Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

BPJS = Belum Punya Jangan Sakit

15 September 2016   20:40 Diperbarui: 16 September 2016   11:27 1754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto pribadi: Pasien RSU AW Sjahranie Samarinda usai menjalani perawatan, bersiap kembali ke rumah.

Ketika pertama kali mendengar tentang perubahan PT Askes menjadi BPJS Kesehatan, yang pertama kali muncul di benak adalah, jangan-jangan ini hanya ganti baju saja. Namanya juga cuma ganti baju, kemungkinan isinya akan tetap sama saja.

Tapi, karena ini sudah dilindungi Undang-undang 24/2011 tentang jaminan sosial nasional, maka mau tidak mau, suka tidak suka, semua penduduk Indonesia, tanpa kecuali, harus terdaftar menjadi anggota BPJS Kesehatan. 

Begitu pula dengan saya, mau tidak mau juga nyemplung daftar ikut program BPJS Kesehatan. Sebab, kantor tempat saya bekerja, wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan.

Akibat regulasi baru ini, maka jumlah peserta BPJS Kesehatan langsung melonjak drastis. Antrean di loket-loket layanan kesehatan tak terelakkan. Keluhan bahkan sumpah serapah pun bermunculan di berbagai platform media. 

Bagi saya sendiri, sangat enggan ikut terlibat dalam diskusi negatif. Kenapa, sejak mengerti tentang teknologi pikiran, enggan rasanya pikiran dipenuhi hal-hal negatif yang menguras energi.

Terhadap semua komentar miring itu, bagi saya positif saja. Artinya, semakin banyak orang yang membutuhkan layanan kesehatan dan merasa bahwa lembaga yang mengurusi jaminan kesehatan memang sangat diperlukan. 

Saya sendiri sudah pernah merasakan layanan ini. Cukup datang ke dokter yang sudah kerja sama, tunjukkan kartu, dapat pemeriksaan dan obat gratis, pulang deh.

Layanan jaminan kesehatan ini tentu tidak bisa langsung sempurna. Begitu banyak keluhan bertebaran di media sosial, bahkan di media cetak, hingga elektronik. Hal ini sangat wajar, karena rasio jumlah mereka yang membutuhkan layanan dengan fasilitas yang tersedia selalu berkejaran. 

Sebab boleh jadi, warga yang selama ini harus berpikir untuk berobat karena tidak punya uang, kini sakit sedikit saja pergi ke dokter. Kenapa? Karena merasa ada layanan jaminan kesehatan yang murah, bahkan gratis bagi mereka yang masuk golongan tidak mampu.

foto pribadi: Warga antre dengan sabar untuk mendapatkan layanan kesehatan di RSU AW Sjahranie Samarinda.
foto pribadi: Warga antre dengan sabar untuk mendapatkan layanan kesehatan di RSU AW Sjahranie Samarinda.
Gotong Royong

Jujur, ada juga rasa penasaran, kenapa sih layanan BPJS Kesehatan masih dikeluhkan. Di mana masalahnya dan apa penyebabnya? Untuk menjawab rasa penasaran itu, girang rasanya ketika ada informasi bahwa Kompasiana menggelar acara Kompasiana Nangkring Bersama BPJS Kesehatan di Balikpapan, Jumat (9/9/2016) pagi tadi. Apalagi jarang rasanya ada event seperti ini di Kaltim. 

Namun lagi-lagi Dewi Fortuna belum berpihak pada saya. Bersamaan dengan event itu, saya masih dalam perjalanan dari Jakarta ke Balikpapan. Walhasil, gagal total ikut event ini.

Penasaran, saya pun selalu komunikasi dengan Kompasianer asal Balikpapan Abdul Muthalib yang juga kawan saya kuliah dulu. Ternyata, dia juga tidak ikut eventnya sampai habis. Ya sudahlah, sama sekali saya tak dapat informasi soal acara ini.

Beruntung, ada bahan presentasi yang kemudian di-share di Kompasiana. Walhasil, meski tidak ikut langsung di event Nangkring tersebut, saya tetap bisa mengetahui apa saja materi yang disuguhkan, dan bisa semakin menyelami seluk beluk BPJS Kesehatan.

Satu demi satu bahan presentasi dari  Bayu Wahyudi, direktur Hukum, Komunikasi, dan Hubungan Antarlembaga BPJS Kesehatan itu saya baca. Wow, ternyata menarik juga. 

Saya bayangkan, pasti ikut acaranya jauh lebih menarik karena bisa bertanya langsung, dan tentunya bisa sambil minum teh atau kopi serta suguhan makanan kecil. Supaya suasana nangkring bisa juga saya rasakan, maka saya pun mencermati bahan presentasi itu dengan ditemani segelas kopi.   

Konsep gotong royong, itulah garis besar yang saya petik dari bahan presentasi itu. Pikiran saya seketika melayang ke masa lalu, ketika ayah saya mengalami sakit komplikasi liver dan ginjal. Usia saya ketika itu baru lulus sekolah dasar. 

Biduk rumah tangga seketika seperti dihantam gelombang besar. Ayah tak bisa lagi membuka bengkel tambal ban di pinggir jalan sebagai satu-satunya cara agar dapur bisa berasap. Jadilah ibu dan saya yang masih usia belia, harus turun tangan di bengkel tambal ban, sementara ayah harus terbaring sakit.

Jangankan berpikir biaya berobat, untuk makan sehari-hari saja, terkadang ibu masih harus utang beras di warung tetangga. Saya tahu itu, karena secara tak sengaja pernah melihat catatan utang di sebuah buku tulis yang sudah lusuh dan sedikit koyak.

Semangat gotong royong dari warga Ngesong Dukuh Kupang Surabaya, tempat tinggal kami ketika itu, sudah sangat tinggi. Tak sedikit warga yang membantu dan memberikan rupiah. Namun, tetap saja tidak sanggup membiayai pengobatan. 

Jangankan untuk operasi atau bahkan cuci darah, untuk membayar biaya rawat inap saja tidak akan cukup. Hingga akhirnya, ayah saya tak sanggup berjuang melawan penyakitnya di usia 40 tahun, tepat 1 Agustus 1991 silam.  

Andai ketika itu ada BPJS Kesehatan, tentu semangat gotong royongnya beda. Sebab tidak hanya warga satu kampung yang menolong, melainkan seluruh warga Indonesia. Sebab, semangat gotong royong ini tak ubahnya sebagai subsidi silang. Yang sehat, secara tidak langsung akan membantu yang sakit.

foto pribadi: Ruang tunggu dengan pendingin ruangan, membuat keluarga pasien lebih nyaman menunggu untuk mendapatkan layanan BPJS Kesehatan di RSU AW Sjahranie Samarinda.
foto pribadi: Ruang tunggu dengan pendingin ruangan, membuat keluarga pasien lebih nyaman menunggu untuk mendapatkan layanan BPJS Kesehatan di RSU AW Sjahranie Samarinda.
Prinsip gotong royong dalam sistem jaminan kesehatan ini bisa dilihat dari struktur peserta yang tercatat 168,512 juta jiwa lebih. Ini adalah data peserta BPJS Kesehatan per 1 September 2016. 

Dari jumlah ini, 128,139 juta lebih adalah mereka yang membutuhkan dukungan dari mereka yang mampu, karena peserta ini terdiri atas 105,11 juta penerima bantuan iuran, ditambah 17,961 juta pekerja bukan penerima upah, dan terakhir peserta bukan pekerja sebanyak 5,061 juta.

Sementara mereka yang tergolong mampu sebanyak 40,196 juta. Dari jumlah ini terbanyak atau hampir 50 persen berasal dari pekerja penerima upah dari sektor swasta sebanyak 22,995 peserta. Disusul PNS sebanyak 13,039 juta, barulah sisanya dari TNI, Polri, BUMN dan BUMD.  

Hanya untuk Kanker, Semua Harus Ikut

Dalam paparan Bayu Wahyudi di event nangkring itu disebutkan, 1 pasien demam berdarah dengue, biaya pengobatannya tertutupi oleh 80 peserta sehat. Selanjutnya 1 pasien yang menjalani operasi caesar, tertangani oleh 135 peserta sehat. 

Begitu juga dengan 1 pasien kanker bisa dibantu oleh 1.253 peserta sehat. Artinya apa? Semakin banyak peserta BPJS Kesehatan, maka semakin banyak pula orang sakit yang bisa dibantu pemulihannya.

Jika mengacu jumlah penduduk Indonesia sesuai data Kementerian Dalam Negeri 2010 lalu sebanyak 259,940 juta jiwa, maka jika semua penduduk ikut program BPJS Kesehatan ini, akan ada 207,454 ribu penderita sakit kanker yang bisa mendapat pengobatan. 

Sementara menurut data Balitbang Kementerian Kesehatan 2013, ada 347.792 orang penderita kanker di Indonesia. Bisa dibayangkan, seluruh penduduk Indonesia ikut BPJS Kesehatan saja, belum mampu menuntaskan pengobatan penderita kanker di Tanah Air, apalagi kalau yang ikut serta belum semuanya.

Untuk itu, tak ada pilihan lain, semua penduduk negeri ini harus ikut menjadi peserta aktif BPJS Kesehatan. Kalau pun tidak sakit dan tidak menggunakan layanannya, ya patut bersyukur dan berterima kasih karena sudah diberikan kesehatan sempurna dan segar sepenuhnya. Secara tidak langsung, juga sudah berpahala karena dengan kepesertaannya ikut membantu peserta lain yang sedang memerlukan pengobatan.

Terbukti hingga 2014, layanan BPJS Kesehatan dimanfaatkan tak kurang oleh 92,3 juta pasien dengan jumlah peserta 133,4 juta. Angka ini melonjak pada 2015 dimanfaatkan oleh 146,7 juta pasien dari total peserta 156,79 juta.

Jumlah kunjungan rawat jalan tingkat pertama juga dimanfaatkan oleh 100,617 juta pasien, disusul kunjungan rawat jalan tingkat lanjutan sebanyak 39,813 juta orang, dan kunjungan rawat inap lanjutan tembus 6,311 juta jiwa. Dari semua layanan itu, BPJS Kesehatan harus membayarkan klaim sebesar Rp 57,08 triliun. Ini sekaligus membuktikan bahwa sehat itu mahal.

Perputaran uang di BPJS Kesehatan juga terbukti memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang tak boleh dianggap remeh. Totalnya mencapai Rp 18,66 triliun. 

Ini terdiri atas industri kesehatan Rp 4,4 triliun, obat obatan Rp 1,7 triliun, lapangan kerja bidang kesehatan Rp 4,2 triliun dan konstruksi rumah sakit Rp 8,36 triliun. Kinerja tersebut pada 2015 diganjar predikat sangat baik untuk good governance dengan poin 88,96 atau naik 0,02 poin dari kinerja tahun sebelumnya.

Sementara indeks kepuasan peserta 78,90. Ini pun melebihi target yakni 77 poin. Terbukti, meski ada yang tidak puas, nyatanya masih lebih banyak yang puas. Apalagi mereka yang memang merasa sangat terbantu dengan jaminan kesehatan ini.

Mengurusi orang kurang sehat memang perlu energi ekstra besar. Jika kurang sabar atau energi tenaga pelayanannya ikut negatif, secara otomatis akan menurunkan tingkat kepuasan pelanggan.

Ketika saya mendalami teknologi pikiran di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology di Surabaya, saya semakin tahu  bahwa ketika orang sedang sakit, otomatis emosinya sedang intens baik rasa sakit fisik maupun secara perasaan dan pikiran. Dalam kondisi seperti ini, pikiran bawah sadarnya akan terbuka lebar tanpa pengamanan sedikit pun. 

Jika ini terjadi, maka apa pun sikap atau kalimat yang dianggap kurang pas oleh peserta BPJS Kesehatan, akan langsung masuk pikiran bawah sadar peserta itu dan akan berpengaruh pada tingkat kepuasan.

foto pribadi: Setiap hari, layanan BPJS Kesehatan di RSU AW Sjahranie Samarinda ini selalu dipadati pengunjung.
foto pribadi: Setiap hari, layanan BPJS Kesehatan di RSU AW Sjahranie Samarinda ini selalu dipadati pengunjung.
Sebaliknya, jika dalam kondisi seperti ini BPJS Kesehatan memberikan pelayanan terbaik bahkan peserta kembali sehat dengan program ini, maka peserta tersebut akan semakin cinta dan sayang dengan BPJS Kesehatan. 

Kenapa? Karena pikiran bawah sadarnya sudah membuat program baru bahwa tidak perlu khawatir sakit karena ada BPJS Kesehatan. Maka ketenangan dan perasaan itu akan semakin kuat dan rasa puas akan tumbuh dengan seketika.

Jika fasilitas layanan semakin ditingkatkan, sudah pasti tingkat kepuasan pelanggan akan semakin terdongkrak. Saat ini BPJS Kesehatan didukung jumlah fasilitas kesehatan tingkat pertama hingga akhir 2015 sebanyak 19.969 unit. Semantara fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan sebanyak 1.847 unit baik rumah sakit pelat merah maupun swasta

Berkat kemudahan ini, tak heran jika kemudian banyak pihak yang berusaha memalsukan data kartu BPJS Kesehatan. Karena itu, selalu disampaikan bahwa semua data akan bisa dicek dengan mudah, sehingga masyarakat diimbau tidak tergiur dengan pengurusan kartu BPJS yang cepat. 

Sebab semua kartu baru bisa terbit setelah 14 hari kerja dan setelah membayar iuran. Peserta juga bisa daftar online dan bisa melakukan cek melalui call center 1500-400 hingga melalui aplikasi mobile android. Semua kemudahan ini untuk mencegah calo beroperasi.

Nah, kalau sudah seperti ini, masihkah ragu dengan keberadaan BPJS Kesehatan. Ibarat jari, jika kukunya yang panjang, maka cukup potong kukunya, jangan jarinya. Begitu juga dengan BPJS Kesehatan, jika ada layanan yang kurang maksimal, maka perbaiki layanannya, bukan dibubarkan lembaganya.

Maka, peran serta masyarakat untuk membantu meningkatkan layanan sangat diperlukan. Misalnya, dengan rutin membayar iuran, serta tidak berurusan dengan calo. Selain itu, selalu menghadapi segala situasi dengan tenang dan berpikir positif.

Yakinlah, jika sudah punya kartu BPJS Kesehatan, pasti hidup merasa lebih tenang dan tidak khawatir jika terjadi apa-apa. Jika belum punya, tentu akan lebih was-was dan cemas jika kelak mendapat bencana kesehatan. Maka wajar jika saya menyebutkan, Belum Punya Jangan Sakit (BPJS).

Bagaimana menurut Anda? (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun