Relitas kehidupan menunjukkan bahwa kematangan fisik yang mulanya ditandai dengan ihtilam tadi, cenderung melahirkan nafsu, baik nafsu seks maupun nafsu agresifitas.Â
Jika nafsu ini tidak mampu dikendalikan maka ia menjadi liar dan membahayakan. Sementara, yang mampu mengendalikan hal ini adalah akal. Oleh karena itu dalam konteks pendidikan, ketika membangun kematangan fisik namun lalai dalam membangun kematangan mental niscaya ia akan kewalahan dalam mengendalikan nafsunya. Sebab, kontrol mental/akal belum dimilikinya. Kondisi ini akan membawa mereka menjadi berlama-lama dalam masa anak-anak atau remaja.
Dimundurkannya batas waktu antara fase anak-anak/remaja dan dewasa dapat berdampak serius. Konsep adab, tanggung jawab dan kemandirian sebagai ciri orang dewasa cenderung menjadi rusak.
 Mereka seolah "dihalalkan" untuk berperilaku tidak beradab karena sedang menjalani masa transisi yang penuh gejolak. Saat itulah akan terjadi kesenjangan antara kematangan fisik dengan kematangan mental.Â
Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka akan banyak lahir generasi matang syahwat tanpa kematangan mental/akal, dimana nafsu begitu bergejolak sementara akal sebagai alat pengendali hawa nafsu masih belum matang.
 Solusi
Adalah tugas penting dunia pendidikan untuk meminimalkan kesenjangan pencapaian aqil dan baligh. Pendidikan yang dimaksud dalam paradigma ini lebih luas dan tidak diartikan sekedar bersekolah. Pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan mencakup atas keluarga, lingkungan masyarakat hingga pemerintah.Â
Jadi, jika sekarang ini terjadi akselerasi masa baligh yaitu dimulai sejak usia 10 tahun bahkan usia 8 tahun ada yang sudah baligh, maka dalam perspektif aqil baligh ini sesungguhnya konsep pendidikan bagi mereka adalah pendidikan yang mendewasakan dan memandirikan, bukan melambatkan kedewasaan dengan memaksanya berlama-lama menjadi anak-anak atau remaja.Â
Pendidikan bertugas mendewasakan pikiran dan jiwa mereka seiring atau disesuaikan dengan tingkat kedewasaan fisiknya. Pendidikan seharusnya menjadikan mereka manusia dewasa bukan setengah dewasa.Â
Dalam hal ini keluarga, lingkungan masyarakat dan pemerintah bersinergi mewujudkan pola pendidikan yang mendewasakan fisik dan mental seorang anak secara harmonis.
Harry Santosa dalam buku Fitrah Based Education (2017) menyebutkan bahwa sejak usia 10 tahun dianggap potensi sudah siap dikokohkan dan diuji, sehingga kisaran usia 10-14 tahun sebagai masa penyiapan dewasa. Pada masa ini konsep adab, tanggung jawab dan kemandirian dibangun secara sistematis seiring perkembangan usia biologisnya.Â