Begitu orang itu masuk, sang hakim segera melompat menghampiri botol itu dan menyumbatnya. Lalu sang hakim berkata bahwa orang yang di dalam botol itulah sesungguhnya sosok perantau yang palsu.Â
Dia pastilah sebangsa jin sebab mustahil bagi manusia untuk masuk ke dalam botol sebesar itu. Hakim kemudian memutuskan  bahwa justru orang yang tidak dapat masuk ke dalam botol itulah si perantau yang asli. Si perantau sangat lega karenanya. Dia berterima kasih kepada hakim yang cerdik itu.
Begitulah, sejak itu aku menginginkan cerita-cerita lainnya, lagi dan lagi. Maka satu demi satu aku pun membaca buku-buku cerita di perpustakaan kami. Tidak cukup di perpustakaan, aku juga minta izin meminjam buku-buku itu untuk kubawa pulang kepada penjaga sekolah.Â
Mengapa aku minta izin kepadanya? Karena menurut pikiran anak-anakku saat itu beliaulah yang bertanggung jawab atas isi gudang dan perpustakaan kami---kulihat beliau memegang kunci ruangan itu, rajin membersihkan dan merapikan isinya, memeriksa serta memastikan perlengkapan olah raga atau berkebun sudah lengkap saat kami mengembalikannya seusai menggunakannya.
Penjaga sekolah itu mengizinkannya. Namun, beliau mewanti-wanti agar aku tidak meminjamkan buku-buku itu kepada orang lain dan segera mengembalikannya jika sudah selesai dibaca. Karena jumlahnya tidak banyak, apa saja yang tersedia di sana kemudian kubaca.Â
Beberapa yang masih kuingat antara lain Lafanda, Seekor Sapi dan Lima Ratus Gerobak, Timun Emas, Kompos, Kali Serayu Mengalir Tenang, Si Hitam, Abe yang Tak Pernah Menyerah, dan Pangeran Hamlet.
Perpustakaan sempit dan agak menyeramkan itu pun kemudian menjadi tempat bermain favoritku. Namun, kesukaanku pada tempat itu tidak semata-mata karena buku-buku cerita yang bisa kunikmati di sana. Ada sebab lain yang mendukungnya, yakni bahwa aku tidak cukup tangkas dalam banyak permainan fisik.Â
Aku tidak jago main sepak bola, kasti, main gundu, atau eteng, yakni sebuah permainan tradisional berupa pertarungan saling mengalahkan dengan cara menyentuh atau menjitak kepala lawan. Tubuhku yang kecil dan kurang tinggi tak mendukung untuk segala ketangkasan itu.Â
Dalam permainan yang harus dilakukan secara berkelompok aku pun tahu diri untuk tidak mengikutinya. Aku tahu tidak ada kelompok yang menginginkan aku masuk dalam tim meskipun hal itu tidak dikatakan. Kehadiranku hanya akan melemahkan tim.Â
Oleh karena itu, masuk perpustakaan adalah pilihan terbaik jika aku sedang tidak punya teman bermain halma, macan-macanan (sejenis catur, tetapi jauh lebih sederhana), atau sekadar ngobrol dan main tebak-tebakan.Â
Pintu perpustakaan selalu terbuka. Semua anak bisa bermain dan bersenang-senang di sana, bahkan jika mereka tidak mahir menggocek bola. Jadi, selain memberikan kesenangan, perpustakaan juga memberikan suaka bagiku.