Penasaran, saya pun selalu komunikasi dengan Kompasianer asal Balikpapan Abdul Muthalib yang juga kawan saya kuliah dulu. Ternyata, dia juga tidak ikut eventnya sampai habis. Ya sudahlah, sama sekali saya tak dapat informasi soal acara ini.
Beruntung, ada bahan presentasi yang kemudian di-share di Kompasiana. Walhasil, meski tidak ikut langsung di event Nangkring tersebut, saya tetap bisa mengetahui apa saja materi yang disuguhkan, dan bisa semakin menyelami seluk beluk BPJS Kesehatan.
Satu demi satu bahan presentasi dari  Bayu Wahyudi, direktur Hukum, Komunikasi, dan Hubungan Antarlembaga BPJS Kesehatan itu saya baca. Wow, ternyata menarik juga.Â
Saya bayangkan, pasti ikut acaranya jauh lebih menarik karena bisa bertanya langsung, dan tentunya bisa sambil minum teh atau kopi serta suguhan makanan kecil. Supaya suasana nangkring bisa juga saya rasakan, maka saya pun mencermati bahan presentasi itu dengan ditemani segelas kopi. Â Â
Konsep gotong royong, itulah garis besar yang saya petik dari bahan presentasi itu. Pikiran saya seketika melayang ke masa lalu, ketika ayah saya mengalami sakit komplikasi liver dan ginjal. Usia saya ketika itu baru lulus sekolah dasar.Â
Biduk rumah tangga seketika seperti dihantam gelombang besar. Ayah tak bisa lagi membuka bengkel tambal ban di pinggir jalan sebagai satu-satunya cara agar dapur bisa berasap. Jadilah ibu dan saya yang masih usia belia, harus turun tangan di bengkel tambal ban, sementara ayah harus terbaring sakit.
Jangankan berpikir biaya berobat, untuk makan sehari-hari saja, terkadang ibu masih harus utang beras di warung tetangga. Saya tahu itu, karena secara tak sengaja pernah melihat catatan utang di sebuah buku tulis yang sudah lusuh dan sedikit koyak.
Semangat gotong royong dari warga Ngesong Dukuh Kupang Surabaya, tempat tinggal kami ketika itu, sudah sangat tinggi. Tak sedikit warga yang membantu dan memberikan rupiah. Namun, tetap saja tidak sanggup membiayai pengobatan.Â
Jangankan untuk operasi atau bahkan cuci darah, untuk membayar biaya rawat inap saja tidak akan cukup. Hingga akhirnya, ayah saya tak sanggup berjuang melawan penyakitnya di usia 40 tahun, tepat 1 Agustus 1991 silam. Â
Andai ketika itu ada BPJS Kesehatan, tentu semangat gotong royongnya beda. Sebab tidak hanya warga satu kampung yang menolong, melainkan seluruh warga Indonesia. Sebab, semangat gotong royong ini tak ubahnya sebagai subsidi silang. Yang sehat, secara tidak langsung akan membantu yang sakit.
Dari jumlah ini, 128,139 juta lebih adalah mereka yang membutuhkan dukungan dari mereka yang mampu, karena peserta ini terdiri atas 105,11 juta penerima bantuan iuran, ditambah 17,961 juta pekerja bukan penerima upah, dan terakhir peserta bukan pekerja sebanyak 5,061 juta.