Mohon tunggu...
Enny Ratnawati A.
Enny Ratnawati A. Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk meninggalkan jejak kebaikan dan menghilangkan keresahan

Enny Ratnawati A. -- Writerpreneur, social worker, suka baca, bersih2 rumah dan jalan pagi --- Tulisan lain juga ada di https://www.ennyratnawati.com/ --- Contact me : ennyra23@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Joki Tugas Hingga Skripsi, Apa yang Salah dengan Pendidikan Kita?

31 Juli 2024   10:47 Diperbarui: 31 Juli 2024   13:39 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi joki tugas sekolah -- foto : kompas.com

Apa yang salah dengan pendidikan kita sehingga tugas sekolah, tugas kuliah hingga skripsi tak lagi mampu dikerjakan sendiri?

Apakah kasus-kasus seperti ini sudah lama? kurang tahu persis juga. Membaca salah satu berita, katanya joki skripsi sudah ada sejak tahun 1980-an di Indonesia. Wah lama juga ya sudah? Tapi dulu modelnya tidak terang-terangan seperti saat ini. Dulu mungkin terbatas dan hanya orang-orang tertentu yang tahu "jalurnya".

Yang jelas, anak sekolah jaman dulu rasanya nggak kepikiran soal joki-jokian.Apalagi joki tugas sekolah. Ada tugas, ya dikerjakan dengan segala upaya. Apalagi zaman dulu tak ada yang namanya internet apalagi chat GPT. Salah satu cara mengerjakan ya dengan mencari jawabannya di buku. Baik buku pelajaran atau buku umum. Atau lebih canggih sedikit dengan ikut bimbel atau les, kemudian dibantu guru buat menyelesaikan tugas-tugas sekolah.

Bagaimana dengan skripsi? Saya yang mengerjakan skripsi sekitar 20 tahunan lalu, saat itu ya mengerjakan dengan "normal" saja.Mulai pencarian data, analisa data hingga penulisan. Seorang kawan yang mumet dengan skripsinya hanya berani sampai memalsukan data saja.Tapi tidak pakai joki juga.Semua dikerjakan sendiri termasuk urusan memalsukan data penelitian tersebut.  

**

Beberapa bulan lalu, seorang kawan baik bercerita tentang temannya yang meminta bantuannya untuk mengerjakan skripsi. Nilai uang yang ditawarkan cukup lumayan. Kawan saya ini tentu saja bukan joki skripsi, bahkan belum pernah sekalipun mengerjakan skripsi orang lain.

Tetapi memang ada skill dan pengalaman menulis karya ilmiah sehingga temannya barangkali ingin mempercayakan pengerjaan skripsinya tersebut.

Saat itu, masih kurang 60 halaman lagi dari yang disyaratkan sejumlah 80 halaman yang terdiri dari beberapa bab lagi.

Menurut kawan saya ini, temannya tersebut memang mengambil dua jurusan untuk S1-nya. Untuk jurusan pertama, di FH sudah lulus dan skripsinya dikerjakan sendiri saat pandemi. Bahkan dia juga sudah mengambil S2 untuk jurusan hukum ini. Sedangkan jurusan yang kedua adalah Hubungan Internasional (HI) di sebuah kampus negeri di Jawa Timur.

Jurusan yang kedua ini yang agak keteteran dan tanpa disadari akhirnya sudah sampai di akhir masa studi. Kalau tidak diselesaikan akhirnya ya di DO oleh kampus.

Karena mungkin baru sadar waktu yang sudah mepet tadi makanya skripsinya mau di outsource saja. Sayangnya tinggal sekitar 10 harian saja waktu pengerjaannya alias seperti mission imposible. Ringkasnya, kawan ini tidak bisa membantu karena memang waktunya pengerjaannya yang mepet dan sehari-hari dia harus bekerja kantoran juga. 

**

Seseorang dengan "profesi" joki tugas maupun joki skripsi memang sudah banyak yang melakoninya.Bahkan bisa dikatakan sudah rahasia umum ada yang profesinya demikian.

Seorang teman kantor saya mengaku pernah menjadi joki usai dia lulus sarjana dan belum mendapatkan pekerjaan tetap. Menjadi joki skripsi dianggapnya sebagai bagian dari caranya bertahan hidup dengan mengerjakan tugas skripsi kawan-kawannya yang belum lulus saat itu. pekerjaan ini sempat dilakoninya beberapa waktu sampai akhirnya dapat pekerjaan tetap dan diapun berhenti.

Beberapa waktu lalu juga sempat membaca di sebuah media, dua orang menjadi joki tugas khususnya tugas anak SMA dan tugas anak kuliahan.

Keduanya juga masih kuliah di semester awal dan sudah mengerjakan "profesi" ini sejak mereka duduk di bangku SMA. Awalnya dari mulut ke mulut saja tapi kemudian sejak duduk di bangku kuliah mereka mulai serius dengan pekerjaannya ini. Salah satu media promosi mereka melalui aplikasi X atau Twitter. 

Aplikasi X dianggap sangat mudah apalagi dibantu dengan hasteg yang tepat sehingga "klien" mudah mencari mereka. Dengan biaya yang cukup terjangkau, merekapun dengan mudah mendapatkan pelanggan baru dari pekerjaannya ini. 

Intinya demand dan supply memang memainkan peranan besar dalam kasus perjokian ini.

Apa yang salah dengan pendidikan kita?

Pertanyaan ini cukup membuat penasaran, apalagi bila mendengar akhir-akhir ini masalah perjokian baik tugas, skripsi bahkan sampai tugas yang lebih berat seperti tesis, dianggap sesuatu yang normal dan tidak tabu lagi. Bahkan, iklan mengerjakan berbagai hal akademik tersebut bisa dengan mudah kita temukan di media sosial.

Dengan kedok, bimbingan sampai ya memang terang-terangan menyediakan jasa pengerjaan berbagai tugas akademik dengan biaya yang reltaif terjangkau.

Maraknya joki tugas dan skripsi, bukan hanya membuktikan tidak ada lagi budaya malu ketika pekerjaan dikerjakan orang lain dan diakui sebagai hasil pribadi.

Kemudian, kasus maraknya joki juga mengindikasikan  tak ada perasaan bersalah karena tidak menguasai ilmu dan menuliskan sendiri (skripsi misalnya) kok tau-tau bisa lulus.

Ada bebarapa catatan penting dalam pendidikan kita, di Indonesia yang barangkali ikut menyuburkan joki tugas hinga perjokian karya-karya ilmiah ini :

* Lebih menghargai hasil daripada proses

Inihal yang sangat jelas. Di Indonesia, hasil IPK atau hasil akhir sangat mempengaruhi kelulusan.Ibaratnya terserah jalan yang          ditempuh apa saja boleh, asalkan hasilnya terlihat. kemudian korelasinya dengan dunia kerja, yang juga melihat dari hasil akhir di ijazah atau IPK sang mahasiswa.

* Ingin cepat dan praktis

Malas berpikir dan merasa  tidak sanggup jadi poin disini. Budaya ingin cepat dan praktis juga menyuburkan perjokian. Pendidikan karakter yang lagi-lagi tak peduli proses menjadi masalah yang memang harus ditangani.

* Kurangnya kemampuan menulis

Sudah rahasia umum, pendidikan kita, apalagi saat ini tidak membiasakan untuk banyak membaca berbagai literatur. Jangankan literatur umum, yang ada hubungannya saja dengan perkuliahan/pelajaran sekolah kadang juga abai buat dibaca. Apa efeknya? kemampuan menulis sangat minim padahal menulis jadi basic dasar mengerjakan berbagai tugas tadi. 

* Etika tidak lagi diutamakan

Pendidikan kita juga minim etika. Tidak ada lagi rasa malu dan tidak memikirkan pelanggaran etika lagi ketika melakukan dengan cara perjokian tugas atau karya ilmiah.

* Kurangnya pengawasan institusi kampus

Kampus juga dianggap abai ketika ada yang akhirnya bisa lulus tapi dengan cara perjokian. Disni tentu dipertanyakan bagaimana peran kampus yang lemah sehingga ini selalu berulang terjadi.

Apa solusinya?  Tentu tidak gampang juga.Apalagi seperti disebutkan diatas, ada penawaran dan permintaan yang bermain disini. Sisitem pendidikan yang direformasi mungkin jadi solusinya. 

Misalnya syarat kelulusan tak semata-mata tugas akhir tapi bisa juga ada ujian lisan. Di kampus saya dulu -- sebuah PT swasta di Jogja --  ujian lisan (dikenal dengan ujian pendadaran) menjadi faktor penting penilaian kelulusan bahkan sks nya kalau tidak salah sama dengan skripsi. Ini tentu menjadi motivasi bagi mahasiswa untuk belajar dan menguasai materi kuliah karena memang tidak bisa di joki-kan bila ingin lulus.  Ujian ini bahkan bisa berkali-kali kalau gagal.

Semoga bermanfaat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun