Pemilihan presiden sudah berlalu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengumumkan hasil rekapitulasi suara. Namun Anton belum bisa beristirahat dengan tenang. Pesanan agar dirinya terus membuat konten viral terus masuk melalui telepon genggamnya.
"Pokoknya nanti sisanya dibayar. Jangan khawatir," tegas suara di ujung telepon itu. Kalau sudah begitu, Anton terpaksa membuka komputer jinjingnya. Segera dia mengambil beberapa foto dan memberikan kalimat sesuai pesanan, untuk membuat framing bahwa kliennya adalah korban kecurangan.
Segera dia sebarkan konten itu melalui berbagai media sosial. Secara bergantian dia mengambil 23 smartphone untuk menjadikan konten yang diunggahnya viral. Anton mau tidak mau harus kejar tayang. Anton pun tak sendiri. Dia punya tim khusus yang bekerja dari rumah masing-masing, untuk membanjiri media sosial dengan konten yang sengaja dia sebarkan.
Sebelumnya, beberapa hari pemerintah sengaja menghambat layanan internet. Sebetulnya, Anton tetap bisa melakukan pekerjaannya. Tak sulit bagi dirinya untuk mengakali aksi pembatasan pemerintah itu. Namun, sedikit banyak pembatasan internet itu memang menghambat pekerjaannya.Â
"Narasinya jangan lupa ya. Pokoknya terus banjiri kontennya seperti itu. Serangan mulai berbalik nih," kata sang pemesan memberikan arahan. Setelah semuanya dikerjakan, akhirnya pria jebolan fakultas ilmu komputer di salah satu kampus ternama itu bisa tidur nyenyak. Â
Hasil kerja Anton ternyata membuahkan hasil. Kondisi ibu kota Jakarta benar-benar rusuh. Anton dan tim binaannya merasa puas. Kepercayaan terhadap pemerintah merosot drastis. Demo terjadi di mana-mana. Kerusuhan pun bahkan menyebar sampai ke beberapa wilayah di Tanah Air.
Hingga akhirnya, tersiar kabar, kerusuhan juga terjadi di Jogjakarta. Mendadak hati Anton merasa tak karuan. Ya, itu adalah kota tanah kelahirannya. Tiba-tiba dia memikirkan kondisi ibunya. Ibu yang sudah mengandung dirinya. Apalagi sudah 3 tahun terakhir ia tak pernah mengunjungi ibunya.
"Ya Tuhan, mudah-mudahan ibuku tidak apa-apa," ujarnya dalam hati. Segera dia mengambil telepon selulernya. Berusaha menghubungi ibunya, namun tidak aktif. Begitu juga kakak dan adiknya, sama sekali tak ada nada sambung yang terhubung.
"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, mohon periksa kembali nomor tujuan Anda," begitu kata suara mesin operator telepon memberikan jawaban. Kali ini Anton benar-benar cemas. Tiba-tiba ia merasa sangat bersalah. Kesibukannya menerima order membuat konten-konten sesuai pesanan kliennya, membuatnya tidak punya waktu walau hanya sekadar ke Jogjakarta.
Masih lekat diingatannya, menjelang Lebaran 2 tahun lalu, ibunya menelpon dan meminta Anton untuk pulang. "Saya ngga bisa pulang bu. Ada pilkada di daerah Sumatera. Saya sudah terlanjur tanda tangan kontrak," sebutnya.
Seperti biasa, ibunya terdengar sabar. "Ya udah ngga papa nak. Kamu yang hati-hati. Ibu percaya kamu pasti bisa memilih mana yang terbaik," ujar ibunya berpesan.