Fenomena Fatherless
Ketiadaan figur peran ayah atau dikenal dengan istilah "fatherless" atau "father loss" atau "father hunger" telah menjadi isu yang mendunia. Seperti di Amerika, Inggris, Belanda, Finlandia, Afrika, Australia, dan termasuk Indonesia.Â
Sebagian besar kasus fatherless di negara-negara tersebut dikarenakan faktor unmaried (pasangan orang tua yang tidak menikah), sementara kasus di Indonesia lebih banyak disebabkan peran ayah yang terabaikan atau tidak terpenuhi (Ashari, 2018; Nur Aini, 2019).
Bahkan, Khofifah Indar Parawansa selaku Menteri Sosial pada tahun 2017 menyebut Indonesia termasuk fatherless country nomor tiga di dunia. Ia merasa prihatin dan khawatir terhadap dampak priskologis negatif yang berkepanjangan (wartaekonomi.co.id).Â
Begitu juga Direktur Jaringan Anak Nasional (JARANAN) Nanang Djamaludin menyayangkan fenomena fatherless country terus berlangsung di tengah masyarakat hingga saat ini (strategi.id).
Fenomena fatherless country menunjukkan bahwa banyak anak di Indonesia berayah tetapi yatim. Artinya bukan tiada ayah secara fisik tetapi secara psikologis peran ayah sangat minim dalam proses pendidikan dan pengasuhan anak.Â
Faktor budaya lokal ataupun mitos sebagian orang yang menganggap pengasuhan dan pengajaran anak adalah tugas seorang ibu, sedangkan ayah hanya bertugas memenuhi kebutuhan ekonomi seringkali menjadi penyebab kasus fatherless.
Hal ini tampak dalam realita sosial di masyarakat. Berapa banyak ayah datang menghadiri undangan pertemuan antara orang tua murid dan guru, berapa banyak ayah yang datang saat acara pengambilan raport anak, berapa banyak ayah yang datang saat anaknya tampil dalam berbagai acara pertunjukan, berapa banyak ayah yang datang dalam acara-acara parenting, dan berapa banyak ayah yang membersamai saat anaknya belajar di rumah? Tentu jawabannya, yang paling dominan hadir pada momen-momen tersebut adalah ibu-ibu.Â
Tugas pengasuhan, pengajaran dan pendidikan anak seolah menjadi kewajiban ibu-ibu. Ayah seolah berlepas diri karena telah bertugas memenuhi kebutuhan keluarga dalam aspek finansial.Â
Pembagian tugas ayah dan ibu seperti ini seolah menjadi tradisi yang melekat pada visi-misi keluarga. Fakta ini didukung survei nasional KPAI yang disebutkan dalam Dien, Royanto, & Djuwita (2019) bahwa peran ibu dalam keluarga lebih besar dan lebih banyak mengambil inisiatif dalam pengasuhan anak dibandingkan ayah.
Begitu juga kesibukan ayah beraktifitas di luar rumah, baik itu aktivitas kantor atau pekerjaan maupun aktivitas bersama rekan-rekanya. Kalaupun hadir secara fisik bersama anak tetapi waktu yang ada digunakan untuk beristirahat karena alasan lelah setelah beraktivitas seharian penuh di luar rumah.Â