Dari segi pendalilan tersebut dapat dipahami bahwa hulm (ihtilam) dijadikan batas kewajiban bagi seorang anak untuk meminta ijin di semua waktu ketika ia hendak memasuki kamar orang tuanya.Â
Ihtilam juga menandai bahwa seseorang telah dikenai berbagai kewajiban syari'at Islam sebagaimana orang dewasa. Inilah kemudian yang menjadi salah satu faktor yang menandai seseorang dikatakan telah baligh jika telah mengalami ihtilam, sebagaimana disepakati oleh para ulama ahli fiqih.Â
Imam Ibnul Qoyyim juga menguatkan hal ini dalam Tuhfatul Maudud dengan menjelaskan bahwa pendapat terkuat dalam batasan baligh adalah ihtilam. Namun demikian tidak ada batasan usia tertentu kapan waktu ihtilam tersebut. Terkadang anak-anak yang berusia 12 tahun  telah ihtilam dan ada juga anak yang berusia 15 tahun atau lebih tetapi belum ihtilam.
Selain ihtilam, indikator lain yang menunjukkan kedewasaan adalah sebagaimana disinyalir di tiga ayat Al-Qur'an dalam terma "balaghu al-nikah" (cukup umur untuk nikah) yang ditandai oleh "al-rusyd" (cakap atau pandai) dan terma "balagha asyuddah" yang berkaitan dengan konteks kematangan seseorang.
Allah Ta'ala berfirman dalam surat an-Nisa/4 ayat 6,"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya...". Kedewasaan dalam ayat ini dilihat dari konteks tanggungjawab dan kecakapan dalam mengelola harta.Â
Artinya, kedewasaan terkait erat dengan aspek mental psikologis seseorang. Begitu juga dalam surat al-Ahqaf/46 ayat 15 dan surat al-Qashash/28 ayat 14 menggunakan terma "balagha asyuddah" yang berkaitan dengan kematangan sebagai aspek mental psikologis seseorang, yakni Allah Ta'ala berfirman,Â
"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah (--balagha asyuddah--) dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (terjemah QS. al-Ahkaf/46:15). "Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya (--balagha asyuddah--), Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (terjemah QS al-Qashash/28:14)
Dengan demikian, masa baligh adalah menandai kedewasaan seseorang yang secara aspek biologis/fisik ditandai oleh ihtilam dan secara aspek mental/psikologis terkait al-rusyd (kecakapan dan kepandaian) dan asyuddah (telah sempurna kekuatannya, akalnya, dan pandangannya).Â
Mereka yang telah sampai pada masa baligh dan memiliki akal sehat (aqil) telah berlaku terhadapnya beban hukum (taklif) syariat agama Islam atau disebut dengan "mukallaf". Para ulama fiqih sepakat bahwa aqil-baligh menjadi syarat dalam menjalankan syariat Islam baik dalam aspek ibadah maupun aspek muamalah (sosial).Â
Pena pencatat pahala dan dosa di setiap perbuatan mereka telah berlaku. Mereka bertanggung jawab atas perbuatan/amalan mereka. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap batas-batas syari'at Islam akan mendapatkan konsekuensi dosa dan hukuman lainnya. Seperti dalam perkara ibadah yaitu shalat dan puasa, serta zakat dan haji bagi yang telah mencapai kadar mampu.Â
Begitu juga dalam perkara muamalah, mereka telah memiliki kewajiban dan tanggung jawab sosial sesuai kadar kemampuannya. Mereka tidak lagi kanak-kanak, melainkan anak muda yang beranjak dewasa.