Mohon tunggu...
Era Sofiyah
Era Sofiyah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Buruh tulis

Hanya buruh tulis yang belajar tulus

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Praktik Baik Merdeka Belajar, Perspektif Ki Hajar dan Persemaian Sastra Gending

31 Mei 2023   20:03 Diperbarui: 31 Mei 2023   20:09 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setiap manusia tidak ada produk gagal dari Tuhan, dan setiap manusia punya keistimewaan serta punya 'ruang' masing-masing yang disediakan secara fitrah. Dan tugas guru adalah membantu anak menemukan 'ruang' yang sudah disediakan dalam kehidupan, sehingga tidak ada anak yang tidak punya tempat dalam kehidupan. 

Begitulah kira-kira pesan viral Ki Hajar Dewantara, bahwa sebenar-benarnya kurikulum pendidikan adalah yang menjadikan sebuah proses, iklim, suasana, budaya belajar yang memanusiakan manusia.  

Pendirian Taman Siswa (TS) menjadi bukti pengejawantahan dari magnum opus-nya sebagai maestro pendidikan Indonesia. Dengan mengusung sistem pendidikan among, seorang pendidik, baik orang tua atau guru, dan pemimpin pantang bersikap tut wuri (permisif, keserbabolehan) atau handayani (otoriter), tetapi harus bersikap tut wuri handayani (otoritarian, di belakang memberi dorongan). 

Murid dibina agar mampu "berjalan sendiri", menjadi manusia merdeka yang dapat mengambil keputusan bebas (value judgement). Menurut Ki Hajar, unsur-unsur Barat harus diselaraskan dengan tata nilai dan sosial budaya kehidupan bangsa. Prinsip harmoni merupakan prinsip dasar untuk "mencerna" pengaruh dari luar.

Demikian halnya, lahirnya Kurikulum Merdeka  menjadi jawaban atas krisis pembelajaran yang semakin bertambah akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan hilangnya pembelajaran (learning loss) dan meningkatnya kesenjangan pendidikan. 

Sebagai bagian dari upaya pemulihan pembelajaran, Kurikulum Merdeka (yang sebelumnya disebut sebagai kurikulum prototipe) dikembangkan sebagai kerangka kurikulum yang lebih fleksibel, sekaligus berfokus pada materi esensial serta pengembangan karakter dan kompetensi peserta didik. 

Jika dilihat dari perjalanannya, kurikulum Indonesia telah mengalami beberapa kali perombakan; Tahun 1947 Rencana Pelajaran, Tahun 1964 Rencana Pendidikan Sekolah Dasar, Tahun 1968 Kurikulum Sekolah Dasar, 1973 Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan, 1975 Kurikulum Sekolah Dasar, 1984 Kurikulum 1984, 1994 Kurikulum 1994, 1997 Revisi Kurikulum 1994, 2004 Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), 2006 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, 2013 Kurikulum 2013, 2022 Kurikulum Merdeka. 

Lalu, mengapa terjadi perombakan kurikulum berkali-kali hingga sampai pada kurikulum merdeka? ada anekdot bahwa ganti menteri ganti kurikulum, namun secara akademis perombakan kurikulum tentu mempunyai alasan sendiri diantaranya:

1.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat. Di sisi lain, perkembangan psikologi, komunikasi, dan ilmu-ilmu lainnya mengarah pada penemuan teori-teori baru dan cara belajar mengajar. Kedua perkembangan di atas dengan sendirinya mendorong perubahan isi kurikulum dan strategi pelaksanaannya

2. Kebijakan pemerintah dalam perubahan kurikulum merupakan upaya memperbaiki kualitas pendidikan sehingga mempunyai daya saing dengan negara-negara luar, menuju perubahan yang lebih baik dan inovatif. 

3. Khusus dalam Kurikulum Merdeka, guru diberi kebebasan untuk memilih format, pengalaman, dan materi esensial yang cocok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan dari sisi prserta didik, mereka punya ruang seluas mungkin untuk mengeksplor keunikan dirinya masing-masing.

4. Selain itu, dengan adanya tema kearifan lokal pada Kurikulum Merdeka adalah bertujuan memperkenalkan setiap siswa kepada lingkungan sendiri, ikut melestarikan budaya daerahnya, termasuk kerajinan, keterampilan yang menghasilkan nilai ekonomi di daerahnya, memberikan bekal kemampuan, keterampilan untuk hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

6. Kurikulum Merdeka adalah kurikulum berbasis proyek yang bertujuan untuk mengembangkan soft skills dan karakter sesuai Profil Pelajar Pancasila. Ada enam karakter yang termasuk Profil Pelajar Pancasila. Keenam karakter pelajar Pancasila tersebut adalah Beriman bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia, Berkebinekaan Global, Gotong Royong, Mandiri, Bernalar Kritis, dan Kreatif.

Dari sini dapat ditarik benang merahnya, bahwa tolok ukur keberhasilan Kurikulum Merdeka adalah dari keceriaan (kebahagiaan) anak dan kemampuan mereka berkolaborasi menyelesaikan beragam persoalan. Selanjutnya, bagaimana guru berkolaborasi dengan lembaga pendidikan mampu menciptakan budaya perilaku positif dalam mencetak SDM yang berkualitas dari waktu ke waktu, agar semarak merdeka belajar yang digaungkan menteri Nadiem tak hanya isapan jempol belaka, hanya manis di mulut.

Sastra Gending

Ide dasar dari Ki Hajar memang indah. Jadikanlah sekolah sebagai taman bagi para siswa. Taman tempat mekarnya bunga-bunga bangsa, tempat memupuk semangat dengan lembaran kasih sayang-asih-asah dan asuh.

Tetapi bagaimana impian Ki Hajar itu bisa terwujud, manakala guru dibebani dengan target-target dan beban yang tidak ringan. Sementara dari rumah persoalan rumah tangga sudah seabrek yang dipikulnya. Instruksi yang diberikannya pun kelihatannya seperti momok. Guru kemudian menimpakan kekesalan tugasnya pada murid. 

Belum lagi penghargaan terhadap jerih payah guru hanya dihargai dengan sebutan 'Pahlawan tanpa tanda jasa'yang nota bene tidak bisa menopang kehidupan sehari-hari dengan layak, apalagi harus berpikir mengembangkan bidang keilmuannya. 

Oleh karena itulah bukan tanpa alasan kalau murid kemudian jadi obyek yang kadang harus dijejali dengan muatan-muatan materi kurikulum. Kadang tidak bisa dibedakan antara anak dan robot yang dituntut untuk menirukan keinginan gurunya. 

Sementara dari rumah anak sudah disetel demi keinginan orangtuanya. Seusai sekolah harus les, ini, itu atas dorongan orangtuanya agar anaknya menguasai ketrampilan tertentu yang nantinya diharapkan berguna bagi anaknya, dan tentu saja menopang prestise orangtuanya,  meskipun anaknya enggan untuk membantah perintah orangtuanya itu.

Yang sedikit memprihatinkan adalah pembinaan mental-spiritual anak, sedikit banyak terabaikan. Lebih parah lagi, anak kehilangan taman bermain, kehilangan kesempatan untuk bergembira. 

Kesekolah ibarat beban hidup yang sebenarnya tak diinginkan oleh anak. Oleh karena itu pelampiasannya pun macam-macam. Ada yang merokok, menegak minuman keras, ngepil, mencari kebebasan di mall dan pasar swalayan yang berkecenderungan bikin onar, tawuran dan masih banyak lain kegiatan negatif lainnya..

