Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ajak Siswa Mencintai Budaya Lokal Melalui Media dan Model Pembelajaran

1 Desember 2021   20:27 Diperbarui: 2 Desember 2021   05:06 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu pernah ke Korea ya nak?"

"Tidak, Bu"

"Di dalam cerpen yang kamu tulis ini, semua nama tokoh, tempat, suasana, karakter dan kebiasaan tokoh semuanya mencerminkan budaya masyarakat Korea loh"

"Ya karena saya sering melihat drama Korea, Bu"

Demikian perbincangan saya dengan salah satu peserta didik kelas IX, saat pembelajaran menulis cerpen. 

Penugasan portofolio ini memang sengaja tidak saya tentukan temanya. Saya berharap kreativitas anak akan berkembang. 

Selain itu, saya juga ingin mengetahui seberapa besar mereka memikirkan tradisi warisan leluhur daerahnya. Apa saja kegelisahan, keinginan dan harapan mereka melalui teks cerpen yang dibuatnya.

Hasilnya, saya dibuat tercengang, ternyata dari empat kelas yang saya bimbing, tidak ada satu pun peserta didik yang menuliskan tentang budaya daerahnya. 

Karya anak-anak ini lebih banyak menceritakan dunia remaja, persahabatan, pengalaman cinta pertama dan beberapa yang mengisahkan tentang keluarga. 

Untuk tema remaja dan cinta, sebagian besar imajinasi siswa banyak dipengaruhi oleh alur cerita drama Korea.

Sebenarnya pengaruh budaya Korea yang dilihat melalui drama Korea ini, tidak hanya tercermin dalam cerpen yang mereka buat. Namun saya sering melihatnya dalam kehidupan sehari-hari anak-anak remaja ini. Seperti dalam mengonsumsi makanan, dibuat ala-ala Korea, meski bahanya dari dalam negeri.

Pun cara mereka berbicara sudah mengikuti logat artis Korea. Cara berpakaian, mulai meniru model tokoh idola yang ia tonton di drama Korea. 

Selera musik juga sudah mulai berubah, mengikuti tren K-pop. Bahkan tidak sedikit tingkah laku para remaja ini sudah mulai kecanduan dengan budaya populer bangsa asing.

Arus informasi dari luar negeri yang masuk ke Indonesia ini memang telah membawa budaya asing tak dapat di tolak maupun ditawar lagi. Apalagi dengan pesatnya perkembangam media sosial, membuat semua orang bisa mengakses semua informasi yang diinginkan. 

Secara perlahan tapi pasti dan nyata, rasa cinta terhadap adat-istiadat atau tradisi yang sudah dibangun para leluhur mulai luntur. Tergantikan budaya asing yang tentu tidak seluruhnya mencerminkan etika budaya timur negeri ini.

Dilansir Kompas (20/03/2021) bahwa menurut hasil survey Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 16 Agustus 2020, sebanyak 91,1 persen dari 924 responden di 28 kota di Indoensia mengaku menonton K-drama selama pandemi, meningkat dari 87,8 persen sebelum masa pandemi. 

Menurut survey LIPI, rata-rata waktu yang digunakan untuk drama Korea juga meningkat dari 2,7  jam perhari sebelum pandemi menjadi 4,6 jam perhari semasa pandemi.

Bila generasi muda sudah kecanduan tontonan dari peroduksi luar negeri, tentu ini akan sangat berpengaruh terhadap pola pikir, pandangan hidup dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Bahkan bisa menyebabkan tergesernya rasa cinta terhadap budaya daerah dan perilaku yang cukup signifikan.

Mereka lebih mengenal Kim So-Hyun daripada Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi. Lebih paham Hwang Sun-oh daripada Prilly Latuconsia, penulis buku dan artis Indonesia. 

Lebih mengagumi Lee Hye-Yeong daripada Sri Izzati, peraih penghargaan MURI karena ketika sebagai penulis cilik rajin menulis buku KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya).

Bila setiap hari yang dilihat dan didengar remaja tentang kisah drama Korea, maka sangat mungkin suatu hari nanti mereka bangga bercerita tentang budaya Dance Hot Sauce daripada tari Reog Ponorogo Lebih bahagia menyanyikan You Are My Everything daripada Cublak-Cublak Suweng. Lebih senang mengonsumsi kimchi dariapada gethuk lindri.

Tidak bisa dimungkiri bahwa globalisasi telah berimbas pada masuknya budaya asing dan menggeser budaya lokal. 

Kemajuan ilmu dan teknologi memang telah memberi dampak positif pada tatanan sosial ekonomi, menjadi lebih produktif, efektif dan efisien sehingga mampu bersaing dengan pasar internasional.

Namun dampak lain, bagi masyarakat yang belum bijak dalam memanfaatkan teknologi ini akan memengaruhi pandangan dan wawasan kebangsaan, terutama pada usia anak-anak dan remaja. Karena tanpa disadari kemajuan teknologi ini pula yang setiap hari membawa pengaruh bagi para penggunaya.

Seperti yang disampaikan oleh Presiden RI, Joko Widodo dikutip dari Kompas, mengatakan bahwa budaya asing telah masuk ke Indonesia secara besar-besaran. Masyarakat harus mengantisipasi supaya budaya sendiri tidak kalah bersaing, demikian pesan Jokowi di depan 503 mahasiswa peserta program penguatan Pancasila di halaman Istana Presiden Bogor, Sabtu, 12 Agustus 2017.

Berangkat dari keprihatinan akan tergesernya nilai-nalai budaya, maka peserta didik sebagai calon generasi muda negeri ini harus mempunyai karakter yang kuat dalam mencintai budaya dalam dalam negeri, terutama budaya dari daerahnya sendiri. 

Karena tidak memang  pengaruh budaya asing melalui media sosial tidak bisa ditolak lagi. Maka usaha membangun karater atau character building harus terus ditingkatkan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya, baik itu orang tua atau guru.

Character building atau membangun karakter adalah suatu proses atau usaha yang dilakukan untuk membina, memperbaiki dan/atau membentuk tabiat, watak, sifat kejiwaan, akhlak (budi pekerti), insan manusia (masyarakat) sehingga menunjukkan perangai dan tingkah laku yang baik.

Membangun karakter tidak seperti membangtun rumah, jembatan, atau gedung sekolah. Karakter itu bukan hasil warisan dari keturunan, bukan juga bawaan dari lahir. 

Karakter juga bukan hasil jual beli atau tukar menukar barang. Pembangunan karakter merupakan sebuah proses menumbuhkan kepribadian agar menjadi pribadi yang kuat, tidak mudah goyah. 

Menguatkan pribadi yang kurang stabil menjadi pribadi yang bertanggung jawab melalui pembiasaan pola berpikir, olah rasa dan pembiasaan tindakan sehari-hari yang berkesinambungan.

Tentang pembangunan karakter ini, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menunjukkan pintu masuk pembangunan karakter peserta didik dengan menetapakan Peraturan Menteri dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor  20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada satuan pendidikan formal.

Dalam ketetapan tersebut terdapat lima nilai karakter utama yang bersumber dari pancasila yang menjadi prioritas gerakan penguatan pendidikan karakter, yaitu religius, nasionalisme, integritas, kemandirian dan kegotongroyongan. Namun dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas bagaimana membangun karakter budaya, terutama budaya lokal.

Kenapa karakter budaya lokal perlu dibangun? Karena mencintai, melestarikan dan mengembangkan keanekaragaman seni, adat istiadat serta kekayaan alam yang miliki oleh bangsa Indonesia itu merupakan tanggung jawab semua warga negara Indonesia, apalagi itu kekayaan alam yang ada di daerah sendiri. 

Melului cinta terhadap kebudayaan inilah diharapkan masyarakat Indonesia terutama generasi muda lebih mengenal, menghargai serta memupuk rasa nasionalisme.

Dalam hal pembangunan karakter budaya lokal ini, peran guru sangat menentukan bisa melakukan perubahan tingkah laku peserta didik. 

Dalam istilah bahasa Jawa, karena guru itu singkatan dari digugu lan ditiru. Artinya guru adalah sosok yang kata-katanya dapat dipercaya dan sikapnya bias dijadikan teladan oleh anak didiknya.

Seperti petuah yang pernah disampaikan oleh pahlawan pendidikan Ki Hajar Dewantoro, untuk seorang guru, "Ing ngarso sung tuladha, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani". Artinya seorang guru harus bisa memberi teladan yang baik, memberi contoh hal-hal yang positif, guru harus mampu membangun semangat dan senantiasa memberi motivasi peserta didik pada setiap kesempatan.

Melalui peran serta guru ini, lembaga sekolah bisa mengintegrasikan pengembangan materi budaya lokal ini ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Guru bisa memanfaatkan kearifan budaya lokal sebagai media, model pembelajaran serta sumber belajar bagi peserta didik.

Sebagai media pembelajaran, misalnya guru bisa memanfaatkan aneka budaya lokal yang ada di daerah dalam sebuah media permainan menarik, seperti permainan dengan menggunakan papan monopoli. 

Selain murah meriah, permainan ini juga sangat digemari oleh peserta didik dan mudah dilakasnakan peserta didik. Bahkan permainan bisa dijadikan ajang rekreatif peserta didik menghadapi tugas-tugas sekolah.

Permainan monopoli merupakan salah satu permainan yang digemari anak-anak dengan menggunakan papan atau kertas yang didalamnya memuat bidak-bidak yang akan dijual belikan, disewakan dan pertukaran properti. 

Dalam permainan ini pemain melempar dadu untuk bergerak di sekitar permainan, membeli dan memperdagangkan properti mobil, rumah atau hotel. Pemain mengumpulkan uang sewa dari lawan mereka, dengan tujuan membuat lawan main bangkrut. 

Uang juga dapat diperoleh atau hilang melalui kartu peluang dan kotak pajak. Pemain juga dapat menerima tunjangan setiap kali lolos dan dapat berakhir dipenjara bila salah dalam beberapa kondisi.

Penerapan media permainan monopoli dalam pembelajaran ini sangat mudah. Guru tetap memainkan permainan seperti ketentuan yang berlaku, dengan tidak mengubah jalannya permaianan. 

Namun, di sini guru perlu mengubah nama isi yang terdapat di petak-petak yang papan monopoli seperti hotel, stasiun, rumah, bank dan beberapa perusahaan dengan nama-nama budaya lokal berserta penjelasan singkat tempat dan deskripsinya. 

Sedangkan kartu dana umum dan kesempatan diganti dengan teks-teks yang berupa pertanyaan dan pernyataan yang berhubungan dengan kearifan budaya lokal.

Permainan ini bisa dilakukan peserta didik dalam bentuk kelompok. Guru menyediakan teks penjelasan tentang kearifan budaya lokal pada lampiran petak-petak. 

Ketika ada kelompok pemain yang bangkrut atau berada pada petak tertentu yang telah ditentutan bersama, pemain harus menjawab kartu-kartu pertanyaan tentang isi budaya lokal yang telah dibuat oleh guru.

Pengenalan budaya lokal melalui permainan ini sangat efektif untuk anak, belajar sambil bermain akan membuat peserta didik memperoleh pemahaman tanpa ada paksaan. 

Permainan ini bisa diterapkan oleh guru mata pelajaran bahasa, pendidikan kewarganegaraan dan ilmu pengetahuan sosial. Atau bisa juga untuk kegiatan refresing yang mendidik.

Media lain yang bisa dimanfaatkan untuk mengenalkaan budaya lokal kepada peserta didik adalah dengan penelusuruan materi melalui internet. 

Zaman milineal saat ini sangat memungkinkan peserta didik mencari materi sendiri melalui jaringan internet. Apalagi sekarang informasi digital tentang budaya lokal sudah diunggah di media sosial.

Dalam penerapan pembelajaran, materi budaya lokal ini bisa dijadikan referensi penugasan peserta didik. Misalnya dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, kompetensi dasar menulis teks hasil observasi, guru memberikan beberapa tautan video atau teks budaya lokal kepada siswa. Selanjutnya siswa bisa melakukan observasi ke lokasi terdekat untuk mencari data sebagai tulisan hasil observasi.

Selain media pembelajaran, materi budaya lokal bisa dijadikan model pembelajaran. Tiap daerah pasti mempunyai tradisi yang unik. 

Keunikan inilah bisa dimanfaatkan guru dalam pembelajaran di kelas. Misalnya saja kalau di Blitar ada budaya lokal berupa kesenian Jaranan, tari Barong Rempong, tari Emprak dan tari Reog Bulkiyo.

Melalui media kesenian tersebut, guru bisa mengenalkan budaya lokal putra daerah kepada peserta didik. Iringan musik tersebut bisa diterapkan pada saat apersepsi, sebelum pembelajaran atau pada saat peserta didik sedang mengerjakan tugas secara berkelompok. Bisa juga digunakan untuk iringan pada saat guru memberikan kuis, pembagian kelompok atau pada saat melaksanakan model pembelajaran menjawab pertanyaan bergilir.

Pengenalan budaya lokal dengan berkesenian ini bisa menumbuhkan rasa bangga peserta didik terhadap budaya di daerahnya. 

Apalagi zaman sekarang ini, musik-musik tradisonal sudah banyak yang dikemas dengan aliran musik modern, gaya anak remaja. 

Semakin sering diperdengarkan kepada anak, akan muncul cinta, kata orang Jawa "witing tresno jalaran songko kulino", tumbuhnya cinta itu disebabkan oleh kebiasaan sehari-hari.

Selain media dan model, budaya lokal ini bisa juga dijadikan sebagai sumber belajar bagi peserta didik. Bahkan ini bisa diterapakan keseluruh mata pelajaran. Seperti yang kita ketahui bahwa budaya lokal itu penuh dengan nilai-nilai kearifan dan kepribadian suatu daerah atau bangsa. 

Kearifan lokal ini merupakan identitas atau kepribadian budaya bangsa yang merupakan ciri khas etika dan nilai budaya dalam suatu masyarakat lokal atau daerah yang diturunkan dari nenek moyang atau dari generasi ke generasi.

Dari kaarifan budaya lokal inilah masyarakat mampu beradaptasi, menata serta sebagai motor penggerak yang luar biasa untuk bertahan dalam suatu kelompok masyarakat.

Karakter yang tercermin dalam kearifan budaya lokal ini merupakan tuntunan kebajikan yang akan diajarkan kepada masyarakat tentang etika dan nilai-nilai moral.

Kearifan lokal mengajarkan masyarakat mencintai alam, bukan menghancurkanya. Kearifan lokal mendidik mansyarakat untuk saling menyayangi, menghargai, menghormati bukan saling memusuhi. 

Kearifan lokal pasti mengandung nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum atau aturan dalam suatu kelompok masyarakat di suatu daerah. 

Maka sudah tidak bisa ditawar lagi bahwa membangun karakter cinta budaya lokal memang sesuatu yang sangat urgen, yang harus segera dilaksanakan oleh semua pendidik. 

Kunci utama keberhasilan ini adalah adanya penetapan program oleh para penjamin mutu pendidikan. Selanjutnya dilaksanakan serta diikuti dengan kegiatan kontrol dan evaluasi program dengan memperhatikan produk yang dihasilkan oleh pendidik.

Membangun karakter budaya lokal memang harus dimulai sejak dini, secara bersama-sama. Pelestarian budaya lokal harus menjadi tanggung jawab kita semua. Tanpa adanya program yang jelas dan bersinergi dengan semua pihak, maka upaya yang dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan akan sia-sia.

Penanaman karakter secara berkesinambungan oleh pendidik, diharapkan akan semakin kukuh kesadaran masyarakat Indonesia khususnya generasi muda. 

Bila karakter ini kuat pada jiwa generasi muda, maka kekhawatiran budaya lokal akan terenggut oleh bangsa asing pun tidak akan pernah terjadi. Karena, bila kita tidak melestarikan budaya kita sendiri, bisa terjadi dikemudian hari, akan diambil oleh negeri lain. 

Bila kita ingin menjadi bangsa yang baik, maka mari memelihara tradisi budaya daerah yang menjadi pesona budaya nusantara.

Blitar, 1 Desember 2021

Enik Rusmiati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun