Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Menendang Hoaks

1 Juni 2019   00:37 Diperbarui: 1 Juni 2019   00:42 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan presiden sudah berlalu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengumumkan hasil rekapitulasi suara. Namun Anton belum bisa beristirahat dengan tenang. Pesanan agar dirinya terus membuat konten viral terus masuk melalui telepon genggamnya.

"Pokoknya nanti sisanya dibayar. Jangan khawatir," tegas suara di ujung telepon itu. Kalau sudah begitu, Anton terpaksa membuka komputer jinjingnya. Segera dia mengambil beberapa foto dan memberikan kalimat sesuai pesanan, untuk membuat framing bahwa kliennya adalah korban kecurangan.

Segera dia sebarkan konten itu melalui berbagai media sosial. Secara bergantian dia mengambil 23 smartphone untuk menjadikan konten yang diunggahnya viral. Anton mau tidak mau harus kejar tayang. Anton pun tak sendiri. Dia punya tim khusus yang bekerja dari rumah masing-masing, untuk membanjiri media sosial dengan konten yang sengaja dia sebarkan.

Sebelumnya, beberapa hari pemerintah sengaja menghambat layanan internet. Sebetulnya, Anton tetap bisa melakukan pekerjaannya. Tak sulit bagi dirinya untuk mengakali aksi pembatasan pemerintah itu. Namun, sedikit banyak pembatasan internet itu memang menghambat pekerjaannya. 

"Narasinya jangan lupa ya. Pokoknya terus banjiri kontennya seperti itu. Serangan mulai berbalik nih," kata sang pemesan memberikan arahan. Setelah semuanya dikerjakan, akhirnya pria jebolan fakultas ilmu komputer di salah satu kampus ternama itu bisa tidur nyenyak.  

Hasil kerja Anton ternyata membuahkan hasil. Kondisi ibu kota Jakarta benar-benar rusuh. Anton dan tim binaannya merasa puas. Kepercayaan terhadap pemerintah merosot drastis. Demo terjadi di mana-mana. Kerusuhan pun bahkan menyebar sampai ke beberapa wilayah di Tanah Air.

Hingga akhirnya, tersiar kabar, kerusuhan juga terjadi di Jogjakarta. Mendadak hati Anton merasa tak karuan. Ya, itu adalah kota tanah kelahirannya. Tiba-tiba dia memikirkan kondisi ibunya. Ibu yang sudah mengandung dirinya. Apalagi sudah 3 tahun terakhir ia tak pernah mengunjungi ibunya.

"Ya Tuhan, mudah-mudahan ibuku tidak apa-apa," ujarnya dalam hati. Segera dia mengambil telepon selulernya. Berusaha menghubungi ibunya, namun tidak aktif. Begitu juga kakak dan adiknya, sama sekali tak ada nada sambung yang terhubung.

"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, mohon periksa kembali nomor tujuan Anda," begitu kata suara mesin operator telepon memberikan jawaban. Kali ini Anton benar-benar cemas. Tiba-tiba ia merasa sangat bersalah. Kesibukannya menerima order membuat konten-konten sesuai pesanan kliennya, membuatnya tidak punya waktu walau hanya sekadar ke Jogjakarta.

Masih lekat diingatannya, menjelang Lebaran 2 tahun lalu, ibunya menelpon dan meminta Anton untuk pulang. "Saya ngga bisa pulang bu. Ada pilkada di daerah Sumatera. Saya sudah terlanjur tanda tangan kontrak," sebutnya.

Seperti biasa, ibunya terdengar sabar. "Ya udah ngga papa nak. Kamu yang hati-hati. Ibu percaya kamu pasti bisa memilih mana yang terbaik," ujar ibunya berpesan.

Anton masih tidak tenang, dia mencoba menghubungi kerabat lainnya. Tapi sama, semua tidak ada yang terhubung. "Jangan-jangan saluran komunikasi di sana sudah lumpuh," Anton membatin.

Tanpa pikir panjang, Anton segera berkemas. Diambilnya tas ransel, diisi laptop dan beberapa baju sekenanya. Dia segera menuju terminal bus, mencari jurusan Jogjakarta. Ternyata benar, suasana ibu kota benar-benar nyaris lumpuh.

Di terminal, tak ada lagi bus jurusan Jogjakarta. Terpaksa Anton harus mengikuti bus jurusan mana saja, yang penting satu arah walau nantinya harus berpindah-pindah bus. "Semoga ibuku selamat," doanya.

Sepanjang perjalanan, mata Anton tak pernah lepas dari telepon genggamnya. Mengamati berita, juga sebaran konten di media sosial. Ada rasa puas dan bangga bisa memenuhi keinginan klien. Namun, hati kecil Anton tak bisa dibohongi. Masih ada perasaan was-was. Apakah kerusuhan ini akan terus membesar? Bagaimana kondisi ibunya?

Setelah berganti sampai 4 bus, Anton akhirnya sampai di kampung halamannya di Sleman, Jogjakarta. Di gapura kampung terlihat ada bendera kuning berkibar. Hati Anton mulai tak karuan. "Jangan-jangan....." Anton bergegas menambah kecepatan langkah kakinya setelah turun dari angkutan kota yang membawanya dari terminal.

Benar saja, begitu sampai di depan rumahnya, sudah banyak orang berkumpul. Ada tenda, deretan kursi penuh tamu, juga bendera tanda kematian.

Segera dia merangsek ke dalam rumah. Di ruang tengah, sudah ada jasad wanita terbujur kaku, terbungkus kain. "Ibu..... !!!!!" Anton berteriak histeris.

"Ton.... Anton.... hei... Ton.... bangun....." Berkali-kali Andi menepuk pipi Anton untuk membangunkan. Andi lah yang selama ini menemani Anton di rumah kontrakannya. Andi juga salah satu tim sekaligus teman kuliahnya dulu.

"Kamu kenapa?" tanya Andi. Anton bengong. Tatapannya kosong. Untung semua hanya mimpi. Anton segera meraih telepon selulernya. Memencet nomor ibunya. Ternyata tersambung. Entah apa yang disampaikan ibunya. Namun, Anton hanya mengatakan, "Ya bu. Sekarang."

Andi terdiam mengawasi sahabatnya itu. Anton segera berkemas. Semua ranselnya terisi penuh barang bawaannya, termasuk laptop dan telepon selulernya.

"Andi, aku berhenti. Aku mau pulang!," tegasnya. Anton tak menunggu jawaban Andi. Segera dia raih kunci mobilnya, dan meninggalkan Andi. Sementara Andi hanya bisa diam. Tak berkata apa-apa. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun