Mohon tunggu...
Erni Pakpahan
Erni Pakpahan Mohon Tunggu... Administrasi - Wanita dan Karyawan Swasta

Terima kasih sudah berkunjung!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Ngoplah] Penulis Ternyata Manusia, Kata Adik Saya Mereka Keren Karena Idenya

24 Maret 2017   20:24 Diperbarui: 24 Maret 2017   20:42 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adik saya ngakak sewaktu saya bercerita Sabtu kemarin saya bertemu para penulis. Ngoplah berkesan hari itu masih segar dalam pikiran. Saya ceritakan esok harinya melalui ponsel. Berkesan karena bisa bertemu dengan beberapa penulis sekaligus dan taulah saya kalau ternyata penulis adalah manusia.

“...ternyata mereka makan kacang, mereka bisa saling menggoda, mereka juga pokoknya manusia...”

“Jadi maksudmu manusia apa? Penulis keren karena ide-idenya.” Jawaban yang membuat saya skak matt menyadari pikirannya sudah sejauh itu.

Penulis bukanlah makhlud gaib. Mereka juga bukan manusia dengan kepala besar karena kepenuhan ide yang akan dituangkan dalam bentuk tulisan. Mereka juga bukan manusia dengan mata besar seperti kaca loop yang bisa melihat kalimat yang kurang pas dan kesalahan tanda baca. Lebay ah!

Penulis keren karena idenya!

Sebuah kalimat penutup yang lekat di pikiran saya dari Pak Thamrin Sonata, “Karena kita bukan siapa-siapa maka kita menulis.”

Tungguuu ini belum penutup.

Cerita tentang toleransi hangat di kantor kompasiana diisi peserta dengan kepala penuh ide sore itu. Pengalaman bertoleransi dan mengalami toleransi dari orang sekitar.

Hari itu toleransi dimulai saat saya masuk dari pintu bertanya pada Satpam lalu melewati pintu scan lalu masuk ke lobby mengambil kartu nama.

Mungkin gara-gara saya terlihat gugup. Waktu saya menegaskan kembali arahan bapak penerima tamu, “Belok kiri, naik lift ke lantai enam.” tangan saya menunjuk ke arah kanan.

Terlihat gugup, dengan toleransi beliau mencoba menghangatkan suasana ketika menerima kartu identitas bilang begini, “lebih cantik aslinya.” #gubrakk.

Candaannya membuat saya sadar saya salah total. Sejak kapan kiri jadi kanan? Saya ucapkan “Makasih, Pakk.” Lalu kabur menuju lift setelah belok kiri. Meninggalkan beliau dan seorang temannya dengan wajah tersenyum. Entah mereka menahan tawa. :D

Iya iyalah secara foto dalam kartu identitas saya kabur. Coba punya jurus bening. Saya akan langsung tidak kelihatan. Maluuu.

Siapa yang tidak gugup menginjak wilayah Gedung Kompas Gramedia. Rumah terbitnya koran kompas. Koran nasional yang dulu sering dibaca sama teman-teman kemudian saya terpengaruh memelototinnya. Hari Minggu ada teka teki silang membuat kami berkumpul bersama mencari jawaban. Hari Selasa ada opini mahasiswa. Hari Rabu ada tentang teknologi. Sudah berubahkah?

Apalagi saya, bukan penulis juga bukan salah seorang staf. Hanya seorang yang sering nguntit artikel-artikel di flatform Kompasiana. Lalu saat mencoba menulis kelarnya baru berhari-hari hingga berminggu-minggu. Malah ada calon artikel yang sudah dikerjakan sejak beberapa bulan lalu gak selesai juga hingga menit ini. Artikel ini contohnya. Ngoplahnya minggu kemarin baru selesai sekarang. Apa itu?!

Tiba di lantai enam bertemu pak Thamrin Sonata dekat pintu Kantor Kompasiana. Penulis yang saya ikuti dan kenal dari tulisan-tulisannya di kompasiana.

Saya masuk ke dalam ruangan mengikuti beliau dan diperkenalkan ke peserta yang tampaknya sudah lama hadir disana.

Mak Jang! Hampir semua peserta di ruangan itu memiliki tulisan dalam buku berjudul Intoleransi di tangan saya. Ada Bapak Kang Nasir, Iskandar Zulkarnain, Rooy John Salamony, Teh Sugiyo, Isson Khairul, Ikhwanul Halim, Mba Erni Wardhani, Tamita Wibisono, dan Ade Supartini.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Untung ada Mba Arum, peserta yang sudah pernah bertemu sebelumnya. Lalu di pertengahan acara ada Kak Edrida Pulungan. Penulis puisi yang pernah saling berkomentar di halaman kompasiana.

Sedikit tentang pertemuan sore itu, para penulis berbagi tentang pengalaman mengalami masa-masa toleransi dan melakukan toleransi pada orang lain, yang berbeda keyakinan, suku, kaum, dan bahasa.

Enak aja rasanya mendengar penuturan mereka tentang pengalaman bertoleransi. Apalagi akhir-akhir ini bangsa kita, terutama Jakarta digoncang oleh kejadian yang membuat kita gentar karena perbedaan pemahaman disangkut-pautkan dengan agama. Pertemuan Sabtu itu mengingatkan saya bahwa masih ada (banyak) yang peduli tentang pentingnya bertoleransi dalam semua hal.

Kepedulian itu mereka tuangkan dalam bentuk tulisan toleransi. Tulisan yang menghayo-hayokan masyarakat supaya kita hidup bertoleransi. Dari cerita mereka hidup bertoleransi sudah ada sejak duluuu.

Soalnya mereka yang bercerita sore itu sudah tua. Ampunn... maksud saya sudah dewasa. Saya tangkap mereka penulis berpengalaman oleh asam garam pahit manis getirnya kehidupan masa lalu. Makanya mereka penuh ide. Pengalaman dan ide toleransi itu dituangkan dalam tulisan mengajak yuk jangan lupa bertoleransi. Ini budaya bangsa kita lho...

Kangen belajar di sekolahan yang sering disuruh buat rangkuman oleh guru. Beberapa peserta juga berasal dari kalangan guru, ada Pak Teha dan Mba Erni. Berikut rangkuman ngoplah menurut versi saya:Toleransi tidak melulu tentang agama tapi tentang menghargai perbedaan yang ada, menerima kekurangan dan kelebihan, memperlakukan orang lain seperti diri ingin diperlakukan dan mengingat bahwa semua manusia setara. Kadang-kadang kita lupa, saya seringkali tapi mari saling mengingatkan.

Penutup dari saya: karena saya bukan siapa-siapa maka saya ikut kegiatan kompasiana supaya dapat ide dan bahan tulisan. Kalau udah ada ide dan bahan, meski agak lama tulisan pun muncul. Soalnya musti putar otak dulu.

Itu ajja, maaf buku Intoleransi pada saya cuma satu gak bisa dibagi.

#Met wiken all:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun