Surat tanpa alamat pengirim itu kutemukan di depan pintu, sehari setelah pulangnya aku dari penjara. Bertahun-tahun hidup sebagai sampah masyarakat, menyadarkanku bahwa surat jenis seperti itu diabaikan saja, toh kadangkala isinya penipuan. Tapi keingintahuanku membuncah, gemas bila tak membukanya. Maka biar aku baca sejenak.
-7.379036,109.898213Â
Koordinat harta karun senilai lebih dari empat miliar rupiah!
Sekilas saja aku terperangah, tapi lekas menggeleng. Surat itu kelewat menggiurkan bila bukan tipu daya saja, lebih-lebih tanpa alamat pengirim. Aku remas dan lempar surat itu ke pojokkan. Sialnya, waktuku terbuang, padahal perlu bergegas pergi melamar perusahaan hari ini.
Aku pergi sambil berdoa dan menciumi CV-ku yang lalu kuberikan pada perusahaan incaran, lalu pulang dengan jantung berdebar kencang. Aku harap, bilamana mungkin, mendapat pekerjaan baik-baik demi unjuk gigi pada emak, supaya menerimaku sebagai anak lanangnya. Barulah aku akan minggat dari kota kumuh ini, meninggalkan tuduhan besar yang telah memenjarakanku.
Lalu begitu sampai pintu rumah, email perusahaan sebelumnya sudah masuk. "Kau Mahbubuddin yang bunuh Pak Raheem?" kata si email. "Kami bukan tempat ibadah; kami menerima pekerja baik-baik, bukan seorang dalam pertobatan."
Kalimat tak sedap dibaca itu menghunus hatiku tanpa membuatnya berdarah-darah. Maka dengan berat hati aku coret nama perusahaan pertama itu dalam daftar catatanku.
Aku pun mengetik email untuk perusahaan itu, "Maafkan saya. Namun sungguh, kebenaran sebetulnya---"
Aku berhenti mengetik, menyadari belum adanya bukti untuk kebenaran itu. Maka biarlah kebenarannya masih tersimpan sejenak. Kelak mesti akan terkuak.
Besuknya perusahaan kedua pun menolakku hanya dalam lima menit. Kejadiannya terus begitu---lamar-tolak---hingga sebulan kemudian, semua nama perusahaan di catatanku sudah dicoret. Banting tulangku tak dihargai, membuat perutku mulai menonjolkan tulang-tulang rusuknya.
Maka biar sejenak aku lahap nasi berjamur, yang sudah itu sepiring terakhir, pun rasanya mirip kaki cecak.
Aku mohon, adakah yang mungkin ada mau mengirimiku barang segenggam padi?
Atau setidaknya, adakah yang mungkin punya bukti untuk menguak kebenaran bahwa aku hanya korban?
Besuknya, sambil aku peluk perut cekung yang keroncongnya seolah mengguncang usus hingga mual, biar kutelepon emak. Aku duga emak tak akan menjawab, tetapi deringnya berdengung lama.
Apakah mungkin emak hendak menjawab? Tapi bukannya emak tak pernah mengharapkanku?
Sewaktu aku kecil, emak pernah bilang bahwa setiap melihatku dia ingat tragedi malam itu, membuat traumanya terbuka kembali. Sewaktu aku remaja, emak pernah bilang bahwa begitu aku lahir, emak hanya bisa gigit jari. Sewaktu aku tertangkap polisi, emak pernah bilang, "Pergi dari hadapanku, putra iblis!"
Emak, Mahbubuddin hanya tertuduh. Emak, Mahbubuddin sayang emak.
Dering teleponku berhenti. Begitu aku telepon lagi sambil berjalan-jalan dengan resah, kudengar sesuatu dari balik pintu halaman belakang. Suara gemetar perlahan, begitu lembut tetapi berdengung, seolah terbenam air. Aku tahu jelas apa itu.
Dering telepon.
Aku lekas membuka pintu. Dan langsung bertemu emak.
Emak di sana, dalam daster kuning hasil curianku dahulu, yang berubah warna menjadi merah segar. Perut emak mekar, kulitnya mencuat-cuat, memerahkan logam pisau yang masih menancap. Darahnya menetes. Merembes ke tanah.
Aku membeku. Sang pembunuh baru saja meninggalkan rumah ini.
***
Kutahu bahwa polisi angkat bahu dari kasus ini, makanya sebulan penuh kasus emak belum terpecahkan. Padahal kucuri dengar kalau mereka melihat pelaku keparat itu, dan tahu jika itu bukan aku. Dan entah untung atau apa, aku tak dituduh untuk yang satu itu. Pun masih bernapas.
Tapi untuk apa? Emak telah tiada, untuk apa lagi hidupku?
Untuk apa... kecuali supaya suaraku didengar semua orang, bahwa bukanlah aku sesungguhnya yang membunuh Pak Raheem?
Kuingat begitu erat malam itu. Malam saat kudatangi kediaman Pak Raheem, memasukkan benda berharga apa saja ke dalam kausku. Tapi sial, jari kelingking kakiku mematok kaki meja, membuatku meraung, "Hoaa!". Pak Raheem gegas muncul dan mengejarku dengan telepon di tangannya.
Kami berlari menembus halaman rumah, pematang jalan, hingga jalan besar. Begitu aku selesai menyeberang dan menatap belakang, aku sudah tidak dikejar. Pak Raheem justru berbaring di tengah-tengah jalan, berlumuran merah.
Putra Pak Raheem, Khawas, melihatku dan mengataiku, "Keparat! Kelakuanmu busuk seperti identitasmu! Akan aku balas kau keparat!"
Yang kutahu, Khawas tak pernah melanggar ucapannya. Dia melaporkanku. Para polisi lebih memercayai kesaksian palsunya yang dibuat-buat dengan dera air mata, daripada pengakuanku yang memangku hasil curian. Semenjak itu, aku dicap sebagai pembunuh.
Padahal aku hanya mau nafkah Pak Raheem. Aku hanya mau gigolo itu membayar yang dilakukannya pada emak.
Kini aku hanya perlu didengarkan. Maka biar aku kenakan setelan terbaikku---kemeja dan pantalon bekas sekolah dahulu yang logonya sudah dicabut---menuju kantor polisi. Begitu aku genggam gagang pintu, kulihat ujung ruangan.
Surat itu. Surat harta karun itu.
Bila surat itu benar, aku akan punya kuasa untuk didengarkan.
Aku menelan ludah.
Kupejamkan mata dan menggeleng, lantas keluar. Betul-betul baru sampai depan, seseorang yang lewat dengan anjingnya menggonggong padaku, bicara, "Kau mau membunuh lagi?"
Maka saat orang itu mulai mengangkat teleponnya, aku berteriak padanya, "Hia'!"
Tapi dia mengernyit memandangku jijik, sambil berkata, "Kau menghinaku? Kau pikir aku tak tahu ucapanmu, cacat? Kau mengataiku, bukan?"
Dia mengangkat teleponnya.
Aku buru-buru masuk kembali ke rumah. Aku ambruk dan bersandar pintu, tubuhku terguncang hebat. Aku meringkuk, memeluk diriku sendiri. Saat aku mulai terisak, kulirik surat itu kembali.
Tak ada jalan lain.
Aku mengernyit, meraihnya, dan membuka telepon. Langsung kucari titik koordinat itu dengan tangan gemetar.
Lokasi keluar. Betul-betul ada. Harta karun itu tersembunyi di bawah jembatan utama. Aku berangkat, mengacuhkan seseorang dengan anjing yang masih menggonggongiku itu. "Hey cacat! Berhenti kau! Aku betul-betul akan menelepon polisi!"
Barangkali surat itu memang tipuan, sebab begitu aku sampai di sana, yang ada hanya sungai hijau beraroma bangkai tikus, dengan lumut dan kerak hitam di sekelilingnya. Tapi tak ada jalan lain. Aku mencebur ke sungai hijau kental itu, tak peduli dengan setelan terbaikku, merogoh-rogoh dasar sungai.
Tanganku menyentuh sebuah kotak kecil seperti peti yang dengan gegas kubawa ke daratan. Namun sayang, itu hanya bongkahan kayu. Lantas aku mencebur kembali, dan kembali, dan kembali. Sampai saat aku duduk di daratan, memandang ke luar bawah jembatan, awan tengah menangis.
Sama seperti lamaran pekerjaanku, yang kudapat hanya lelah. Aku dituduh, aku dicemooh, aku ditipu. Maka biarlah kupejamkan mata, mengharapkan mati. Mungkin mati dalam kesendirian dan keheningan lebih baik dibanding hidup lebih lama lagi.
Tapi rupanya tidak begitu. Begitu sengatan panas menghunusku, aku sontak membuka mata. Kulihat kilap pisau menembus dadaku.
Pisau itu lalu tercabut. Aku menggeliat-geliat dan berguling, menjauhi pria di hadapanku. Tapi pisau itu kembali meraihku, merobek kulitku. Tak tahu berapa kali dia menusuk, tetapi aku kehabisan tenaga. Aku berbaring lunglai.
Dunia seolah meredup. Kabut timbul hampir menutup segalanya. Tapi sebelum itu, kudapati kilap pisau menyinari wajah pria itu. Khawas. Si penipu cengeng itu.
"Jiwa dibalas jiwa," katanya, mendesis tepat di telingaku. "Kecelakaan yang menghabisi ayahku, dibalas ibumu. Harta dibalas harta. Harta ayahku kau renggut, maka biar aku merenggut hartamu."
Khawas meringis, saat napas panjang kutarik dalam-dalam. "Kau harta karunku. Satu ginjal bisa bernilai dua miliar."
Suara terakhir yang kudengar ialah sirene polisi. Dan juga gonggongan anjing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H