Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tas Terlalu Berat, Ini yang Akhirnya Dialami Alifa

25 Januari 2016   16:54 Diperbarui: 25 Januari 2016   16:54 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pekan lalu, seorang ibu membawa anak perempuan yang masih duduk di kelas 4 SD, datang ke tempat praktik. Keluhannya, anak enggan bahkan malas-malasan ke sekolah. Dari sesi wawancara awal diketahui, sang ibu khawatir anaknya menjadi korban bully atau ada hal lain yang membuat buah hatinya enggan menuntut ilmu.

Dari sisi pola asuh, ternyata juga tidak ada masalah. Sang ibu punya banyak waktu memberikan perhatian. Bahkan selalu memberikan pendampingan pada anak saat belajar, membaca buku, bahkan menonton televisi.

Selanjutnya, si anak, sebut saja namanya Alifa, saya bimbing untuk menjalani sesi hipnoterapi. Anak ini sangat sugestif, sehingga dengan cepat bisa masuk ke kondisi kedalaman pikiran yang tepat untuk terapi.

Dari proses hipnoanalisis, terbukti memang tidak ada masalah apa-apa. Satu-satunya masalah yang muncul adalah, klien mengeluh capek dan punggungnya terasa sakit setiap sekolah. “Tasnya berat sekali, Om,” sebut Ita.

Masa iya sih, masalah begini saja harus diungkap dengan cara hipnoterapi? “Saya sudah sering bilang ke Mama, Om. Tapi Mama ngga percaya. Yang ada saya malah dimarahin sama Mama,” sambungnya.

Proses hipnoterapi selesai. Akar masalahnya memang ada di tas sekolah. Apalagi secara postur, Alifa memang bertubuh lebih kecil dibandingkan rekan seusianya. Sehingga secara postur agak kesulitan membawa tas ransel yang cukup berat.

“Memang benar sih, Pak. Tas sekolahnya berat banget. Saya sendiri bingung, apa ya perlu anak-anak bawa tas seberat itu? Masa’ semua buku paket dan buku penunjang harus dibawa semua,” komentar si ibu usai sesi hipnoterapi. 

Si ibu pun berjanji, akan mengomunikasikan hal ini kepada pihak sekolah. Meski dia sendiri tidak yakin, apakah yang disampaikan bisa diterima atau tidak.

Sahabat semua, sebagai hipnoterapis, saya sendiri tidak menyangka jika tas sekolah ini muncul sebagai akar masalah. Karena itu, pagi tadi sebelum anak saya berangkat ke sekolah, iseng tas sekolahnya saya pinjam untuk ditimbang. Hasilnya memang lumayan berat. Anak saya harus membawa beban di punggungnya seberat hampir 6 kilogram.

Saya saja yang sudah dewasa, merasa beban itu cukup berat. Sementara beban itulah yang harus dibawa setiap hari. Memang harus diakui, beban ini tidak selamanya harus dipikul. Sebab, saat diantar-jemput menggunakan mobil, tas bisa diletakkan sementara waktu. Namun tetap saja anak harus membawa beban itu dari rumah ke mobil, termasuk dari mobil menuju ke ruang kelasnya.

Lantas bagaimana dengan anak yang diantar-jemput menggunakan motor. Bisa dipastikan, si anaklah yang umumnya membawa beban berat itu sepanjang perjalanan dibonceng di belakang motor. Bagaimana pula dengan anak yang jalan kaki ketika berangkat sekolah. Mungkin jarak dari rumah ke sekolah memang tidak terlampau jauh, namun tetap saja beban berat di pundak akan cukup terasa.

“Ah, biarlah. Justru itu yang membuat anak-anak kuat,” kata salah satu orang tua memberikan komentar. Tentu saya bisa saja setuju dengan pendapat itu. Namun faktanya, hal tersebut sudah muncul sebagai akar masalah saat sesi hipnoterapi. Itu artinya, hal ini perlu mendapat perhatian.

Haruskah untuk satu pelajaran anak membawa lebih dari dua buku? Selain buku tulis, ada buku paket, ditambah satu buku lembar kegiatan siswa (LKS). Mending kalau tipis, lah ini semuanya tebal-tebal.

Coba perhatikan anak-anak yang pergi ke sekolah. Tidakkah anak-anak terlihat lebih kecil ketimbang tas ransel yang ia bawa. Alih-alih mau belajar, anak-anak malah terlihat seperti orang yang mau mudik saat Lebaran. Tasnya penuh sesak dengan berbagai keperluan sekolah. Belum lagi anak terkadang membawa bekal makanan dan botol air minum, yang tentu menambah beban di pundaknya.

Mari kita simak dari sisi kesehatan. Menurut American Pediatrician, beban yang mampu diangkat oleh anak-anak adalah 10 persen dari berat tubuhnya. Jika mencapai 20 persen, itu sudah sangat maksimal.

Anak saya yang berat badannya 25 kg, maka maksimal berat tasnya seharusnya 2,5 kg. Tapi nyatanya, harus membawa beban rata-rata 5 kg. 

Bukankah anak-anak masih dalam masa pertumbuhan? Pertumbuhan tulang mereka berlangsung hingga usia 9 sampai 14 tahun. Jika dalam usia itu terjadi gangguan pada tulang, maka pertumbuhan tulang pun akan terganggu.

Ketika anak mengangkat beban melebihi batas kemampuannya, umumnya anak akan berjalan dalam posisi membungkuk. Ini membuat anak menumpukan beban pada salah satu bahu. Bahu cenderung ikut turun mengikuti arah gravitasi beban. Nah, kalau ini berlangsung lama, punggung anak bisa membengkok ke samping akibat kelainan rangka tubuh. Dalam istilah medis, anak bisa mengalami skoliosis.

Sebuah studi 2010 dari University of California, San Diego menyimpulkan, beban tas punggung menyebabkan nyeri punggung pada anak-anak. Studi yang sama mengatakan sepertiga anak usia 11 sampai 14 melaporkan nyeri punggung. Riset lain dari 2011 juga menemukan kesimpulan sama.

Berangkat dari kasus ini, sudah saatnya pemerintah melalui Dinas Pendidikan, menyediakan loker untuk masing-masing siswa di setiap ruang kelas. Lihat saja di negara maju, di sekolah tersedia loker. Sehingga anak-anak bisa menyimpan sebagian barang-barangnya di sekolah. Tak perlu dibawa pulang pergi setiap hari. Dengan demikian, anak hanya membawa barang lain seperlunya.

Selain itu, sekolah juga perlu menyediakan air minum. Cukup siapkan satu dispenser di masing-masing kelas, sehingga anak cukup membawa botol kosong, atau menyimpan gelas di sekolah. 

Sementara untuk para orang tua, ada baiknya rutin memeriksa barang bawaan anak. Pastikan hanya membawa barang yang dibutuhkan. Namanya juga anak-anak, terkadang ingin membawa sesuatu di luar kebutuhan sekolah, untuk ditunjukkan kepada temannya di kelas.  

Terlepas dari masalah beban berat ini, boleh jadi, kelak anak hanya cukup membawa satu buku tulis saja. Sementara untuk buku teks, semua sudah tersedia di komputer tablet. Bukankah buku bisa diakses secara digital, sehingga anak tak perlu membawa terlalu berat? Masing-masing anak cukup membawa satu tablet, dan semua pelajaran bisa diakses dengan mudah. Tapi, entah kapan ini bisa terjadi?

Saya jadi ingat, dulu hanya membawa satu buku tulis dan satu pulpen. Buku dilipat dan diselipkan di kantong belakang celana. Nyatanya, bisa juga mengikuti pendidikan dengan baik. Tapi itu dulu. Duluuu sekali… (*)

Simak artikel lainnya di www.endrosefendi.com  

#HipnoterapiKlinis #Hipnoterapis #Hipnoterapi #Transformasi #LetsLearn #AWGI #AHKI #SeriSuksesTerapi #SayaAWGI #MindTechnology #TeknologiPikiran #HidupYangLebihBaik #Sehat #Bahagia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun