Mohon tunggu...
Eni Farida
Eni Farida Mohon Tunggu... Guru - Pencinta Kata

Kata adalah rasa, kata adalah nuansa, tapi tak ada kata putus asa, selalu belajar dan mencoba, semua pasti bisa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen| Salikah, di Ambang Dilema

31 Januari 2019   08:05 Diperbarui: 31 Januari 2019   15:34 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber picture : dream.co.id

Terpekur sendiri menatap langit-langit kamar, sesekali ia menghela nafas berat, ada beban di sudut hatinya.

Di usianya yang mulai beranjak senja, Salikah tetap menikmati kesendiriannya,  Ia belum pernah merasakan hangatnya sebuah keluarga. Walau banyak laki-laki yang mendekatinya, namun ia tak bergeming, entah karena trauma masa lalu atau mungkin karena ia belum merasa ada yang pas di hatinya. Salikah hanya pasrah menghadapi takdirnya. Sujud malam tak pernah ia tinggalkan. Bahkan puasa senin kamispun tak pernah ia lewatkan.

Sampai pada satu hari, ia bertemu dengan teman sekolahnya. Mereka saling menyapa, tanya kabar, saling bertukar nomor telepon.  Tak ada yang istimewa. Semua biasa-biasa saja.

****
Seperti biasa, setelah shalat maghrib ia habiskan waktunya dengan melantunkan ayat-ayat Al qur'an. Saat itulah terdengar dering telepon genggamnya berbunyi. Bergegas ia hentikan membaca , dan menghampiri Hp yang ia letakkan di sisi tempat  tidurnya.

"Assalamu'alaikum..." suara berat seorang laki-laki terdengar diujung sana.

"Wa'alaikum salam..." Salikah mencoba menjawab sambil mengernyitkan dahi. Ia mencoba mengingat suara siapa. Namun tetap saja ia tak bisa mengenali suara itu.

Kembali laki-laki di ujung sana menyapanya "masih ingat aku ?, kita ketemu di acara kemarin lho,  masak lupa ?".

"Oh ya aku ingat...kamu Amir ?, eh maaf ustadz Amir ya ?", Salikah berusaha menebak si penelpon. Tapi entah mengapa ada gurat-gurat bahagia saat tahu si penelpon.

Si ustadz kembali menjawab "betul. jangan panggil aku ustadz, panggil saja aku Amir. Gimana kamu sehat ?" Amir melanjutkan pertanyaannya.

"Alhamdulillah...baik, semoga ustadz juga baik", jawab salikah dengan tersipu.

"Amiin...Ya sudah yang penting kamu baik, aku senang mendengarnya", jawab Amir

"Kalau begitu aku pamit dulu, assalamu'alaikum...", lanjut Amir.

"Wa'alaikum salam, terima kasih" jawab Salikah.

****
Salikah kembali terpekur dalam doanya. Ia menangis dalam sujudnya. Ia berusaha meyakinkan rasa yang berkecamuk.
Beberapa hari ini, ia tak tahu harus bagaimana. Gundah gulana menyesaki dadanya.  Tak henti-hentinya memikirkan teman lamanya, yang diam-diam mulai ia rindukan. "Ah tidak..."bisik hatinya. Sering dirinya berharap Amir akan menghubunginya lagi. Tiba-tiba Hp nya berbunyi, menghentakkan lamunannya, dengan cepat ia baca WA yang masuk, seolah berdesir darahnya, saat tahu siapa yang mengirim WA padanya. Ia baca isi WA tersebut, 

"Hai..., sehat ?", isi WA dari Amir. "Alhamdulillah", ia balas chat dari Amir. Gemetar tangannya saat menuliskan huruf perhuruf.  Bingung, senang, takut menyelimuti hatinya.  Awalnya pembicaraan biasa-biasa saja. Tapi perhatian dan lelucon  Amir sering  membuatnya tersipu. Ia balas chat Amir "ini lho yang bikin aku selalu kangen kamu..., ups gak boleh ya kangen sama suami orang?"

Amir pun tak kalah agresif menjawab "Sama...aku juga". Jawaban Amir ini sontak membuat Solikah melayang.  Memerah pipinya, berdesir hatinya, antara rasa senang, takut dan tak percaya. "Apakah aku mulai suka padanya ?, bisik hatinya.

