Maka dari itu, sangat dianjurkan bagi Presiden Jokowi untuk meniru Presiden Soeharto, dengan merangkul para tokoh-tokoh agama di Indonesia. Jikalau bapak presiden memang ingin menyukseskan program KB, perannya yang vital sebagai kepala negara harap digunakan semaksimal mungkin.
[caption caption="KB sukses Era Soeharto via Google Images"]
Bapak Presiden juga harus berkoordinasi dengan para pemerintah daerah agar meningkatkan kepedulian di desa-desa kecil daerahnya. Kunci sukses Orde Baru dalam menjalankan program KB adalah sistemnya yang terpusat saat itu. Namun, sejak era desentralisasi (Reformasi) hingga sekarang, banyak pemerintah daerah yang kurang mendukung program KB. Mereka lebih bersemangat untuk membangun infrastruktur ketimbang berinvestasi jangka panjang dalam program ini.
Padahal, masyarakat desa di pedalaman dan pinggiran Indonesia-lah yang menjadi prioritas untuk dibina. Di kota-kota besar, sangatlah mudah untuk mendapatkan alat-alat kontrasepsi (seperti Pil KB, kondom, dll) dari berbagai apotek. Ditambah lagi, biaya hidup yang tinggi di perkotaan membuat orang tua akan berpikir dua kali dalam memperbanyak keturunan. Lain halnya dengan di desa-desa terpecil. Darimana para ibu-ibu di desa mendapatkan pil KB? Untuk mendapatkan pil-pil kecil ini, mungkin mereka harus menempuh ribuan kilometer untuk sampai ke kota. Juga, faktor biaya hidup di desa tidak semahal biaya hidup di kota. Untuk apa berpikir dua kali dalam memperbanyak keturunan, kalau anak sangatlah dibutuhkan bagi mereka?
***
Ada satu pertanyaan yang masih mengganjal di benak saya perihal desa ini. Mengapa tanaman pare dan kencur saya lihat ada dimana-mana? Apa itu memang menjadi tanaman wajib desa ini? Atau apa?
Pak Slamet tersenyum mendengar pertanyaan saya. Ia bertutur bahwa tanaman pare dan kencur memang banyak ditanam di desa ini, atas saran seorang dokter yang dibawa BKKBN. Loh-loh, apa hubungannya dokter sama tanaman pare?
[caption caption="Tanaman Pare via Google Images"]
Ternyata, itu merupakan solusi yang dikembangkan oleh para masyarakat desa soal pencegahan keturunan. Mereka meminta kepada para kader BKKBN untuk membawa seorang dokter ahli ke desa ini, sehingga dokter tersebut dapat diminta nasehatnya mengenai tanaman kontrasepsi alami. Maklum, jarak desa ini yang jauh dari kota (mempersulit pengambilan kontrasepsi) dan banyaknya warga yang mengeluh karena mengonsumsi pil KB, membuat para tetua berpikir keras. Alhasil, sang dokter menyebutkan pare dan kencur dapat dijadikan ramuan yang kegunaannya hampir sama seperti pil KB. Maka, masyarakat mulai berbondong-bondong menanam pare dan kencur, di pekarangan dan sepanjang jalan desa. Para dokter itu juga membuat semacam ramuan obat bagi mereka, yang hingga kini masih dilestarikan dan digunakan penduduk.
Sebuah ide melintas di benak saya. Bukankah ini dapat menjadi solusi sederhana untuk Indonesia? Pendekatan semacam inilah yang bisa menjadi jurus ampuh bagi pemerintah. Idealnya, BKKBN dan Kementerian Kesehatan mampu bekerja sama dalam mencari tanaman alternatif pengganti pil KB, lalu menanamnya di desa itu. Inovasi ini akan mengatasi permasalahan jarak bagi desa-desa yang masih terpencil. Para dokter dan akademisi pun bisa mengajari para penduduk dalam membuat ramuan pencegah kehamilan sebelum berhubungan intim, agar tak perlu datang terus-menerus ke desa tersebut. Para tetua juga bisa digandeng, sehingga ada pengawasan langsung.
Apakah ini merupakan sebuah solusi yang ampuh, dalam meningkatkan program Keluarga Bencana di Indonesia? Saya hanya berharap ide kecil ini mampu dikembangkan oleh pihak yang lebih mumpuni. Toh, masyarakat kita-lah yang akan menikmati hasilnya. Dan, saya juga bermimpi, bahwa penduduk Indonesia bukan hanya berlimpah, namun juga berkualitas.