"Ibu harus konsekuen dengan pilihan ibu. Bagaimanapun, ayah adalah lelaki yang ibu cintai walaupun eyang kakung tidak setuju."
"Apa tidak sebaiknya Ibu tinggalkan saja? Makin hari, Ibu makin tersiksa."
Gemas rasanya, melihat ibu masih saja kukuh mendampingi.
Ibu tersenyum. Sesekali mengusap air mata yang masih berlelehan di pipinya.
"Selama Ibu masih kuat menahan, Ibu akan menerima ini sebagai takdir."
Ia mengelus rambutku penuh sayang.
"Nanti, engkau akan tahu alasannya, kenapa ibu memilih seperti ini, Le."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H