Berjalan mengendap-endap, Elhida melangkahkan kakinya menuju ke pintu samping rumah Bunda Enggar. Tangan kanannya memegang payung hitam sementara tangan kirinya menjinjing rantang susun yang masih hangat. Ia tengah merencanakan sesuatu, rupanya.
"Abi, mau kemana? Aku ikut ...." Zaa merajuk. Baru kali ini suaminya pergi tanpa memberitahukan lebih dulu kepadanya. Mukanya ditekuk-tekuk, bibirnya manyun. Elhida meleletkan lidahnya, meledek isterinya yang berdiri tegak di depan pintu.
Desa Rangkat masih tenggelam dalam selimut kabut. Hujan yang turun beberapa hari ini menyebabkan warganya lebih memilih untuk berdiam diri di dalam rumah. Kalau pun terpaksa pergi, lebih disebabkan oleh pekerjaan yang tidak bisa ditunda untuk esok.
Halaman rumah masih berantakan. Daun-daun yang luruh masih berserakan di beberapa sudut taman. Lampu bulat berwarna kuning cerah masih menyala.
"Tumben, bunda agak ceroboh pagi ini....," gumam Elhida. "Tak biasanya lampu taman dibiarkan menyala setelah subuh....," batinnya.
Ia menuju ke sisi pintu utama. Ditekannya tombol on-off yang menempel di dinding, Â lampu taman pun padam.
~*******~
"Pintunya tak dikunci. Kemana bunda ya? Kok sepi?" gumam Elhida lagi. Dia berbalik arah. Setengah berlari ia berjalan menuju ke rumahnya.
"Zaa ......Zaa ...... siniiii.....," teriaknya panik. Napasnya tersengal-sengal.
"Abi....ada apa? Abi habis dari mana?"
Tanpa berkata-kata, Elhida menyeret isterinya menuju ke rumah sebelah. Mereka berdua memasuki rumah lewat pintu samping yang tadi dibuka Elhida.