Pada titik ini, sekolah bukan lagi menjadi tempat yang nyaman bagi anak. Namun semua itu harus disadari semua pihak. Sebab faktor pendidikan sekolah ini amat memegang peran penting dalam menumbuhkembangkan anak, baik secara mental-spiritual maupun aspek lain. Kita lihat bagaimana ulah anak ketika mereka lulus dari SMP maupun SMA, mereka melepaskan kegembiraan di jalanan, seolah mau mengatakan bahwa mereka kini bebas. Padahal mereka masih harus mencari sekolah lanjutan lagi yang bagi orangtuanya bisa jadi bikin pusing tujuh keliling.

Ki Hajar sendiri sudah menurunkan semboyan yang diperas dari sebuah mahakarya Sultan Agung, Sastra Gending yakni 'Ing arsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani'. Teladan-teladan yang pantas dilihat anak. Sekolahnya boleh tradisional, tetapi cara pikirnya harus global. 'Think globally, act locally'.

Selanjutnya, Ki Hajar menjabarkan salah satu inti dari  'Sastra Gending' dalam bahasa yang gampang. Bisa kita bandingkan atau sejajarkan pemahaman Sastra Gending dengan dimensi psikologi anak yang digarap oleh pakar-pakar manca yang disebut dengan Intelegence quotient (IQ), Emotion Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), di Jawa disebut dengan Tata Basa, Tata Rasa dan Tata Brata. Hanya saja pemahaman akan budaya Jawa yang bertujuan 'Hamemayu hayuning bawana' sudah dilupakan oleh sebagian masyarakat Jawa khususnya, dan Nusantara pada umumnya.

Tata basa dimaksudkan anak diperkenalkan dengan etika dan tata cara hidup dengan menempatkan diri secara benar. Anak dibimbing untuk belatih 'udanegara,unggah-ungguh' menghormati orangtua, menghormati sesama dan lain sebagainya. Lewat bahasa, anak ditempa untuk memahami siapa dirinya sesungguhnya dan untuk apa ia hidup. Disini dibutuhkan ketrampilan untuk merangkai kata dan tindakan agar pemahaman akan bahasa disertai laku yang selaras.

Kemudian tata-rasa, adalah mengolah rasa, memahami jati diri manusia secara mendalam, bahwa manusia dan lingkungannya itu sesungguh-sungguhnya berasal dari sumber yang sama yakni Allah Yang Maha Esa, untuk apa berselisih, bertengkar. Didalam pemahaman ini mengalir pengertian untuk hidup rukun bergotong royong. Perbedaan yang ada bukan sebagai tantangan, tetapi justru sebagai warna-warni kehidupan. Manusia wajib memberi garisbawah pada warna-warni duniawi ini agar semakin indah dan bermakna bagi kehidupan dunia ini, sehingga makin membuat dunia nyaman untuk hidup.

Selanjutnya Tata Brata, menyiratkan keprihatinan, yang merupakan spirit hidup, semangat hidup yang mendekatkan diri kepada Yang Maha Esa. Bisa jadi didalam hal ini tata brata bisa merupakan sebuah kriteria untuk bertahan dan terus berkarya dalam semangat dasar kehidupan yang sangat kuat.  Struggle of live-- yang tinggi. Atau perjuangan hidup yang sangat dahsyat. Ketekunan menjadi landasan hidup masyarakat. Melakukan yang biasa secara luar biasa.

Demikian, kalau semangat ala wong Jowo ini mengemuka kembali dan didukung  kurikulum merdeka, kita patut optimis semangat bangsa ini kembali bersinar selaras dengan tembang kebangsaan ciptaan Wage Rudolf Supratman, dengan kata-kata 'bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya', bukan tidak mustahil harapan itu akan terwujud.

 

Referensi :

https://centroriau.id/2022/12/07/kurikulum-merdeka-peduli-budaya-lokal/

https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/02/kurikulum-merdeka-membangun-potensi-siswa-sesuai-fitrahnya

https://www.perwara.com/2017/tamansiswa-persemaian-kusuma-bangsa/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun