Nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam pewayangan senantiasa mengajak masyarakat untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan, serta menanamkan kepada masyarakat semangat "amar ma'ruf nahi mungkar" atau istilah dalam pewayangan "memayu hayuning bebrayan agung" sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.
Namun demikian, warisan nilai yang adiluhung ini hampir tak dikenal lagi oleh generasi jaman now. Bahkan lebih sering dianggap kuno, jadul, dan tidak njamani lagi. Alasan generasi muda berjarak dengan wayang  disebabkan bahasa yang digunakan dalam wayang dianggap terlalu rumit sehingga sulit untuk dipelajari dan dipahami. Cerita atau lakon dan pesan sosial yang disampaikan cenderung berat. Bahkan pertunjukan wayang bercorak konvensional, durasi wayang terlalu lama dan frekuensi pergelaran wayang terhitung masih rendah. alasan lainnya yang menjadikan wayang nggak lagi menarik minat anak muda adalah penggunaan musik.Â