Mohon tunggu...
Rahmad Widada
Rahmad Widada Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis, penyunting buku. Publikasi: 1. Saussure untuk Sastra (metode kritik sastra). 2. Gadis-gadis Amangkurat (novel) 3. Jangan Kautulis Obituari Cinta (novel). 4. Guru Patriot: Biografi Ki Sarmidi Mangunsarkoro.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Aku Membaca Maka Aku Bahagia

18 Oktober 2022   11:36 Diperbarui: 18 Oktober 2022   14:40 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Perpustakaan adalah salah satu pintu kegembiraan bagiku. Sebenarnyalah aku ingin menyebutnya pintu kebahagiaan, tetapi hal itu rasanya berlebihan. Aku tidak suka berlebihan. Mengapa perpustakaan menjadi pintu kegembiraan bagiku? 

Agak panjang ceritanya. Tidak cukup jika aku hanya berkata singkat bahwa perpustakaan telah membukakan akses hiburan dan pengetahuan melalui koleksinya: buku, koran, majalah, manuskrip, dokumen, gambar, dan tentu bahan-bahan bacaan elektronik atau digital pada era internet ini. Aku harus memulainya dari masa kanak-kanak ....

Berkenalan dengan Perpustakaan 

Aku lahir dari keluarga sederhana di sebuah dusun di pelosok Bantul, Yogyakarta. Orang tuaku bekerja sebagai tukang jahit. Seperti pengalaman kebanyakan anak dusun pada tahun 1980-an, perpustakaan dan dunia baca benar-benar jauh dari jangkauan atau bahkan tidak terpikirkan oleh kami. 

Pertama kali aku mengenal buku sebagai bacaan adalah saat masuk sekolah dasar. Tentu saja yang kumaksud ini adalah buku pelajaran. Ketika sudah cukup lancar membaca, barulah aku mulai tertarik pada bacaan di luar buku pelajaran, yakni buku-buku bacaan proyek Inpres yang tersedia di perpustakaan kecil sekolah. 

Namun, karena jumlah koleksinya yang sedikit atau mungkin karena tidak ada tenaga pengelolanya, buku-buku di perpustakaan sekolahku itu hanya boleh dibaca di tempat.

Ruang perpustakaan kami kecil saja, ukurannya sekitar 3 x 3 meter. Ruang itu merupakan hasil dari penyekatan ruang guru. Untuk memasukinya, kami harus melewati pintu belakang ruangan itu karena akses dari ruang guru tidak boleh digunakan secara bebas oleh siswa. 

Hanya jika ada keperluan terkait dengan belajar-mengajar, siswa diperbolehkan masuk ke perpustakaan melalui ruang guru. Jangan bayangkan ada meja dan kursi untuk pengunjung di perpustakaan itu. 

Perabot pendukungnya hanyalah sebuah almari rendah tempat buku-buku koleksi disimpan. Selebihnya, di sudut lain ada rak terbuka tempat menyimpan alat-alat olahraga (bola sepak plastik, bola dan net voli, pemukul bola kasti), tumpukan barang-barang hasil prakarya siswa, juga ember, cangkul serta sekop. Perpustakaan kami merangkap gudang.

Kami biasa membaca dengan berdesakan di lantai ruangan atau di luar, yakni di undakan masuk yang sengaja dibuat memanjang agar dapat menjadi tempat duduk-duduk di kiri kanan pintu belakang itu. 

Di undakan itu tempatnya lebih nyaman dan lapang. Namun, pemandangannya terasa agak menyeramkan karena di seberang halaman belakang sekolah itu terdapat sebuah kuburan tua yang bertembok rendah. 

Saat pandangan kami lepas dari buku, tampaklah jajaran nisan, cungkup atau rumah kubur kuno tak terawat dengan atapnya yang berlubang di sana-sini dan dirayapi oleh sulur dan dedaunan tumbuhan liar.

Suasana di perpustakaan itu terasa lebih menyeramkan saat kami duduk di kelas empat karena kelas ini jam sekolahnya berlangsung siang hingga sore. Dengan jam sekolah seperti itu dan hanya ada satu kelas yang masuk, suasana sekolah tentu saja jauh lebih sepi. 

Saat jam istirahat dari pukul 15.00 sampai 15.30 ketika matahari telah cukup condong ke barat, perpustakaan menjadi agak gelap sehingga suasananya sungguh kurang nyaman dan tidak membuat tenang hati, apalagi jika kita sendirian berada di sana.

Mulai Merasakan Asyiknya Membaca

Meskipun tempatnya kurang nyaman, perpustakaan SD-ku tetap menjadi salah satu tempat favorit bagiku dan beberapa anak---dapat dihitung dengan jari sebelah tangan.  

Di sana kami bisa membuka-buka buku untuk menikmati gambar-gambarnya yang menarik. Memang gambar-gambar itulah yang pertama-tama membuat kami menyukai buku-buku. 

Selanjutnya, barulah kami tertarik membaca isinya. Seingatku, aku baru benar-benar tertarik membaca utuh satu buku cerita dengan sedikit gambar saat aku duduk di kelas tiga, setelah guru kami membacakan sebuah buku dari perpustakaan itu.

Masih kuingat cerita itu sampai sekarang. Seorang perantau baru saja pulang. Dia kaget dan bingung karena mendapati orang lain yang persis menyerupai dirinya telah berada di rumahnya. 

Orang itu mengaku sebagai sebagai pemilik rumah dan juga suami dari istri si perantau. Keduanya bertengkar, saling berebut sebagai pemilik rumah yang asli. Sementara itu, si istri pun kebingungan. Dia tidak bisa menentukan siapakah suaminya yang asli. Karena perkara itu tidak terpecahkan, mereka sepakat untuk menghadap ke pengadilan.

Hakim yang cerdik kemudian mengajukan beberapa pertanyaan (sebenarnya jebakan) untuk menentukan siapakah sosok palsu di antara keduanya. Di akhir cerita, untuk menentukan keputusan akhir, hakim mengadakan sebuah pengujian. Sang hakim menyatakan bahwa siapa pun yang dapat masuk ke dalam botol dia adalah si perantau yang asli. 

Tentu saja tidak ada manusia yang dapat masuk ke dalam botol sebesar mentimun itu. Namun, salah satu dari orang kembar yang bertengkar itu menyanggupinya. Maka demikianlah, orang itu kemudian bersedekap lalu pelan-pelan dengan ajaib tubuhnya mengecil sehingga dapat masuk ke dalam botol.

Begitu orang itu masuk, sang hakim segera melompat menghampiri botol itu dan menyumbatnya. Lalu sang hakim berkata bahwa orang yang di dalam botol itulah sesungguhnya sosok perantau yang palsu. 

Dia pastilah sebangsa jin sebab mustahil bagi manusia untuk masuk ke dalam botol sebesar itu. Hakim kemudian memutuskan  bahwa justru orang yang tidak dapat masuk ke dalam botol itulah si perantau yang asli. Si perantau sangat lega karenanya. Dia berterima kasih kepada hakim yang cerdik itu.

Begitulah, sejak itu aku menginginkan cerita-cerita lainnya, lagi dan lagi. Maka satu demi satu aku pun membaca buku-buku cerita di perpustakaan kami. Tidak cukup di perpustakaan, aku juga minta izin meminjam buku-buku itu untuk kubawa pulang kepada penjaga sekolah. 

Mengapa aku minta izin kepadanya? Karena menurut pikiran anak-anakku saat itu beliaulah yang bertanggung jawab atas isi gudang dan perpustakaan kami---kulihat beliau memegang kunci ruangan itu, rajin membersihkan dan merapikan isinya, memeriksa serta memastikan perlengkapan olah raga atau berkebun sudah lengkap saat kami mengembalikannya seusai menggunakannya.

Penjaga sekolah itu mengizinkannya. Namun, beliau mewanti-wanti agar aku tidak meminjamkan buku-buku itu kepada orang lain dan segera mengembalikannya jika sudah selesai dibaca. Karena jumlahnya tidak banyak, apa saja yang tersedia di sana kemudian kubaca. 

Beberapa yang masih kuingat antara lain Lafanda, Seekor Sapi dan Lima Ratus Gerobak, Timun Emas, Kompos, Kali Serayu Mengalir Tenang, Si Hitam, Abe yang Tak Pernah Menyerah, dan Pangeran Hamlet.

Perpustakaan sempit dan agak menyeramkan itu pun kemudian menjadi tempat bermain favoritku. Namun, kesukaanku pada tempat itu tidak semata-mata karena buku-buku cerita yang bisa kunikmati di sana. Ada sebab lain yang mendukungnya, yakni bahwa aku tidak cukup tangkas dalam banyak permainan fisik. 

Aku tidak jago main sepak bola, kasti, main gundu, atau eteng, yakni sebuah permainan tradisional berupa pertarungan saling mengalahkan dengan cara menyentuh atau menjitak kepala lawan. Tubuhku yang kecil dan kurang tinggi tak mendukung untuk segala ketangkasan itu. 

Dalam permainan yang harus dilakukan secara berkelompok aku pun tahu diri untuk tidak mengikutinya. Aku tahu tidak ada kelompok yang menginginkan aku masuk dalam tim meskipun hal itu tidak dikatakan. Kehadiranku hanya akan melemahkan tim. 

Oleh karena itu, masuk perpustakaan adalah pilihan terbaik jika aku sedang tidak punya teman bermain halma, macan-macanan (sejenis catur, tetapi jauh lebih sederhana), atau sekadar ngobrol dan main tebak-tebakan. 

Pintu perpustakaan selalu terbuka. Semua anak bisa bermain dan bersenang-senang di sana, bahkan jika mereka tidak mahir menggocek bola. Jadi, selain memberikan kesenangan, perpustakaan juga memberikan suaka bagiku.

Akan tetapi, perpustakaan SD itu semakin lama menjadi semakin kurang mengasyikkan. Koleksinya tidak pernah bertambah. Aku bosan untuk membaca ulang buku-buku cerita yang itu-itu saja. Oleh karena itu, setelah duduk di kelas lima aku mulai jarang meminjam buku-buku perpustakaan, dan saat aku di kelas enam, buku-buku di sana benar-benar sudah tidak menarik lagi bagiku.

Sebagai gantinya, saat jam istirahat aku sering main ke pasar yang jaraknya cukup dekat dengan sekolahku, seratusan meter saja. Ada dua lapak buku dan majalah bekas di sudut pasar itu. 

Bagiku semua majalah di sana menarik tetapi buku-bukunya tidak. Ya, bagi anak SD, apa menariknya buku kumpulan doa-doa mustajab, primbon, kumpulan syair lagu-lagu pop, tuntunan surat-menyurat resmi, atau contoh-contoh surat cinta? Aku betah di lapak itu karena dapat membuka-buka dan sesekali membeli majalah Hai, Gadis, Ananda, Bobo, Si Kuncung, Kawanku, Gatotkaca, Putra Kita, Femina, dan Kartini. 

Pernah juga kudapati Horison dan Zaman. Untuk dua nama terakhir, kini aku membayangkan betapa panjang dan berlikunya perjalanan kedua majalah itu hingga terdampar di lapak pasar desa kami.

Majalah-majalah bekas itulah yang kemudian menjadi bacaan pengganti koleksi perpustakaan bagiku. Tentu saja aku membaca apa yang tersedia di lapak tanpa arah. Asal menyenangkan dan terjangkau, aku akan membelinya (aku mendapat uang saku dari "upah" sebagai tukang obras di lapak jahit ayahku). 

Namun, selain majalah bekas dari lapak itu, aku punya sumber bacaan lain: koran bekas yang dibeli kiloan oleh ayahku sebagai bungkus pakaian pelanggan. Yang kusukai dari koran-koran bekas ini terutama adalah edisi Minggu-nya. Aku menikmati apa pun yang disajikan koran-koran Minggu: cerpen, serpihan komik strip, kartun, TTS, vignet, puisi, juga berita atau gosip tentang artis. 

Melihat Cakrawala dari Bus Perpustakaan Keliling

Majalah dan koran bekas terus menjadi bahan bacaanku selanjutnya. Begitulah adanya hingga suatu siang pada pertengahan tahunku di kelas enam SD, aku melihat bus bercat biru-langit terparkir di bawah kerindangan pohon beringin di halaman balai desa. Terbaca olehku tulisan "Perpustakaan Keliling" di badan bus itu. Pemandangan tersebut jelas terlalu menarik dan menakjubkan bagiku.

Oleh karena itu, aku pun memaksa kakakku untuk membelokkan sepeda kami ke halaman balai desa. Aku melupakan pekan raya tradisional Rabu Pungkasan yang menjadi tujuan kami semula. Kami turun dari sepeda, mendekati bus, dan dengan ragu-ragu melongok ke dalam bus. 

Ada banyak orang dewasa dan anak-anak di dalamnya. Mereka tampak asyik melihat-lihat dan memilih-milih buku yang berjajar di rak memenuhi dinding dalam bus. Mereka yang sudah menemukan bukunya lalu membawanya ke meja petugas yang terletak di samping pintu masuk bus.

Apa? Buku-buku itu boleh dipinjam! Begitulah pekikku dalam hati. Aku takjub dan tentu ingin sekali dapat meminjam buku-buku seperti mereka. Dengan memberanikan diri, aku pun menanyakan kepada petugas itu bagaimana caranya untuk meminjam buku di situ. Singkat kata kami harus mendaftarkan diri. Beberapa syarat administrasi harus kami penuhi. Karena itu, baru pada jadwal kedatangan perpustakaan keliling berikutnya aku memperoleh kartu anggota.

Sejak itu aku berkenalan dengan buku-buku bacaan yang lebih banyak, lebih beragam, dan tentu saja lebih bagus. Dari perpustakaan ini aku mengenal serial Lima Sekawan, Trio Detektif, Noni, Trio Tifa, dan banyak lagi. Kelak setelah di bangku SMP dan SMA dari perpustakaan keliling itu juga aku mengenal serial Lupus, Balada Si Roy, serial cerita detektif Agatha Christie, juga novel-novel populer semacam karya Mira W, Ashadi Siregar, atau Motinggo Busye.

Namun, tak hanya berkenalan dengan novel-novel populer, berkat bus biru-langit itu aku juga berkenalan dengan buku-buku bacaan yang tidak sekadar memberikan hiburan. 

Dari perpustakaan keliling itu aku mengenal karya-karya sastra yang bagus, buku-buku sejarah, sosial, atau budaya. Beberapa judul yang masih dapat kuingat adalah Lelaki Tua dan Laut karya Ernest Hemingway, Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo, Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindunata, Surat-surat Politik Iwan Simatupang, Catatan Seorang Demonstran tulisan Soe Hok Gie, Ilmu Negara karya Mac Iver, Pengantar Antropologi karya Koentjaraningrat.

Aku tidak tahu persis dorongan atau daya tarik apa yang membuatku membaca buku-buku itu. Mungkin koran-koran bekas edisi Minggu itulah yang memengaruhiku---sejumlah nama atau judul-judul itu mungkin pernah sekali kubaca dari sana. Perpustakaan keliling itu benar-benar membukakan cakrawala baru untukku. Sayangnya, perpustakaan keliling itu tidak lagi mengunjungi halaman balai desa kami setelah tahun 1991---saat aku mulai belajar di perguruan tinggi.

Membaca Karya-karya Sastra Indonesia di SMP dan SMA

Ketika mulai masuk SMP, hal pertama yang kubayangkan adalah kesenangan untuk dapat membawa pulang buku-buku cerita dari perpustakaannya yang jauh lebih besar dari perpustakaan SD-ku. Aku terutama berharap dapat membaca buku-buku cerita yang judul dan nama pengarangnya kudengar dihafalkan oleh kakak perempuanku yang belajar di Sekolah Pendidikan Guru. 

Aku masih ingat judul-judul dan nama pengarang itu karena selain mendengar kakakku menghafalkannya, aku pernah dimintanya untuk membantunya menghafal. Jadi, aku membacakan judul buku dari catatan kakakku, lalu dia harus menyebutkan nama pengarangnya. Atau sebaliknya, aku membacakan nama pengarang, lalu dia menyebutkan karya-karyanya. 

Oleh karena itu, masih kuingat betul pasangan judul dan pengarang itu: Sitti Nurbaya-Marah Rusli; Hulubalang Raja-Nur Sutan Iskandara; Layar Terkembang-STA; Salah Asuhan-Abdul Muis;  Anak Perawan di Sarang Penyamun-STA; Sukreni Gadis Bali-A.A. Panji Tisna;  Aki---Idrus; Pada Sebuah Kapal---N.H. Dini; dan seterusnya.

Mungkin karena judul-judul itu dibuat dengan pertimbangan yang sangat cermat oleh sang pengarang, dengan mendengarnya saja sudah terbayang dalam benakku akan cerita-cerita mengasyikkan di dalamnya. Judul-judul itu membuatku penasaran sehingga saat aku masuk SMP, aku ingin menemukan buku-buku cerita yang judulnya dihafalkan kakakku itu.

Oleh karena itu, aku begitu gembiranya ketika menemukan judul-judul itu dalam katalog perpustakaan SMP-ku. Sebagian besar buku-buku itu kemudian benar-benar kubaca sebab selain didorong oleh rasa penasaran, guru bahasa Indonesia kami juga menganjurkan untuk membaca buku-buku tersebut. 

Dalam hal ini aku beruntung karena guru bahasa Indonesia kami adalah seorang pembaca sastra. Beliau sering menceritakan fragmen-fragmen yang menarik dari sebuah novel atau roman yang disebut dalam pelajaran bahasa Indonesia. Aku ingat beliau bahkan pernah membacakan sebuah cerpen di depan kelas.

Begitulah, sedikit atau banyak aku mulai membaca karya-karya sastra Indonesia di bangku SMP. Kecenderungan serupa juga berlanjut di bangku SMA. Namun, ada sedikit perluasan bacaan saat aku di SMA. Karena aku masuk jurusan IPS, buku-buku di bidang ilmu sosial budaya mulai kubaca. Aku terdorong untuk membacanya karena tuntutan tugas mata pelajaran seperti sejarah, tata negara, PMP, dan sosiologi-antropologi.

Dengan menceritakan rupa-rupa pengalamanku bersama perpustakaan dari SD sampai SMA itu aku ingin mengemukakan betapa perpustakaan telah berpengaruh besar dalam masa-masa pertumbuhanku. Bersama perpustakaan aku meraih hal-hal yang kurasakan sangat berharga. Pertama, jelas perpustakaan telah membuatku mengenal dunia yang lebih luas. Berkat buku-bukunya, aku menemukan hal-hal baru, wilayah-wilayah baru, dan pengetahuan baru.

Kedua, secara pragmatis, dapat kupastikan bahwa keakrabanku dengan perpustakaan sejak  SD sampai SMA itu ikut berperan besar dalam capaian pendidikan formalku. Aku mungkin tidak akan sampai duduk di perguruan tinggi seandainya aku tidak akrab dengan perpustakaan, tidak banyak membaca sejak SD. Bagi orang lain mungkin belajar di perguruan tinggi tidaklah istimewa. Namun, bagiku hal itu benar-benar sebuah loncatan penting sebab di antara semua anggota kerabatku, aku adalah generasi pertama yang dapat melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi.

Ketiga, kebiasaan bacaku yang tebentuk secara natural berkat pergaulanku dengan perpustakaan itu telah meletakkan fondasi yang baik untuk pembentukan budaya belajarku di perguruan tinggi, di fakultas sastra, bahkan sampai sekarang. Inilah menurutku inti cerita pengalamanku, bahwa perpustakaan telah menemani dan membawaku pada kesadaran untuk belajar seumur hidup.

Terakhir, harus kunyatakan bahwa segenap pengalamanku dengan perpustakaan itulah yang memungkinkan aku bekerja di dunia buku sebagai editor dan penulis saat ini. Pekerjaan ini sungguh menyenangkan. 

Pengalaman, pengetahuan, ilmu, wawasan, dan semoga juga kebijaksanaan yang aku peroleh melalui membaca merupakan kekayaan batin yang membuatku relatif mudah berbahagia. 

Orang boleh berkata bahwa semua ini hanya bualan yang diindah-indahkan dengan berbusa-busa. Namun, itulah pengalamanku. Orang bisa menyangkalnya, tetapi tetap saja semua telah menjadi bagian hidupku. Oleh karena itu, aku tidak akan pernah ragu untuk berkata, "Bacalah banyak buku karena dengan begitu, Anda punya banyak alasan untuk berbahagia!"

September, 2020

* Merayakan Hari Perpustakaan Sekolah Internasional, 18 Oktober.

 Artikel ini sebelumnya telah dimuat dalam buku "Aku dan Perpustakaan", terbitan Perpusnas Press, tahun 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun