Mohon tunggu...
Era Sofiyah
Era Sofiyah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Buruh tulis

Hanya buruh tulis yang belajar tulus

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Praktik Baik Merdeka Belajar, Perspektif Ki Hajar dan Persemaian Sastra Gending

31 Mei 2023   20:03 Diperbarui: 31 Mei 2023   20:09 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

4. Selain itu, dengan adanya tema kearifan lokal pada Kurikulum Merdeka adalah bertujuan memperkenalkan setiap siswa kepada lingkungan sendiri, ikut melestarikan budaya daerahnya, termasuk kerajinan, keterampilan yang menghasilkan nilai ekonomi di daerahnya, memberikan bekal kemampuan, keterampilan untuk hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

6. Kurikulum Merdeka adalah kurikulum berbasis proyek yang bertujuan untuk mengembangkan soft skills dan karakter sesuai Profil Pelajar Pancasila. Ada enam karakter yang termasuk Profil Pelajar Pancasila. Keenam karakter pelajar Pancasila tersebut adalah Beriman bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia, Berkebinekaan Global, Gotong Royong, Mandiri, Bernalar Kritis, dan Kreatif.

Dari sini dapat ditarik benang merahnya, bahwa tolok ukur keberhasilan Kurikulum Merdeka adalah dari keceriaan (kebahagiaan) anak dan kemampuan mereka berkolaborasi menyelesaikan beragam persoalan. Selanjutnya, bagaimana guru berkolaborasi dengan lembaga pendidikan mampu menciptakan budaya perilaku positif dalam mencetak SDM yang berkualitas dari waktu ke waktu, agar semarak merdeka belajar yang digaungkan menteri Nadiem tak hanya isapan jempol belaka, hanya manis di mulut.

Sastra Gending

Ide dasar dari Ki Hajar memang indah. Jadikanlah sekolah sebagai taman bagi para siswa. Taman tempat mekarnya bunga-bunga bangsa, tempat memupuk semangat dengan lembaran kasih sayang-asih-asah dan asuh.

Tetapi bagaimana impian Ki Hajar itu bisa terwujud, manakala guru dibebani dengan target-target dan beban yang tidak ringan. Sementara dari rumah persoalan rumah tangga sudah seabrek yang dipikulnya. Instruksi yang diberikannya pun kelihatannya seperti momok. Guru kemudian menimpakan kekesalan tugasnya pada murid. 

Belum lagi penghargaan terhadap jerih payah guru hanya dihargai dengan sebutan 'Pahlawan tanpa tanda jasa'yang nota bene tidak bisa menopang kehidupan sehari-hari dengan layak, apalagi harus berpikir mengembangkan bidang keilmuannya. 

Oleh karena itulah bukan tanpa alasan kalau murid kemudian jadi obyek yang kadang harus dijejali dengan muatan-muatan materi kurikulum. Kadang tidak bisa dibedakan antara anak dan robot yang dituntut untuk menirukan keinginan gurunya. 

Sementara dari rumah anak sudah disetel demi keinginan orangtuanya. Seusai sekolah harus les, ini, itu atas dorongan orangtuanya agar anaknya menguasai ketrampilan tertentu yang nantinya diharapkan berguna bagi anaknya, dan tentu saja menopang prestise orangtuanya,  meskipun anaknya enggan untuk membantah perintah orangtuanya itu.

Yang sedikit memprihatinkan adalah pembinaan mental-spiritual anak, sedikit banyak terabaikan. Lebih parah lagi, anak kehilangan taman bermain, kehilangan kesempatan untuk bergembira. 

Kesekolah ibarat beban hidup yang sebenarnya tak diinginkan oleh anak. Oleh karena itu pelampiasannya pun macam-macam. Ada yang merokok, menegak minuman keras, ngepil, mencari kebebasan di mall dan pasar swalayan yang berkecenderungan bikin onar, tawuran dan masih banyak lain kegiatan negatif lainnya..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun