Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Faktor Ini Jadi Penyebab Siswa Taruna Nusantara Berani Lakukan Pembunuhan

2 April 2017   23:59 Diperbarui: 6 April 2017   20:30 14722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kresna (dua dari kiri). Sumber: Jawapos.com

Dunia pendidikan berasrama, lagi-lagi ditimpa aib yang sangat memalukan. Peristiwa kriminal berat seperti pembunuhan, bisa dilakukan di lingkungan sekolah, yang konon katanya untuk menciptakan calon pemimpin berkualitas.

Tentu, tidak semua sekolah berasrama bisa dipukul rata. Sebab, hasil dari lulusan yang baik juga lebih banyak, ketimbang perilaku siswa yang dianggap ‘pembawa sial’.

Yang jelas, keberadaan sekolah berasrama ini sama halnya dengan kecelakaan di dunia penerbangan. Saking amannya pesawat terbang, maka satu kecelakaan saja, seringan apa pun kejadiannya, pasti seketika menjadi sorotan dunia.

Jika pesawat menempati kasta tertinggi dalam bidang transportasi, maka sekolah berasrama bisa dikatakan setali tiga uang di dalam dunia pendidikan. Maka, satu kejadian kecil saja, akan menjadi perhatian publik. Apalagi sampai terjadi peristiwa besar seperti pembunuhan.

Paling anyar adalah kejadian di SMA Taruna Nusantara Magelang, Jawa Tengah. Siswa sekolah tersebut Kresna Wahyu Nurachmad (15), tewas di tangan temannya sendiri Andi Muhammad Ramadhan alias AMR (15).

Pelaku berani melakukan perbuatan nekat setelah kesal karena beberapa kali kepergok korban saat mencuri barang-barang milik siswa lain. Pelaku membunuh korban menggunakan pisau sepanjang 30 cm, pada Jumat (31/3/2017) sekitar pukul 03.30 WIB di kamar 2B graha 17 komplek SMA Taruna Nusantara, Kabupaten Magelang. Pelaku diancam pasal 340 jo pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp 3 miliar.

Dari fakta di atas, bisa dibayangkan bagaimana nasib dan masa depan sang pelaku. Sebaliknya, nasib korban pun tamat seketika. Semua impiannya termasuk harapan kedua orang tuanya, lenyap tak tersisa. Yang tertinggal justru sebuah luka besar menganga di dalam benak kedua orang tua korban.

Yang menjadi pertanyaan mendasar, kenapa seorang siswa yang berusia 15 tahun sampai berani melakukan tindakan begitu kejam? Apakah kekerasan dan kekejaman sejatinya sudah akrab dalam kehidupan sehari-hari mereka di sekolah? Ini tentu perlu pembuktikan. Namun faktanya, sebuah kekerasan yang terus menerus, jelas akan memberikan dampak yang fatal secara psikologis.

Sudah menjadi rahasia umum, sekolah kedinasan, termasuk sekolah berasrama di dalamnya, yang menerapkan senioritas, terkadang sangat akrab dengan pola pendidikan kekerasan.

Saya tidak menyebut pendidikan kekerasan sebagai pendidikan ala militer. Sebab, sekejam-kejamnya pendidikan militer, semua masih terstruktur dan terukur. Jarang sekali dijumpai ada tentara yang tewas saat latihan. Sementara faktanya, tak sedikit taruna sekolah kedinasan berasrama yang mengalami kekerasan dari seniornya karena kekerasan yang tidak terukur. Satu-satunya ukuran untuk melihat aksi mereka kebablasan adalah tercabutnya nyawa dari tubuh siswa yang teraniaya.

Dalam kasus yang terjadi di SMA Taruna Nusantara, Kresna Wahyu Nurachmad sudah jelas menjadi korban, karena nyawanya tak bisa dipertahankan. Namun sang pelaku, AMR, sejatinya juga menjadi korban. Yakni korban dari ketidakstabilan psikologisnya.

Pada berita di atas disebutkan, AMR sempat kepergok beberapa kali melakukan pencurian. Dari sini sudah jelas, pasti ada alasan tertentu bagi AMR sehingga berani mencari barang-barang milik rekannya satu barak. Apa yang membuatnya berani melakukan pencurian? Inilah yang patut ditelusuri.  

Apakah orang tua pelaku tidak memenuhi kebutuhan hariannya? Rasanya juga sulit dipercaya, sebab konon orang tua pelaku juga merupakan seorang jenderal berbintang dua yang masih aktif. Begitu pula korban, juga merupakan anak jenderal, namun sudah meninggal dunia.

Sebagai praktisi hipnoterapis, izinkan saya melakukan analisa dari sisi korban dan pelaku yang sama-sama anak jenderal dari lingkungan militer. Analisa ini berdasarkan pengalaman dan temuan yang kerap muncul di ruang praktik hipnoterapi.

Beberapa kali, saya mendapat klien yang berasal dari lingkungan militer. Umumnya masalah yang dikeluhkan adalah stress, emosi yang tidak terkendali, dendam, sakit hati, hingga trauma. Ternyata, yang menjadi akar masalah dari persoalan di atas adalah pola asuh dari orang tua yang sangat keras. Fakta penting inilah yang perlu saya ungkapkan agar menjadi pelajaran penting bagi pembaca.

Tak sedikit anak yang dididik di lingkungan militer, akrab dengan pola asuh yang keras. Pola asuh inilah yang kemudian membentuk karakter dan kejiwaan seseorang. Namun ini tentu tidak bisa digeneralisir. Sebab, banyak pula anak dari keluarga militer yang besar dengan kelembutan dan kasih sayang yang tulus dan utuh.    

Kenapa pelaku sampai sakit hati dengan korban? Bisa saja, cara korban memergoki pelaku ketika melakukan pencurian, tidak dengan kelembutan sebagai sesama teman. Andai diingatkan dengan baik, boleh jadi pelaku justru sadar dan menghentikan perbuatannya, bukan malah sakit hati.

Lalu, kenapa pelaku sampai tega membunuh? Ini juga patut ditelusuri pola asuhnya di rumah. Boleh jadi, pola didik yang keras membuat pelaku berani mengambil tindakan di luar nalar. Namun sekali lagi, ini hanya analisa. Soal kejadian yang sebenarnya, biarlah pengadilan nanti yang membuktikan.

Selain itu, dari kejadian ini, sudah sepatutnya kita mengambil hikmah dan pelajaran, agar mendidik anak dengan kelembutan dan kasih sayang. Sebab faktanya, tak selamanya kekerasan bisa menyelesaikan masalah. Sebaliknya, ketenangan dan kelembutan hati, akan mampu menaklukkan siapa saja.

Andai saja diberikan kesempatan bertemu AMR dan bisa berkomunikasi dengan pikiran bawah sadarnya, tentu akan diketahui, apa akar masalah sesungguhnya yang membuat dirinya sampai berani melakukan pembunuhan.

Saya sangat yakin 1.000 persen, Kresna bukanlah penyebab utama AMR berani melakukan pembunuhan. Kresna hanyalah pemicu tambahan yang membuat amarah AMR semakin membesar, sehingga nilai moralnya pun bobol dan akhirnya berani melakukan penghilangan nyawa kawannya sendiri.  

Sekali lagi, saya sangat yakin seyakin-yakinnya, pasti ada akar masalah utama yang menjadikan AMR memiliki keberanian seperti Rambo. Namun akar masalah itu hanya bisa diketahui dalam proses hipnoanalisis pada kedalaman pikiran bawah sadar yang presisi. Sebab, pada kedalaman itulah semua data dan fakta akan keluar dengan sendirinya secara rinci.

Terlepas dari kejadian tersebut, sekolah berasrama tetap menjadi salah satu pilihan yang patut dipertimbangkan. Di tengah besarnya pengaruh global yang sulit dibendung, tak salah jika sebagian besar para orang tua menaruh harapan besar pada sistem pendidikan berasrama ini.

Bagi para orang tua yang ingin anaknya menempuh pendidikan di sekolah berasrama, jangan lupa untuk tetap mengisi baterai kasih sayang pada anak.

Orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah berasrama, jelas tidak bisa melakukan pengawasan terus-menerus. Orang tua tentu tidak boleh melakukan intervensi, karena fungsi pembinaan dan pengawasan sudah berpindah ke para pengasuh di asrama.

 Selama buah hati berada di asrama, bukankah anak-anak tetap memerlukan kasih sayang dari kedua orang tuanya? Sebab, selama seseorang belum mandiri secara emosi maupun secara finansial, berapa pun usianya, tetaplah disebut anak dan masih memerlukan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Anak ibarat handphone yang harus selalui diisi dengan baterai kasih. Pengisian baterai kasih menggunakan lima bahasa cinta plus tatapan mata, praktis tidak bisa dilakukan, jika anak-anak terpisah jauh dengan orang tuanya.

Selama buah hati berada di asrama, harus disadari bahwa baterai kasih si anak bisa drop. Ditambah kalau misalnya anak mengalami kekerasan fisik atau verbal saat di asrama, maka baterainya akan semakin kosong.

 Kalau sudah seperti itu, maka sinyal kasih sayang anak dan orang tua akan terputus. Sebagai gantinya, anak akan mendapatkan pengisian baterai kasih dari lingkungannya. Baik itu teman, pengasuh, atau para guru. Beruntung jika energi kasih yang diberikan lingkungannya ini baik. Yang dikhawatirkan jika energi yang masuk untuk mengisi baterai kasih, ada yang kurang pas.

 “Anak saya sekarang benar-benar mandiri setelah di asrama. Sudah tidak manja, dan tidak merepotkan,” begitu kata salah satu orang tua kepada saya. Dari kata-katanya saja sudah terlihat, rupanya si orang tua selama ini tidak mau repot, sehingga memilih lepas tangan dalam mengurusi anak. Faktanya, memang ada tipe orang tua yang seperti ini.

 Terkait soal anak yang dikatakan mandiri, sebenarnya ada dua kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama, anak memang benar-benar mandiri dan dewasa, tapi tetap punya ikatan kasih sayang dengan kedua orang tuanya.

Kemungkinan kedua, hubungan kasih sayang anak dengan orang tua terputus akibat sinyal yang lemah, karena orang tua tidak pernah mengisi baterai kasih si anak. Saat anak tersebut dianggap mandiri, sejatinya anak memang merasa tidak butuh lagi orang tuanya. Orang tua yang peka, akan bisa merasakan perubahan ini. Orang tua akan merasakan ada sesuatu yang beda, tidak seperti biasanya. Nah, kemungkinan kedua inilah yang perlu menjadi perhatian.

 Bercermin dari pelajaran di atas, ada baiknya orang tua tetap mengisi baterai kasih anak, meski sang buah hati terpaut jarak dan waktu. Tak jarang, ketika anak sudah dibawa ke asrama, orang tua pun seolah merasa lepas tanggung jawab. Jarang menghubungi, apalagi mengirimkan sinyal kasih sayang.

 Yang rutin dilakukan hanya mengirimkan uang untuk biaya hidup dan keperluan pendidikan. Tak sedikit yang beranggapan bahwa mengirim uang adalah sebagai bentuk kasih sayang. Padahal, mengisi baterai kasih tidak cukup hanya uang. Masih ada aspek lain yang harus dipenuhi. Misalnya pujian, sentuhan fisik, waktu yang berkualitas, dilayani, dan pemberian hadiah. Itulah lima bahasa cinta. Satu lagi yang juga sulit dilakukan adalah, tatapan mata.

 Lantas bagaimana cara mengisi baterai kasih buah hati yang sedang di asrama? Caranya mudah. Setiap hari, minimal sekali seminggu, izinkan dan niatkan diri mengirimkan gelombang kasih sayang kepada anak. Luangkan waktu paling lama 30 menit, duduk rileks sejenak, kemudian berikan limpahan kasih kepada anak Anda. Bayangkan buah hati Anda ada di hadapan, dan berikan sentuhan, kasih sayang, pujian, serta semuanya, hingga dirasakan cukup.

 Sahabat, sinyal energi ini tidak mengenal batas ruang dan waktu. Ikatan emosional orang tua dan anak, akan semakin meningkat dengan cara seperti ini. Dengan demikian, meski anak sedang berada di asrama, dia akan tetap merasakan kehadiran orang tuanya, dan tetap merasakan limpahan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Dia akan merasakan, ada orang tua yang selalu menemani dalam aktivitas kesehariannya. Dengan begitu, anak akan berperilaku selalu tenang dan nyaman.  

Demikianlah kenyataannya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun