Mohon tunggu...
Rahmad Widada
Rahmad Widada Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis, penyunting buku. Publikasi: 1. Saussure untuk Sastra (metode kritik sastra). 2. Gadis-gadis Amangkurat (novel) 3. Jangan Kautulis Obituari Cinta (novel). 4. Guru Patriot: Biografi Ki Sarmidi Mangunsarkoro.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Untuk Elis

8 November 2022   09:59 Diperbarui: 8 November 2022   10:09 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti apakah cinta yang menenggelamkan malam dalam segelas kopi dan menjelmakan jiwa seorang lelaki tua menjadi gumpalan asap rokok yang gelisah? Jika kamu ingin tahu jawabannya, tanyakan pada Elis!

"Norman, tolong, jangan lupa selimutmu jika kamu duduk-duduk di beranda. Angin malam tidak baik untuk rematikmu. Dan, tolong, berhentilah merokok atau setidaknya kurangilah, Sayang!"

Norman Tua terdiam, mengisap rokoknya dalam-dalam. Ia meluruskan kaki dan meletakkannya di atas meja.

"Norman, berapa kali harus kubilang: Jangan meletakkan kaki di atas meja, tolong?"

Norman tidak berkata apa-apa.

"Norman, Sayang...."

Dengan segera Norman meletakkan kakinya ke lantai.

"Norman, ini kopimu."

Norman, Norman, Norman..., hanya Tuhan yang tahu berapa ribu kali Elis memanggil namanya sejak mereka berkenalan di SMA. Dan panggilan "sayang" itu ditambahkan pada surat cinta ketiga setelah Elis yakin Norman akan setuju. Namun, malam ini Norman merasa bahwa sesuatu yang fana membayang dalam panggilan itu.

Telepon berdering. Elis bergegas masuk.

"Halo, selamat malam, bisakah saya berbicara dengan Bapak Norman?" kata suara di ujung telepon.

"Selamat malam! Tunggu sebentar," Elis bergegas ke beranda. "Norman, untukmu."

Dengan malas Norman masuk untuk menjawab telepon.

"Selamat malam, Pak Norman."

Norman belum bisa mengatakan sepatah kata pun. Pikirannya masih tertinggal di beranda.

"Halo, apakah saya sedang berbicara dengan Bapak Norman?"

"Oh, maaf, saya tidak tahu."

"Ah, Pak Norman bercanda."

"Saya serius. Maaf, saya sulit menjelaskannya."

"Mudah saja 'kan? Yang harus Bapak katakan hanyalah ya atau tidak."

"Tidak semudah itu, Saudara. Ini sulit."

"Bapak masih mengajar sastra dunia, 'kan?" kata si penelepon setelah berdeham.

"Ya!"

"Kalau begitu, Bapak pastilah Doktor Norman."

"Begitukah?"

"Oke, oke. Apakah Bapak suami Bu Elis?"

"Yah, benar."

"Sudah jelas kalau begitu. Bapak adalah Pak Norman. Mudah 'kan?"

"Kamu ambil gampangnya!"

"Pak Norman, hidup akan sangat rumit jika tidak begitu. Apakah Bapak yakin bahwa Bapak adalah anak kandung dari orang tua Bapak? Saya khawatir Bapak adalah anak pungut. "

Norman tetap diam, membiarkan orang itu mengoceh.

"Apakah Bapak yakin bahwa Bu Elis yang telah tinggal bersama dengan Bapak selama ini benar-benar mencintai Bapak?"

"Dia bahagia."

"Lebih tepatnya, dia tampak bahagia."

"Kami punya anak."

"Itu wajar, Pak."

"Aku tidak peduli!"

"Ya, tepat, Pak. Tak peduli. Itu salah satu syarat untuk mendapatkan kebahagiaan."

"Persetan!"

"Nah, ini lebih tepat lagi. Apakah Bapak tahu bahwa ..."

Norman membanting gagang telepon. Tapi suara dari ujung telpon itu menerobos ke dalam benaknya, bergema di telinganya:"Kini Bapak membanting telepon, menolak berkompromi. Inilah prasyarat untuk mendapatkan kebahagiaan sejati."

Brengsek, rutuk Norman dalam kepalanya.

"Elis...."

"Ada apa, Norman?"

"Apakah itu cinta? Apakah kamu percaya cinta?"

"Norman, kamu lelah. Istirahatlah!"

"Jangan permainkan aku, Elis."

Elis menatap mata Norman, menembus kacamatanya yang tebal.

"Ah, Normanku yang malang. Sayang, mungkin kamu harus berhenti membaca beberapa hari. Kamu sengsara karena terlalu banyak membaca."

"Elis, tolong jawab pertanyaanku!"

"Norman, bagaimana aku harus menjawabnya? Dengar Norman, ini bukan waktu yang tepat untuk bertengkar."

"Elis ...," Norman kehabisan kata. Dia memeluk Elis.

"Lupakan saja, jangan turuti perasaan!"

"Dunia tanpa perasaan adalah neraka, Elis."

"Oke, sayang, istirahatlah!"

"Elis, seperti apakah cinta?"

Telepon berdering.

"Norman, penelepon yang sama. Dia mengingatkan besok kamu harus berbicara untuk sesi kedua, setelah tengah hari. Jam satu."

"Katakan padanya untuk menjemputku di kampus."

Keheningan menggantung di ruang tamu.

Elis menatap Norman. Semuanya baik-baik saja, bukan? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, juga tentang pertanyaan itu.

Tapi, Norman masih khawatir. Pertanyaan itu terus menghantuinya hingga ia tertidur. Hanya Tuhan yang tahu apakah pertanyaan itu masih meliputi lelaki tua itu hingga keesokan paginya, saat Elis mencium keningnya dan seketika jantungnya berdesir karena merasakan tubuh Norman terasa dingin.

Seperti apakah cinta?  Tanyakan pada Elis!

*) Diilhami oleh komposisi karya Beethoven, "Fur Elise"; pernah dimuat dalam versi terjemahan bahasa Inggris di The Jakarta Post, 10/14/2001

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun