Dari celah pintu kamar ibu yang tak tertutup sempurna, kudengar suara isak yang samar. Seperti orang batuk yang disembunyikan dalam bekapan tangan.
Ibu menangis. Lagi.
Rasanya ingin sekali melangkahkan kaki ini menjauh, tapi hati ini tak tega. Pelan, kudorong pintu membuka lebih lebar.
Ibu menoleh, wajahnya basah oleh sisa air mata yang belum selesai diusapnya. Ujung selendang tergantung di jemari tangannya.
"Le, ada apa?"
"Harusnya aku yang bertanya, Bu. Ada apa?"
Dada ibu terlihat naik turun, seolah ada beban berat yang menimpa.
"Ayah, berulah lagi?"
Pelan, kepala itu mengangguk. Membenarkan dugaanku selama ini.
"Dulu, ibu mengabaikan pesan eyang kakungmu, Le. Pria yang pernah selingkuh, akan tergoda untuk mengulanginya lagi. Bahkan berulang. Padat saben mesthi ngono ...."
"Kenapa ... Ibu masih bertahan?" Susah payah kuajukan pertanyaan itu, meskipun aku tahu itu akan menyakiti hati ibu.
"Ibu harus konsekuen dengan pilihan ibu. Bagaimanapun, ayah adalah lelaki yang ibu cintai walaupun eyang kakung tidak setuju."
"Apa tidak sebaiknya Ibu tinggalkan saja? Makin hari, Ibu makin tersiksa."
Gemas rasanya, melihat ibu masih saja kukuh mendampingi.
Ibu tersenyum. Sesekali mengusap air mata yang masih berlelehan di pipinya.
"Selama Ibu masih kuat menahan, Ibu akan menerima ini sebagai takdir."
Ia mengelus rambutku penuh sayang.
"Nanti, engkau akan tahu alasannya, kenapa ibu memilih seperti ini, Le."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H