Aku mohon, adakah yang mungkin ada mau mengirimiku barang segenggam padi?
Atau setidaknya, adakah yang mungkin punya bukti untuk menguak kebenaran bahwa aku hanya korban?
Besuknya, sambil aku peluk perut cekung yang keroncongnya seolah mengguncang usus hingga mual, biar kutelepon emak. Aku duga emak tak akan menjawab, tetapi deringnya berdengung lama.
Apakah mungkin emak hendak menjawab? Tapi bukannya emak tak pernah mengharapkanku?
Sewaktu aku kecil, emak pernah bilang bahwa setiap melihatku dia ingat tragedi malam itu, membuat traumanya terbuka kembali. Sewaktu aku remaja, emak pernah bilang bahwa begitu aku lahir, emak hanya bisa gigit jari. Sewaktu aku tertangkap polisi, emak pernah bilang, "Pergi dari hadapanku, putra iblis!"
Emak, Mahbubuddin hanya tertuduh. Emak, Mahbubuddin sayang emak.
Dering teleponku berhenti. Begitu aku telepon lagi sambil berjalan-jalan dengan resah, kudengar sesuatu dari balik pintu halaman belakang. Suara gemetar perlahan, begitu lembut tetapi berdengung, seolah terbenam air. Aku tahu jelas apa itu.
Dering telepon.
Aku lekas membuka pintu. Dan langsung bertemu emak.
Emak di sana, dalam daster kuning hasil curianku dahulu, yang berubah warna menjadi merah segar. Perut emak mekar, kulitnya mencuat-cuat, memerahkan logam pisau yang masih menancap. Darahnya menetes. Merembes ke tanah.
Aku membeku. Sang pembunuh baru saja meninggalkan rumah ini.