"Nayla....," ucap Radit pasrah. Ia terduduk di kursinya, tangannya meremas rambutnya yang sedikit gondrong. Rahangnya mengeras, mata coklatnay menyiratkan kelelahan yang teramat sangat.
Nayla duduk di seberang kursi Radit. Meskipun diam, tetapi Radit tahu bila perempuan itu menunggu jawabannya.
"Kau ingat? Duluuu .... kau benci kebiasaanku merokok. Kau nggak suka bau tubuhku yang angit. Dan satu lagi, kau benci bau mulutku ...," desis Radit perlahan.
"Aku menghilang darimu kerena aku ingin sembuh. aku ingin menghentikan kebiasaan buruk itu, kebiasaan yang kau benci ... ." Nayla menatap bibir yang menggeletar itu dengan sedih. Ingin rasanya ia bangkit dan memeluk Radit saat itu juga.
"Nayla ..... ada cancer di paru-paruku. Itu kuketahui saat aku berobat ke Singapura. Dokter menyarankan aku untuk menjalani serangkaian pemeriksaan, mumpung anak sebarnya belum kemana-mana," sambungnya lagi.
Nayla membeku di kursinya. Ia tak tahu harus berkata apa.
"Semua kulakukan diam-diam tanpa sepengetahuanmu. Aku berharap, aku dinyatakan sudah sembuh saat melamarmu..... ."
"Tapi mas ..... ," sergah Nayla. Kibasan tangan Radit menghentikan kata-kata Nayla.
"Aku serius dengan janjiku saat di Villa Papandayan, dulu. Aku akan menikahimu, menjadikanmu ratu dalam rumah tanggaku."
Nayla mematung di tempat duduknya. Air mata menggenang di pelupuknya.
"Nayla Kumala, maukah kau menikah denganku? Aku Raditya Harahap, pria tua pengidap cancer yang hobi merokok?" Radit bangkit, berlutut di samping Nayla dan mengangkat dagu perempuan itu perlahan.
"Tapi mas, aku ..... aku ..... ."
"Aku tahu semuanya. Dokter yang merawatmu telah menjelaskan perihal penyakitmu kepadaku."
Nayla menggeleng kuat-kuat.
"Kita akan menjalani semua rangkaian pengobatanmu hingga berhasil sembuh. Aku janji .....," Radit mengacungkan dua jarinya membentuk V untuk Victory.
"Tapi mas .....," sekali lagi Nayla masih berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
"Sssttt..... biarlah hujan di Bulan Oktober ini menjadi saksi cinta kita Nayla. Peduli amat dengan apa kata orang ....."
"Kau yakin mas? Bukankah tak ada harapan hidup lagi untukku?" Nayla hampir menangis.
"Dokter hanya seorang manusia. Prediksinya bisa tepat bisa juga meleset. Hidup mati seseorang itu Dia yang mengatur."
"Tapiiiii ....."
"Yakinlah kalau kita bisa melaluinya. Yaaa? ...... Kau tak boleh patah semangat seperti itu. Aku Raditya Harahap, pria tua pengidap cancer yang hobi merokok akan selalu mendampingimu ..... dalam suka dan duka ..... sampai maut memisahkan."
Sikap dan ketegasan Radit sangat menyentuh perasaannya yang terdalam. Tak henti-hentinya dia mengucap syukur dalam hatinya. Masih ada pria baik yang mau menerima dirinya apa adanya.
**********
Hari-hari mereka habiskan berdua dengan bolak balik ke rumah sakit untuk pengobatan Nayla. Radit dengan telaten selalu mendampingin perempuan itu, membesarkan hatinya, menyemangatinya. Jauh di sudut hatinya ia menyimpan harapan, suatu saat kelak akan adan keajaiban yang ditemuinya. Kapan? Entah .....
Proyek Stadion Olah Raga yang menjadi tanggung jawab Nayla berangsur-angsur mulai kelihatan hasilnya. Radit melarang Nayla terjun langsung memantau pembangunannya. Pengawasan di lapangan diserahkan pada Gatot, rekan satu timnya yang bisa diandalkan.
"Terima kasih ya Gatot, kau telah banyak membantuku, menghandle semua pekerjaanku yang tertunda .....," bisik Nayla penuh terima kasih.
Gatot menyembunyikan senyum pahitnya dengan sibuk mengatur letak bouquet bunga di vas yang terletak di sudut ruangan. Ia tak ingin Nayla melihat perubahan air mukanya.
Nay, kau tidak tahu betapa aku sangat menyayangimu, batinnya.
~~bersambung~~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H