"Saya.... kenalkan. Saya Radit. Mohon maaf sudah mengacaukan waktu belanja anda...," sedikit membungkuk, tangannya terulur.
"Nayla....," disambutnya tangan itu sedikit gemetar.
Setelah saling bertukar nomor telepon, Radit bergegas memacu mobilnya meninggalkan halaman parkir dan Nayla yang tercenung sendirian.
*****
Dua minggu berlalu. Nayla masih berkutat dengan kertas kerja yang menumpuk di mejanya. Divisi yang dipimpinnya baru saja memenangkan tender pengerjaan Stadion Olah Raga. Sibuk rapat, peninjauan lokasi, mengecek kesiapan material untuk 'kerja besar' itu.... masih ditambah lagi harus berkoordinasi dengan instansi terkait... Duuuhhh.
Rasanya kepalanya mau pecah setiap kali memikirkannya.
Nayla mengabaikan rasa sakit yang sering sekali singgah di kepalanya. Seingatnya, enam bulan terakhir denyut-denyut di kepalanya makin menghebat. Seperti ada martil yang dipukulkan sekuat tenaga ke arah kiri belakang. Sakit sekali.
Terkadang ia harus terduduk sambil meremas rambutnya tiap kali serangan rasa nyeri itu dirasakannya.
"Adduuuhhh .....," ia menyeringai menahan sakit yang luar biasa.
Tangannya menggapai-gapai mencari pegangan saat tubuhnya limbung. Sebuah tangan kekar sigap menahan tubuhnya, dan merengkuhnya dalam pelukan. Nayla merasa tubuhnya berayun-ayun ringan. Ia tak berani membuka matanya, ia takut bila mual yang sejak tadi ditahannya akan membuat isi perutnya tumpah ruah semuanya.
Pemilik tangan kekar itu membopongnya ke mobil, mendudukkannya ke kursi lalu mengatur letak sandaran agar lebih nyaman untuk berbaring. Setelah menutupkan pintu mobil dengan perlahan, derap langkahnya terdengar memutar lalu membuka pintu di sebelah kanannya. Nayla masih memejamkan matanya, sesekali ia menyeringai menahan sakit.