***
Kutahu bahwa polisi angkat bahu dari kasus ini, makanya sebulan penuh kasus emak belum terpecahkan. Padahal kucuri dengar kalau mereka melihat pelaku keparat itu, dan tahu jika itu bukan aku. Dan entah untung atau apa, aku tak dituduh untuk yang satu itu. Pun masih bernapas.
Tapi untuk apa? Emak telah tiada, untuk apa lagi hidupku?
Untuk apa... kecuali supaya suaraku didengar semua orang, bahwa bukanlah aku sesungguhnya yang membunuh Pak Raheem?
Kuingat begitu erat malam itu. Malam saat kudatangi kediaman Pak Raheem, memasukkan benda berharga apa saja ke dalam kausku. Tapi sial, jari kelingking kakiku mematok kaki meja, membuatku meraung, "Hoaa!". Pak Raheem gegas muncul dan mengejarku dengan telepon di tangannya.
Kami berlari menembus halaman rumah, pematang jalan, hingga jalan besar. Begitu aku selesai menyeberang dan menatap belakang, aku sudah tidak dikejar. Pak Raheem justru berbaring di tengah-tengah jalan, berlumuran merah.
Putra Pak Raheem, Khawas, melihatku dan mengataiku, "Keparat! Kelakuanmu busuk seperti identitasmu! Akan aku balas kau keparat!"
Yang kutahu, Khawas tak pernah melanggar ucapannya. Dia melaporkanku. Para polisi lebih memercayai kesaksian palsunya yang dibuat-buat dengan dera air mata, daripada pengakuanku yang memangku hasil curian. Semenjak itu, aku dicap sebagai pembunuh.
Padahal aku hanya mau nafkah Pak Raheem. Aku hanya mau gigolo itu membayar yang dilakukannya pada emak.
Kini aku hanya perlu didengarkan. Maka biar aku kenakan setelan terbaikku---kemeja dan pantalon bekas sekolah dahulu yang logonya sudah dicabut---menuju kantor polisi. Begitu aku genggam gagang pintu, kulihat ujung ruangan.
Surat itu. Surat harta karun itu.