Pak Slamet tertawa saat saya menanyakan perihal kawin muda (kawin enom bahasa Jawanya) di desa itu. Ia teringat akan satu peristiwa unik yang pernah terjadi di tempat ini. Dan menurut beliau, dari situlah masyarakat mulai “melek” akan masalah perkawinan dan kelahiran.
Pernikahan dini sangatlah wajar di desa tersebut. Mereka tak tahu dan tak mau tahu bahwa usia yang dilegalkan oleh pemerintah bagi perempuan adalah minimal 16 tahun, dan lelaki minimal 19 tahun (UU Perkawinan No.1 Tahun 1974). Bagi mereka, laki-laki atau perempuan yang telah memasuki akil baligh, telah boleh untuk dinikahkan. Dan lagi-lagi, tetua adat dan ustad-lah yang berperan besar dalam mengijinkan hal ini.
Pada tahun 90-an, desa kecil itu dikejutkan oleh talak yang dilakukan oleh seorang suami berusia muda. Sangat disayangkan, talak tersebut dijatuhkan pada istrinya setelah hanya 4 bulan masa pernikahan mereka. Perceraian merupakan hal yang tidak wajar dan jarang sekali terjadi di kampung kecil itu. Otomatis, para warga banyak yang bertanya-tanya akan penyebabnya. Namun, tetua & ulama setempat waktu itu belum bisa memberikan jawaban yang pas.
Satu bulan berikutnya, kader BKKBN dari kota datang. Mendengar adanya perceraian dini disitu, para kader segera turun ke lapangan. Penduduk desa yang masih penasaran, lantas bertanya pada para kader. Apa jawabnya?
“Makane, Buk, Pak. Putra-putrine ora oleh rabi sek, lek umure durung jangkep 20 tahun. Nah, lek wes ngono iku, kepiye?”[1], begitulah jawaban dari seorang kader yang masih diingat oleh Pak Slamet.
Semenjak saat itu, penduduk desa lebih perhatian akan penyuluhan yang disampaikan lagi oleh BKKBN. Hasilnya? Menggembirakan. Jumlah kelahiran di desa itu menurun dari tahun ke tahun. Angka pernikahan dini pun turun drastis. Para orang tua juga mulai mengikis budaya pernikahan dini, dan berangsur-angsur meninggalkannya. Sekarang, kata Pak Slamet, sangat jarang dijumpai pernikahan di bawah usia 20 tahun.
Para kader BKKBN ini juga telah merangkul pemuka agama dan para tetua di desa. Dengan dirangkulnya para ustad dan tetua, diharapkan masing-masing pihak bahu-membahu untuk menyukseskan program KB dan mencegah pernikahan dini.
SOLUSI DENGAN MERANGKUL KAUM AGAMA DAN ADAT, ADA LAGI?
Banyak pengamat dan akademisi masih berseteru akan batas minimal perkawinan. Mereka lebih suka memperdebatkan angka diatas kertas dari pada merancang praktik jitu di lapangan. Saya memanglah bukan seorang akademisi, namun bukankah setiap gagasan harus dipertimbangkan?
Presiden Soeharto sukses menekan jumlah kelahiran penduduk pada masanya. Selain memberikan sosialisasi yang intens di masing-masing daerah, Bapak Pembangunan ini juga menggandeng sejumlah tokoh agama di bumi pertiwi. Hasilnya, Total Fertility Rate yang semula 5,6 pada tahun 1970-2000, menurun menjadi 2,8 pada tahun 2000 lebih[2].