****
Ada perih,  gundah di hatinya. Salikah seakan berada di persimpangan jalan. Tetes air mata mulai membasahi pipi tirusnya. Ia menangis dalam diam. Ia tersungkur dalam sujud. "Ya Allah...jangan biarkan hati ini buta, Amir sudah berkeluarga, ia punya anak istri, aku tak ingin merusak segalanya, walau terkadang  ada perih dan duka". Demikian doa yang selalu ia panjatkan dalam sujud malamnya.

Namun intensitas chat yang mereka lakukan, menyebabkan rasa suka menghinggapi relung hatinya, membuat tak bisa menolak kehadiran Amir. Hatinya berontak, ingin menolak tapi rasa lain lebih menguasainya.

Salikah mulai merasa nyaman dengan Amir, walau diantara mereka tak pernah terucap kata cinta bak ABG sedang  kasmaran, tapi sikap keduanya menujukkan, ada sesuatu diantara mereka.  Salikah sering curhat dan meminta pendapat Amir. Demikian pula sebaliknya. Mereka sering diam-diam membuat janji untuk bertemu, sekedar melepas rindu. Dan ini jelas diluar sepengetahuan istri Amir. Salikah mulai lupa segalanya, ia lupa janjinya, ia lupa prinsip hidupnya, ia lupa ... rasa didadanya menutup pikiran jernihnya.  Pesona Amir tak mampu ia buang dari angannya. Rasa yang selama ini tak pernah ia rasakan seakan terus menggodanya.  Ia lupa bahwa ada keluarga Amir yang akan  tersakiti jika tahu apa yang mereka lakukan.

Kembali Salikah bersujud di sajadah panjangnya, menangis tanpa tahu apa yang harus dilakukannya. "Ya Allah, terus terang aku tak mampu menolak taqdirMu. Namun beri aku kekuatan untuk tidak menyakiti saudaraku. Biarlah aku tetap sendiri, hanya berkencan denganMu, tanpa yang lainMu. Karena tak ada yang bakal cemburu atau tergugu karenaku. Biarlah Amir hanya jadi bagian cerita terindahku. Jika dulu aku hanya berserah pada taqdirMu, berkeluh hanya padaMu,  kini aku telah berani menduakanMu ampuni aku ya Rabb, ...kuatkan langkahku untuk menyudahi semua ini ", pinta Salikah dalam doanya.

Serasa dadanya lega, walau  airmata masih terlihat menetes di pipi mungilnya.

****
Siang itu, saat jam istirahat, ia buka hp nya. Terlihat ada WA dari Amir. Kembali berdegup jantungnya. "I miss...", bunyi chat  Amir. Kembali berdesir hatinya, ada rasa tak kuasa, galau kembali berkecamuk. "Hai kok diam aja, kok gak dibalas ?, kembali chat Amir menghentakkan lamunannya. "Kamu gak kangen sama aku ?" begitu lanjutnya.  

"Ah sudahlah...jangan begitu", Salikah berusaha menekan dadanya dan membalas chat Amir. "Sungguh ! kamu tak punya hati, tak punya perasaan. Amir, sebaiknya kita sudahi saja semuanya, aku tak mau jadi perusak rumahtanngamu, aku tak mau menyakiti siapapun, aku tak mau....", Salikah seakan tak memberi kesempatan Amir untuk menjelaskan. Ia tutup Hp nya, ia blokir nomor Amir, ia hapus nomor dari phonebook nya. Salikah ingin mengubur semuanya, tentang perasaannya, kerinduannya, rasa cinta yang mulai menggelitik sudut hatinya. Ia hanya tak ingin ada yang tersakiti.

Derai airmatanya deras mengalir membasahi pipi, seakan tak rela namun ia harus memilih jalan ini.  "Ya Allah...kuatkan aku", bisik hatinya. 

Biarlah ini akan tetap jadi cerita indah yang pernah mewarnai  sisa hidupnya dan akan ia kubur untuk selama-lamanya. 

By Eni Farida, Malang 31.01.19 ~ di pagi ditemani rintik hujan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun