Kabar mengejutkan kembali datang dari dunia pendidikan. Muhtar Amin (MA), mahasiswa program pasca sarjana (S2) Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB meninggal dunia dengan cara gantung diri.
"Almarhum adalah mahasiswa S2 Elektro STEI ITB angkatan 2018. Menurut dugaan yang bersangkutan menderita depresi," ujar Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Alumni, dan Komunikasi ITB, Miming Miharja, Rabu (4/9), seperti dikutip Tribunnews.com. MA tergantung di kamar kosnya di Kelurahan Sekeloa, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Selasa (3/9) pukul 17.15 WIB. MA ditemukan tergantung oleh rekannya sesama mahasiswa STEI ITB.
Kabar ini tentu menambah daftar suram potret pendidikan di Tanah Air. Tiga pekan sebelumnya dosen Fakultas Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Budi Setiyanto (55), juga ditemukan gantung diri di teras rumahnya di daerah Nyutran, Wirogunan, Mergangsan, Kota Yogyakarta, DIY, Kamis (15/8/2019).Â
Kembali pada kasus Muhtar Amin. Kira-kira apa yang sebenarnya menjadi penyebab pria tersebut memilih segera "berhenti bernafas"? Tentu hanya almarhum yang tahu. Namun, mari melakukan analisis dari sisi pikiran juga dari laman pribadi yang dimiliki pria ini.
Dari sisi kecerdasan, tentu otak MA tak bisa diremehkan. Pria ini tergolong otaknya cukup encer. Dia lulus S1 Teknik Elektro STEI-ITB tepat waktu selama 4 tahun, serta IPK selama kuliah di Prodi S2 Teknik Elektro, Jalur Teknik Mikroelektronika STEI-ITB adalah 3,88.
Bahkan dari laman pribadinya diketahui, sejak SMP almarhum adalah siswa berprestasi bahkan pernah menempuh pendidikan SMA di Turki. Dalam blognya muhataru.wordpress.com bisa disimak dengan gamblang betapa mahasiswa ini hatinya kosong dan hampa.
Di kelas Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, tempat saya belajar tentang Hypnotherapy for Children diketahui, bahwa yang sangat diperlukan anak adalah rasa aman. Rasa aman ini hanya bisa dirasakan jika baterai kasih sayang yang dimiliki anak selalu penuh. Sementara yang berhak mengisi baterai kasih sayang adalah ibu dan bapaknya.
Lalu bagaimana caranya mengisi baterai kasih sayang pada anak? Ada 5 bahasa cinta menurut teori Gary Chapman dalam bukunya The 5 Love Languages.
Apakah MA sejak kecil kurang mendapat hal itu dari kedua orang tuanya? Tentu hanya keluarga MA yang tahu, dan almarhum yang bisa merasakannya. Namun jika tidak, tentu MA akan merasa kosong sehingga menyebabkan depresi. Syukur kalau dia kemudian bisa memiliki powerbank alias sosok lain atau aktivitas yang bisa menjadi pengisi kasih sayangnya. Misalnya teman dekat atau sahabat. Atau aktivitas seperti bermain game atau kegiatan lain. Yang bahaya jika powerbank itu dalam bentuk aktivitas kurang positif seperti narkoba atau kecanduan menonton film biru.
Nyatanya, ibarat telepon seluler tadi, baterai kasih sayang dari MA tampak kosong, sehingga tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa cinta dengan baik dengan orang terdekatnya. Pada tulisannya berjudul Depresi yang diposting sejak 2019 silam, tergambar betapa hidupnya sebagai sosok pelajar berprestasi, namun ada perasaan kurang nyaman.
Berikut salah satu paragraf tulisannya soal depresi itu.
Dahulu aku bilang ke orang tuaku kalau aku tak ingin memiliki anak. Tak ingin berkeluarga karena muak. Aku tak mengatakan kenapa. Aku bersembunyi di balik alasan ingin sibuk meniti karir dan mendedikasikan hidup untuk bekerja. Sebetulnya aku mengatakan itu karena aku muak dengan drama-drama dalam keluarga. Aku juga merasa sudah terlalu banyak manusia yang ada di bumi ini kenapa ditambah lagi?
Bahkan, almarhum pernah menulis puisi dalam bahasa Inggris berjudul I Want Death alias aku ingin mati.
I am exposed
I want death
and I want it now
NOW!
Berikut link puisinya.
Masih hasil penelusuran di blog ini, ternyata almarhum juga sempat memiliki powerbank alias orang yang pernah memberikan baterai kasih yang di dalam tulisannya diberi nama Alya. Entah apakah nama itu asli atau nama samaran. Yang jelas, sosok Alya ini memiliki tempat istimewa di hatinya. Namun entah apa yang menjadi persoalan, tulisan itu berisi permohonan maaf kepada Alya. Tulisan di blog itu berjudul Untukmu Alya, Maafkan Aku.
Kesepian dan kesendiriannya juga bisa disimak melalui puisinya berjudul Terpisahkan Oleh Ruang dan Waktu. Tergambar di tulisan itu, dia sedang berada di suatu tempat yang ramai, namun tetap merasa sepi dan sendiri.
aku di sini
menatap layar handphone
mengetik sembari minum tehtujuh orang duduk di depanku
tujuh orang duduk di belakangkuterasa hampanya hidup ini
begini-begini sajamalam ini harus membuat laporan
mengerjakan tugas
besok dan lusa ada ujianapa yang sedang kamu lakukan?
aku seperti orang gila
berbicara dengan yang tak berupa
bertanya kepada yang tak adaaku ragu
antara kita terpisahkan oleh ruang dan waktu
atau kamu sebetulnya memang tak adaBandung
03 Maret 2019Â
Sekali lagi, tulisan ini hanyalah analisis dari sisi teknologi pikiran yang saya pelajari. Juga dari hasil mengulik laman pribadi milik almarhum. Fakta dan data sesungguhnya biarlah menjadi rahasia alam. Akan tetapi banyak hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini.
Sebagai orang tua, hendaknya tidak terlalu over demanding alias menuntut anak secara berlebihan. Sebaliknya, yang perlu dilakukan secara maksimal adalah mengisi baterai kasih sayangnya secara utuh dan semaksimal mungkin. Â
Anak, sampai kapan pun tetaplah anak. Bahkan ketika dia sudah berumah tangga dan sudah memiliki anak sekali pun. Jangan pernah beranggapan anak yang sudah menikah bahkan sudah punya anak, tidak lagi membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya.
Maka sebagai penutup, izinkan saya mengutip puisi dari Dorothy Law Notle ini.
Bila seorang anak hidup dengan kritik,
Ia belajar untuk menyalahkan.Bila seorang anak hidup dengan rasa benci,
Ia belajar bagaimana berkelahi.Bila seorang anak hidup dengan ejekan,
Ia belajar menjadi pemalu.Bila seorang anak hidup dengan rasa malu,
Ia belajar merasa bersalah.Bila seorang anak hidup dengan toleransi,
Ia belajar menjadi sabar.Bila seorang anak hidup dengan semangat,
Ia belajar kepercayaan diri.Bila seorang anak hidup dengan pujian,
Ia belajar untuk menghargai.Bila seorang anak hidup dengan rasa adil,
Ia belajar tentang keadilan.Bila seorang hidup dengan rasa aman,
Ia belajar memiliki iman.Bila seorang anak hidup dengan persetujuan,
Ia belajar menyukai dirinya sendiri.Bila seorang anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan,
Ia belajar mencari cinta dalam dunia.
Melihat puisi tersebut, saya masih percaya pada teori yang mengatakan: tidak ada anak yang bermasalah. Yang terjadi umumnya adalah, orang tua yang bermasalah.
Bagaimana menurut sahabat?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI