Anton masih tidak tenang, dia mencoba menghubungi kerabat lainnya. Tapi sama, semua tidak ada yang terhubung. "Jangan-jangan saluran komunikasi di sana sudah lumpuh," Anton membatin.
Tanpa pikir panjang, Anton segera berkemas. Diambilnya tas ransel, diisi laptop dan beberapa baju sekenanya. Dia segera menuju terminal bus, mencari jurusan Jogjakarta. Ternyata benar, suasana ibu kota benar-benar nyaris lumpuh.
Di terminal, tak ada lagi bus jurusan Jogjakarta. Terpaksa Anton harus mengikuti bus jurusan mana saja, yang penting satu arah walau nantinya harus berpindah-pindah bus. "Semoga ibuku selamat," doanya.
Sepanjang perjalanan, mata Anton tak pernah lepas dari telepon genggamnya. Mengamati berita, juga sebaran konten di media sosial. Ada rasa puas dan bangga bisa memenuhi keinginan klien. Namun, hati kecil Anton tak bisa dibohongi. Masih ada perasaan was-was. Apakah kerusuhan ini akan terus membesar? Bagaimana kondisi ibunya?
Setelah berganti sampai 4 bus, Anton akhirnya sampai di kampung halamannya di Sleman, Jogjakarta. Di gapura kampung terlihat ada bendera kuning berkibar. Hati Anton mulai tak karuan. "Jangan-jangan....." Anton bergegas menambah kecepatan langkah kakinya setelah turun dari angkutan kota yang membawanya dari terminal.
Benar saja, begitu sampai di depan rumahnya, sudah banyak orang berkumpul. Ada tenda, deretan kursi penuh tamu, juga bendera tanda kematian.
Segera dia merangsek ke dalam rumah. Di ruang tengah, sudah ada jasad wanita terbujur kaku, terbungkus kain. "Ibu..... !!!!!" Anton berteriak histeris.
"Ton.... Anton.... hei... Ton.... bangun....." Berkali-kali Andi menepuk pipi Anton untuk membangunkan. Andi lah yang selama ini menemani Anton di rumah kontrakannya. Andi juga salah satu tim sekaligus teman kuliahnya dulu.
"Kamu kenapa?" tanya Andi. Anton bengong. Tatapannya kosong. Untung semua hanya mimpi. Anton segera meraih telepon selulernya. Memencet nomor ibunya. Ternyata tersambung. Entah apa yang disampaikan ibunya. Namun, Anton hanya mengatakan, "Ya bu. Sekarang."
Andi terdiam mengawasi sahabatnya itu. Anton segera berkemas. Semua ranselnya terisi penuh barang bawaannya, termasuk laptop dan telepon selulernya.
"Andi, aku berhenti. Aku mau pulang!," tegasnya. Anton tak menunggu jawaban Andi. Segera dia raih kunci mobilnya, dan meninggalkan Andi. Sementara Andi hanya bisa diam. Tak berkata apa-apa. (*)