Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ya Ampun, Guru Satu Ini Sulit Mengendalikan Nafsunya

7 Agustus 2016   21:14 Diperbarui: 7 Agustus 2016   21:25 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Indopremiernews.blogspot.com

Beberapa waktu lalu, seorang pria, usia 45 tahun, datang ke tempat praktik saya. Sebelumnya, klien ini sudah hampir dua minggu membuat janji untuk konsultasi sekaligus terapi. Jika biasanya klien sudah menceritakan masalahnya saat membuat janji terapi, lain halnya dengan pria ini.

“Nanti saja pak, saat ketemu langsung baru saya sampaikan,” ujarnya.

Ternyata benar saja, perlu waktu hampir 1 jam bagi saya, mendengarkan semua keluhan dan masalah yang ia sampaikan. Ibarat gunung merapi, pagi itu semua keluh kesahnya diledakkan tanpa sisa.

“Saya merasa malu, merasa kotor,” ujarnya. Lalu, apa masalahnya?

Pria ini ternyata berprofesi sebagai seorang guru. Sebagai salah satu guru di sebuah sekolah di Kaltim, ia merasa perilakunya tidak patut dicontoh.

“Setiap kali saya melihat murid yang bodinya seksi, saya sulit menahan diri. Terkadang saya sampai (maaf) onani di kamar mandi sekolah,” tuturnya.

Beruntung, dia tidak sampai melakukan hal-hal yang mengarah ke pelecehan seksual. Namun, dia merasa pikiran liarnya sulit dikendalikan.

“Kalau sudah begitu, kadang saya jadi sulit konsentrasi mengajar,” imbuhnya.

Apakah pria ini belum menikah? Sudah. Klien ini sudah menikah. Bahkan sudah punya lebih dari satu anak dari hasil pernikahan dengan istrinya. Bahkan dia mengakui, istrinya juga cantik dan sangat baik. Namun entah kenapa, dia mengaku sulit mengendalikan pikirannya yang selalu berfantasi saat melihat siswinya sendiri.

Berikutnya, sang guru ini akan merasa sangat senang jika salah satu siswi yang dikaguminya, menumpang motornya. “Kalau ada siswi yang menumpang, rasanya deg-degan,” katanya.

Ia sadar betul, apa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan dan tidak patut dilakukan oleh seorang pendidik. “Selama ini, tidak ada yang tahu dengan perilaku saya ini. Sebagai seorang panutan, saya merasa sangat malu,” sambungnya.

Hingga suatu ketika, sang istri terkejut dan syok ketika mendapati handphone miliknya, penuh dengan gambar siswi-siswi yang ia kagumi. Umumnya foto siswi yang ia koleksi yang memiliki wajah lumayan, dengan bodi yang menurutnya seksi. Foto itu biasanya dia ambil diam-diam, ketika para muridnya sedang konsentrasi mengerjakan soal ujian.

“Saya tersiksa dengan kondisi ini. Apalagi istri saya sudah tahu, dan sudah mengancam cerai. Saya masih sayang sama istri dan anak-anak. Tapi pikiran ini sulit saya kendalikan,” keluhnya.

Setelah menceritakan semuanya, saya kemudian mencermati formulir yang sudah ia isi dua hari sebelum terapi. Di formulir ini ada beberapa emosi yang cukup intens, di antaranya perasaan bersalah dan menyesal.

Selanjutnya, seperti biasa saya memberikan penjelasan soal proses terapi yang akan dilakukan. Klien memahami, serta bersedia menjalankan semua arahan dan bimbingan yang akan diberikan sepanjang proses terapi.

Tak sulit membawa klien masuk ke kondisi relaksasi pikiran yang dalam dan menyenangkan. Kepasrahan klien membuat proses masuk ke kedalaman pikiran yang sangat presisi, mudah dilakukan.

Pada kedalaman profound somnambulism ini, proses hipnoanalisis pun saya lakukan dengan cermat untuk mencari akar masalah. Berbekal informasi saat sesi konsultasi, serta formulir yang sudah diisi, saya membimbing klien menyusuri akar masalah yang membuat pikiran ’liarnya’ muncul.

Ternyata, klien mendarat pada kejadian ketika dirinya berusia 9 tahun. Ketika itu, kedua orang tuanya sedang pergi ke kampung halaman karena ada keluarga yang sakit. Karena klien harus sekolah, dia kemudian dititipkan di rumah tantenya. Nah, saat di rumah tantenya itulah, dia sempat iseng mengintip anak tantenya yang sudah SMA, sedang mandi.

Aksi mengintip itu dilakukan dari dapur, yang bersebelahan dengan kamar mandi. Karena dinding terbuat dari papan, maka ada sela yang bisa dengan leluasa bagi klien ini melihat apa yang terjadi di dalam kamar mandi.

Inilah pertama kali perasaan deg-degan itu ia alami. Berawal dari kejadian ini, ternyata terus-menerus berlanjut hingga dewasa, bahkan ketika sudah memiliki istri.

Proses restrukturisasi atas kejadian ini pun dilakukan. Ada beberapa teknik yang saya gunakan untuk mencabut akar masalah ini. Hasilnya, klien mengaku merasa lega dan plong. Cek perasaan di masa depan pun dilakukan. Klien merasa biasa saja, ketika melihat siswi yang cantik dan seksi.

Dengan teknik tertentu pula, perasaan deg-degan setiap kali melihat siswinya yang cantik dan seksi, dialihkan kepada istrinya sendiri. Klien merasa semakin nyaman dan semakin sayang dengan sang istri.

Proses tuntas, klien pun dibawa naik dari kondisi relaksasi. Begitu sampai pada kesadaran normal, klien kembali mengaku merasa nyaman dan lega.

“Saya tidak tahu, ternyata itu akar masalahnya. Saya bahkan sudah lupa kalau pernah ngintip,” ujarnya seraya tersenyum malu.

Sore tadi, klien ini mengirimkan kabar kepada saya, bahwa dirinya sudah semakin tenang dan nyaman. Perasaan yang menggebu ketika lihat siswinya yang cantik dan seksi, sudah tidak ada lagi. Dia merasa biasa-biasa saja.

Terus, bagaimana rasanya kalau melihat istrinya? “Kalau itu jangan ditanya pak, semakin deg-degan dan semakin hot,” pungkasnya. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun