Ketika masalah sampah plastik tak mampu tertangani dengan baik, pemerintah daerah bikin aturan pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai. Pelarangan itu berpijak dari persoalan sampah plastik yang "menggunung" dan mencemari lingkungan dan bagaimana solusinya mengurangi jumlah sampah plastik tersebut.
Jurus pelarangan pun menjadi salah satu cara yang dianggap paling jitu oleh para kepala daerah. Hingga kini ada tujuh pemerintah daerah yang sudah menerbitkan pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai atau single use plastic.
Ketujuh daerah itu adalah  Banjarmasin, Balikpapan, Denpasar, Bogor, Bekasi, Semarang dan DKI Jakarta. Mereka mengeluarkan peraturan larangan melalui peraturan gubernur (Pergub) atau peraturan wali kota (Perwali).
Willy Tandyo, Pembina  Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) menyatakan bahwa  baik Perwali maupun Pergub tersebut  tidak berhasil melihat problem sampah plastik di wilayah masing masing secara komprehensif.  Bahkan terkesan mencari alternatif tergampang.
Mereka tidak melihat  dampak negative lain yg akan timbul, baik terhadap ekonomi masyarakat bawah maupun dampak kesehatan bagi masyarakat.
Willy mencontohkan, ketika sedotan plastik menjadi ancaman, mereka  membuat  pengganti sedotan plastik dengan sedotan berbahan kertas atau kayu. Menurut dia, dengan menggunakan sedotan kertas ataupun bamboo justru menimbulkan bahaya zat kimia, sehingga  dulu kita menciptakan sedotan plastic untuk mengatasi bahaya tsb.
Willy menjelaskan, bambu dan kertas perlu di kelantang atau diberi pemutih dan pemati kuman. Dalam proses ini kemungkinan kebocoran bahan kimia berbahaya terbawa oleh sedotan kertas dan bambu.
Belum lagi jejang karbon (carbon footprint) dalam  pembuatan kertas jauh lebih besar dari pada plastik. Ini terntu akan memperparah pemanasan global (global warming) yang saat ini sudah semakin parah ini.
Problem sampah plastic  di Indonesia, lanjut Willy,  lebih banyak disebabkan tidak adanya atau mandulnya Waste management. Indonesia dengan populasi 250 juta orang, konsumsi  plastik per kapitanya  lebih sedikit dibanding negara Asia lainnya.
Data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas), Indonesia mengkonsumsi plastik sebanyak  5,76 juta ton per tahun atau rata-rata per kapita 19,8 kg. Bandingkan dengan negara lain yang konsumsi per kapitanya lebih besar,  Korea 141 kg, Jerman 95,8 kg, Jepang 69,2 kg dan Vietnam 42,1 kg.
Meski negara-negara tersebut mengkonsumi plastiknya lebih banyak dari Indonesia, tapi mereka mampu mengelola sampahnya dengan baik sehingga lingkungannya terpelihara dengan asri.
Dampak lain yang mengkhawatirkan, menurut Willy Tandyo, Â muncul protes ditingkat pasar tradisional oleh para pedagang dan pelanggan, karena alternatif pengganti kantong plastik keresek belum tersedia.
Dan, kebanyakan pedagang menjual barang basah. Selain itu, transportasi pulang pergi  ke pasar menggunakan sepeda motor, bukan mobil yang bisa memuat baskom untuk barang-barang yang basah.
Pemerintah sebaiknya tidak asal mudah  membuat aturan pelarangan, tapi buatlah solusi atau barang pengganti yang dilarang tersebut. Karena masyarakat juga yang akan menanggung dampak ekonomi, sosial, hingga lingkungan dari aturan yang "dipaksakan" itu.
Menurut Willy, Indonesia harus punya kemauan kuat untuk mengatasi problem sampah plastik.  Melalui kajian atau tindakan yang terintegrasi dengan  melibatkan para Pendupin (Pendaur Ulang Plastik Indonesia) mari duduk bersama untuk mencari jalan keluar dari persoalan sampah plasti.Â
Willy melihat bahwa pemerintah belum punya  mapping plastic. Padahal plastik terdiri dari banyak jenis dan  karakter  serta pola daur ulang yang berbeda- beda. Tanpa pemahaman yg baik, kita hanya akan buang buang waktu saja.
Enisa Djudira