Belum lagi masing-masing anggota keluarga asyik dengan dunianya, memainkan smartphone dan laptop atau menonton televisi. Dengan alasan-alasan itu, kesempatan untuk menjalin komunikasi atau interaksi personal dan aktivitas bersama-sama menjadi terkurangi bahkan mungkin hilang.
Padahal kerusakan psikologis yang diderita anak-anak karena kehilangan peran figur ayah tidak dapat dianggap remeh. Meski tidak secara permanen, tetapi pengabaian kebutuhan afeksi, pengasuhan dan dukungan finansial dapat mengusik perasaan dan menimbulkan ketidakstabilan atau goncangan jiwa.Â
Menurut Ashari (2018) seorang anak tentu tidak menyadari kondisi dirinya sedang yatim. Namun kesadaran itu tumbuh secara perlahan seiring dengan jawaban atas kecemasan perasaan kehilangan (feeling lost) sosok ayah.Â
Selanjutnya di sisi lain dapat berdampak pada munculnya perilaku menyimpang hingga tindakan agresif maupun kriminal. Dalam hal ini, meski belum ada penelitian khusus, beberapa kasus kriminal yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur 18 tahun seperti perampokan, pemerkosaan, pengedaran dan pemakaian narkoba hingga pembunuhan yang terjadi tahun-tahun lalu di berbagai tempat seharusnya menjadi perhatian serius semua pihak dan kekhawatiran atas dampak fatherless.Â
Sebab, penelitian Nur Aini (2019) menyimpulkan adanya hubungan signifikan antara fatherless dengan self-control. Sementara self-control berkaitan dengan kemampuan individu mengontrol emosi dan dorongan-dorongan dalam dirinya.
Kemampuan self-control ini berkembang seiring dengan ketercapaian masa aqil seorang anak. Sebagaimana disebutkan dalam tulisan sebelumnya berjudul "Menyoal Usia Pendidikan: Jangan Baligh Sebelum Aqil", masa baligh dan aqil idealnya dicapai dalam waktu yang bersamaan, sehingga kedewasaan fisik dan mental seorang anak tumbuh secara harmonis.Â
Fase baligh atau kematangan fisik diawali oleh ihtilam atau "mimpi basah" cenderung melahirkan nafsu seks dan agresifitas. Perilaku ini dapat dikendalikan secara proporsional dengan tercapainya fase aqil atau aspek mental/psikologis terkait al-rusyd (kecakapan dan kepandaian) dan asyuddah (telah sempurna kekuatannya, akalnya, dan pandangannya). Aqil dan baligh tercapai secara harmonis karena adanya keseimbangan antara peran ayah dan peran ibu.
Jangan Jadi Ayah "Bisu"
Jika kita kembalikan hal ini kepada ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai pedoman yang  menyentuh segala aspek kehidupan manusia, akan tampak jelas bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama ayah dan ibu. Ayah dan ibu memiliki tanggung jawab yang proporsional dalam memberikan pengasuhan, pembinaan, pendidikan dan bimbingan kepada anak.
Isyarat ini dapat ditemukan dalam banyak ayat Al-Qur'an. Diantaranya adalah percakapan antara orang tua dan anak dalam Al-Qur'an sebagai bentuk pelajaran dari Allah bagi seluruh manusia yang beriman.Â
Tercatat ada 17 tempat dalam Al-Qur'an yang mengisahkan dialog orangtua dan anak. Dari 17 tempat dalam Al-Qur'an, 14 diantaranya adalah dialog antara ayah dan anak, 2 tempat mengungkap dialog ibu dengan anaknya dan satu ayat yang menyebutkan dialog antara orang tua dan anak tanpa disebutkan secara spesifik ayah atau ibu. Hal ini memberi isyarat bahwa ayah seharusnya lebih dominan mengambil peran komunikasi dan pendidikan bagi anak-anaknya.