Mohon tunggu...
Er Agapi
Er Agapi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penggemar filsuf dari Socrates sampai Nietzsche, penggemar sejarah dari Dark Age sampai Soviet, penggemar sains dari Big Bang sampai God Particle, penggemar artist dari Michaelangelo sampai J.M.W. Turner. Saya pun suka Pedro Lopez....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jiwa Dibalas Jiwa, Harta Dibalas Harta - Cerpen

25 Maret 2024   19:49 Diperbarui: 26 Maret 2024   18:37 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

***

Kutahu bahwa polisi angkat bahu dari kasus ini, makanya sebulan penuh kasus emak belum terpecahkan. Padahal kucuri dengar kalau mereka melihat pelaku keparat itu, dan tahu jika itu bukan aku. Dan entah untung atau apa, aku tak dituduh untuk yang satu itu. Pun masih bernapas.

Tapi untuk apa? Emak telah tiada, untuk apa lagi hidupku?

Untuk apa... kecuali supaya suaraku didengar semua orang, bahwa bukanlah aku sesungguhnya yang membunuh Pak Raheem?

Kuingat begitu erat malam itu. Malam saat kudatangi kediaman Pak Raheem, memasukkan benda berharga apa saja ke dalam kausku. Tapi sial, jari kelingking kakiku mematok kaki meja, membuatku meraung, "Hoaa!". Pak Raheem gegas muncul dan mengejarku dengan telepon di tangannya.

Kami berlari menembus halaman rumah, pematang jalan, hingga jalan besar. Begitu aku selesai menyeberang dan menatap belakang, aku sudah tidak dikejar. Pak Raheem justru berbaring di tengah-tengah jalan, berlumuran merah.

Putra Pak Raheem, Khawas, melihatku dan mengataiku, "Keparat! Kelakuanmu busuk seperti identitasmu! Akan aku balas kau keparat!"

Yang kutahu, Khawas tak pernah melanggar ucapannya. Dia melaporkanku. Para polisi lebih memercayai kesaksian palsunya yang dibuat-buat dengan dera air mata, daripada pengakuanku yang memangku hasil curian. Semenjak itu, aku dicap sebagai pembunuh.

Padahal aku hanya mau nafkah Pak Raheem. Aku hanya mau gigolo itu membayar yang dilakukannya pada emak.

Kini aku hanya perlu didengarkan. Maka biar aku kenakan setelan terbaikku---kemeja dan pantalon bekas sekolah dahulu yang logonya sudah dicabut---menuju kantor polisi. Begitu aku genggam gagang pintu, kulihat ujung ruangan.

Surat itu. Surat harta karun itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun