Mohon tunggu...
Erni Pakpahan
Erni Pakpahan Mohon Tunggu... Administrasi - Wanita dan Karyawan Swasta

Terima kasih sudah berkunjung!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Jennifer Jhonson is Sick of Being Single", Kata Kamu?

29 Juni 2018   17:28 Diperbarui: 29 Juni 2018   19:26 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: babblequeens.wordpress.com

Sebuah novel yang berhasil menarik minat saya di antara tumpukan buku 'usang' dalam keranjang di toko Giant. Pengganti dua novel bekas berbeda yang urung saya beli ketika berkunjung ke Blok M Square minggu lalu. Padahal tawaran saya berhasil diiyakan oleh si penjual. Ehhem...untuk pertama kalinya :D

Perihal beli novel saya rencanakan karena weekend ini saya akan tinggal di kos seharian tanpa mikir apa-apa. Rencana akan melakukan sesuatu yang ringan, mengisi hati, pikiran dan perut, seperti bangun siang dan mengunyah bacaan ringan.

"Maaf, mas saya gak jadi beli." Buku itupun berpindah dari tangan ke atas tumpukan rapi buku bekas dan buku bajakan lainnya.

Harga yang dia minta terlalu tinggi kategori buku bekas dan saya sudah lama memohon-mohon menurunkan harganya tetapi tak berubah juga hatinya.

Kaki ini pun beranjak dari sana.

"Ya sudah, dibungkus mba. Dua novel sesuai harga yang mba mau." Teriaknya saat sudah jauh pergi. Kebiasaan para penjual.

Budaya kita mengajarkan, tinggalkan pergi penjualnya lalu dia akan berubah pikiran.

Entah mengapa saya gak berminat melakukannya. Inilah alasan sampai sekarang saya lebih suka belanja dengan harga tertera di labelnya. Mengapa kita musti sembunyi-sembunyi. Yah... namanya juga cari untung, begitu kata banyak orang.

Akh, saya ingin segera makan. Perut saya melilit walaupun tadi pagi sudah sarapan berenergi. Lagian, sebentar lagi mendekati waktu janjian bersama seorang teman.

***

Sembari menunggu pesanan makanan, dua orang lelaki yang baru saja mendapatkan tempat duduk sebangku dengan saya mengajak temannya berpindah. Terdengar salah satu pria bilang, "Auranya gak enak duduk di sekitar sini."

Rupa-rupanya, mood kita pun menular ke sekeliling. Ahaha. Aura saya emang lagi gak enak gegara buku bekas yang tidak jadi saya ambil. Itu buku bagus yang pernah direkomendasikan seseorang yang tidak saya kenal dalam tulisannya. Buku berjudul The God of Small thing karya Arundhati Roy. Satu lagi buku seorang traveller yang kelihatan sama menariknya. Ya ellah... baru mau baca buku itu sekarang? Itu mah buku zaman baheula, Er!

Mengapalah si mas tadi jual-jual mahal kalau toh akhirnya dia iyakan juga. Lagian dari tadi saya sudah memohon-mohon lama. Sambil membayangkan buku itu sudah ada di tangan. Tapi ya sudahlah. Nanti kalau sudah ada duit, beli buku yang sama. Kali ini saya tidak mampu membayar seharga yang diminta penjual dan sudah terlanjur berubah pikiran.

Namun, kejadian itu mempertemukan saya pada buku ini, buku ringan yang mengajak pembacanya mengingat lagi tentang fase kehidupan yang disebut dengan single, terutama bagi wanita.

Apakah Status Single Memang Aib?

Novel ini bisa dibilang sesuai judulnya. Bukan tentang tips en trik menjadi lajang berbahagia tapi cerita dengan subjek 'aku' akan realita hidupnya menghadapi masa single dengan tuntutan segera menikah.

Namun, walaupun isi sesuai judulnya, Jennifer Jhonson seakan hendak mengatakan secara tersirat, bahwa lepas dari single bukan berarti hidup sesuai harapan kita. Hidup juga tidak akan otomatis bahagia. *And they live happy forever and after. Bo'ong!

Jennifer Jhonson menceritakan aktivitas kesehariannya sebagai lajang yang diburu menikah. Jika pada usia yang semakin matang tak kunjung memiliki pasangan hidup. Usia yang semakin bertambah, sudah bekerja dan memiliki adik perempuan yang akan segera menikah, Hailey.

Jennifer Jhonson pun melakukan banyak hal untuk mengubah kehidupan singlenya. Melakukan diet, ikut online dating, mencari pendapat para sahabatnya tentang mencari pacar dan menerima setiap masukan orang terdekat, termasuk ibunya.

Berada di lingkungan dengan tuntutan seperti itu bisa mengubah pandangan akan kehidupan single. Masa single pun menjadi monster menakutkan atau cap memalukan dalam dirinya. Belum lagi pandangan 'aneh' dari orang sekitar jika seorang kakak perempuan belum menikah sementara adik perempuannya sibuk mempersiapkan pernikahannya. Tidak menutup kemungkinan pandangan ini akan mempengaruhi anak remaja (wanita) lainnya.

Rasanya, budaya kita cenderung menganut pemahaman sama. Ada kegelisahan ketika melihat wanita di sebuah keluarga sudah berumur dan bekerja tapi belum memiliki pasangan. Apalagi jika adik perempuan sudah memiliki calon suami sementara kakak perempuan belum ada tanda-tanda akan dilirik lawan jenisnya.

Jangan-jangan ada yang tidak beres sama kakak perempuannya. *Please janganlah beranggapan seperti itu. Saya berada di posisi yang sama walaupun adik perempuan saya belum ada tanda-tanda akan menikah dalam waktu dekat. :D

Setiap orang diciptakan baik adanya dan kita memiliki masa yang berbeda. Kita tidak berhak  menuduh orang lain tidak beres kala mereka berencana menikah tetapi sampai sekarang belum punya pasangan.   

Saya sendiri menghadapinya. Ketika saya mengatakan, entah mamak dan adik saya mengingatnya, kalau adik saya perempuan sudah mendapat jodoh, ya silahkan menikah, mamak saya dengan halus menolak, "gak bagus dipandang masyarakat."

Urusan jodoh sama seperti banyak urusan lainnya, seutuhnya tidak didalam kendali satu pihak. Tidak seperti rencana membeli buku. Saya bisa memilih-milih dulu, membatalkannya atau membelinya. Selesai urusan. Tapi jodoh berada di tiga pihak, yaitu TUHAN, laki-laki dan perempuan.

Setuju apa katamu, walaupun mendapat tempat untuk 'menanti', wanita memang harus menata dirinya serta membuka hati.

Menikmati Fase Kehidupan Single

Dan kemudian membayangkan, ketika sudah memasuki fase pernikahan, saat itu kita benar-benar sadar, bahwa masa single tidak akan pernah kembali lagi seperti sediakala.

Kamu tidak bisa pergi-pergi sesukamu tanpa harus memperhitungkan segala-galanya, suamimu dan anak-anakmu.

Jadi, mengapa tidak menikmati masa single ini selagi dalam penantian? Dengan catatan, jangan pula terlena. *Terimakasih sudah mengingatkan dengan pertanyaan-pertanyaan, "kapan menikah." Tapi sebaiknya tanyalah dengan jeda yang masuk akal, tiga kali sehari layaknya ngingatin minum obat atau sekali seminggu sepertinya kurang pas. ;)

"I am single and happy. Are you telling me that seriously?"

Heppi menikmati masa single, masa penantian yang diluar kendali, menikmati banyak hal lainnya. Ternyata ialah menurut kisah dalam novel ini, setiap fase kehidupan, tuntutan tidak akan pernah selesai! 

Jika masa single saja kita penuh dengan tuntutan untuk segera menikah, pada masa berkeluarga kita juga akan berhadapan dengan banyak tuntutan lainnya. Menjadi tidak single, tidak ada namanya tamat dari masalah. Hei, berkeluarga tidak seburuk yang kamu bayangkan, kok. Lho!

Btw, single dan jomblo ternyata dua kata ini tidak ada dalam KBBI.

Setelah berpacaran dan akan menikah terbukalah realita kehidupan pria yang mengeluarkan dia dari kehidupan single. Kira-kira demikian Jennifer Jhonson menceritakan tentang pacarnya si Brad yang kaya raya itu. Dia manusia yang tidak sempurna.

Pasangannya, Brad dan keluarganya memiliki selera yang berbeda dari Jennifer Jhonson. Bahkan hal remeh-temeh pun bisa menjadi sumber masalah. Karakter berbeda dan cara pandang yang berbeda.

Hailey dengan senang hati menyiksaku dengan fakta pascapernikahan, "setelah menikah, dia tidak akan kentut secara sembunyi-sembunyi," jelas Hailey, "Dan setelah menikah, dia berhenti memberimu hadiah." Hal. 282.

Walahh :D

Menoleh pada fase kehidupan single-dimasa didesak segera menikah, dimasa penantian tak menentu sampai kapan, agar kita terlebih dahulu mengenal siapa diri kita, menerima siapa diri kita, dan menjadi utuh di dalam hidup yang dia miliki sesuai nilai-nilai baik yang kita yakini. 

Wanita single cenderung mendapat sejuta pertanyaan dan tuduhan karena sampai sekarang belum punya pacar, padahal mereka diharuskan untuk menanti. Sementara pria punya hak special alias SPCL untuk menyatakan perasaannya, plus dengan risiko mendapat penolakan dari wanita. *Hei pria, jangan trauma mendapat penolakan, ya :D

Lalu, diam-diam timbullah pertanyaan, apakah memang pernikahan benar-benar membuat saya bahagia, kalau sekarang saja saya tidak berbahagia? *Psst, ini pertanyaan yang pernah diajukan sama saya loh ya.

Oke, novel ini untuk dewasa. Hanya berbagi karena katanya sharing is caring.

Happy weekend yaa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun