Adik saya ngakak sewaktu saya bercerita Sabtu kemarin saya bertemu para penulis. Ngoplah berkesan hari itu masih segar dalam pikiran. Saya ceritakan esok harinya melalui ponsel. Berkesan karena bisa bertemu dengan beberapa penulis sekaligus dan taulah saya kalau ternyata penulis adalah manusia.
“...ternyata mereka makan kacang, mereka bisa saling menggoda, mereka juga pokoknya manusia...”
“Jadi maksudmu manusia apa? Penulis keren karena ide-idenya.” Jawaban yang membuat saya skak matt menyadari pikirannya sudah sejauh itu.
Penulis bukanlah makhlud gaib. Mereka juga bukan manusia dengan kepala besar karena kepenuhan ide yang akan dituangkan dalam bentuk tulisan. Mereka juga bukan manusia dengan mata besar seperti kaca loop yang bisa melihat kalimat yang kurang pas dan kesalahan tanda baca. Lebay ah!
Penulis keren karena idenya!
Sebuah kalimat penutup yang lekat di pikiran saya dari Pak Thamrin Sonata, “Karena kita bukan siapa-siapa maka kita menulis.”
Tungguuu ini belum penutup.
Cerita tentang toleransi hangat di kantor kompasiana diisi peserta dengan kepala penuh ide sore itu. Pengalaman bertoleransi dan mengalami toleransi dari orang sekitar.
Hari itu toleransi dimulai saat saya masuk dari pintu bertanya pada Satpam lalu melewati pintu scan lalu masuk ke lobby mengambil kartu nama.
Mungkin gara-gara saya terlihat gugup. Waktu saya menegaskan kembali arahan bapak penerima tamu, “Belok kiri, naik lift ke lantai enam.” tangan saya menunjuk ke arah kanan.
Terlihat gugup, dengan toleransi beliau mencoba menghangatkan suasana ketika menerima kartu identitas bilang begini, “lebih cantik aslinya.” #gubrakk.