Setiap orang diciptakan baik adanya dan kita memiliki masa yang berbeda. Kita tidak berhak  menuduh orang lain tidak beres kala mereka berencana menikah tetapi sampai sekarang belum punya pasangan.  Â
Saya sendiri menghadapinya. Ketika saya mengatakan, entah mamak dan adik saya mengingatnya, kalau adik saya perempuan sudah mendapat jodoh, ya silahkan menikah, mamak saya dengan halus menolak, "gak bagus dipandang masyarakat."
Urusan jodoh sama seperti banyak urusan lainnya, seutuhnya tidak didalam kendali satu pihak. Tidak seperti rencana membeli buku. Saya bisa memilih-milih dulu, membatalkannya atau membelinya. Selesai urusan. Tapi jodoh berada di tiga pihak, yaitu TUHAN, laki-laki dan perempuan.
Setuju apa katamu, walaupun mendapat tempat untuk 'menanti', wanita memang harus menata dirinya serta membuka hati.
Menikmati Fase Kehidupan Single
Dan kemudian membayangkan, ketika sudah memasuki fase pernikahan, saat itu kita benar-benar sadar, bahwa masa single tidak akan pernah kembali lagi seperti sediakala.
Kamu tidak bisa pergi-pergi sesukamu tanpa harus memperhitungkan segala-galanya, suamimu dan anak-anakmu.
Jadi, mengapa tidak menikmati masa single ini selagi dalam penantian? Dengan catatan, jangan pula terlena. *Terimakasih sudah mengingatkan dengan pertanyaan-pertanyaan, "kapan menikah." Tapi sebaiknya tanyalah dengan jeda yang masuk akal, tiga kali sehari layaknya ngingatin minum obat atau sekali seminggu sepertinya kurang pas. ;)
"I am single and happy. Are you telling me that seriously?"
Heppi menikmati masa single, masa penantian yang diluar kendali, menikmati banyak hal lainnya. Ternyata ialah menurut kisah dalam novel ini, setiap fase kehidupan, tuntutan tidak akan pernah selesai!Â
Jika masa single saja kita penuh dengan tuntutan untuk segera menikah, pada masa berkeluarga kita juga akan berhadapan dengan banyak tuntutan lainnya. Menjadi tidak single, tidak ada namanya tamat dari masalah. Hei, berkeluarga tidak seburuk yang kamu bayangkan, kok. Lho!