Pada tanggal 29 September 2022 DPR menyelenggarakan Rapat Paripurna ke-7 Masa Sidang I Tahun 2022-2023 yang salah satu agendanya adalah pencopotan jabatan salah satu Hakim Konstitusi (MK), Aswanto. Pasca pencopotan tersebut, muncul narasi pemberitaan bahwa pencopotan tersebut dilakukan secara mendadak--karena berdasarkan informasi tidak ada agenda DPR melakukan pencopotan terhadap hakim MK.
Berdasarkan informasi yang beredar, Komisi III DPR mencopot Aswanto sebagai Hakim MK karena menganggap kinerjanya mengecewakan dan sering menganulir atau membatalkan undang-undang yang telah dibuat DPR.
Secara hukum keputusan DPR yang mencopot Aswanto jelas salah karena tidak memiliki pijakan hukum, prosesnya dilakukan secara serampangan, tidak demokratis, dan sarat akan kepentingan politik.
Beberapa pertimbangan mengapa keputusan DPR harus ditolak antara lain:
Dasar Hukum Pemberhentian
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2020, salah satu ketentuan mengenai pemberhentian hakim konstitusi diatur dalam Pasal 23 ayat (2) yang mengatur tentang pemberhentian tidak dengan hormat. Hakim Konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila dipidana penjara berdasarkan putusan yang incracht, melakukan perbuatan tercela, tidak menghadiri persidangan selama 5 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, melanggar sumpah atau janji jabatan, sengaja menghambat tugas MK, melanggar larangan rangkap jabatan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi, dan/atau melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi (KEPPHK).
Apabila menelaah semua ketentuan yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (2) di atas, tidak ditemukan sama sekali aturan yang menjadi dasar legitimasi pemberhentian hakim MK karena alasan "kinerjanya yang tidak bagus ataupun sering membatalkan undang-undang".
Kalaupun Aswanto harus diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan tertentu, misal akibat melanggar KEPPHK, maka keputusan itu harus ditetapkan Majelis Kehormatan MK yang kemudian diberhentikan dengan keputusan presiden.
Dari sini saja dapat dipahami bahwa pijakan hukum yang menjadi dasar keputusan pencopotan oleh DPR adalah tidak berdasar dan tidak jelas. Bahkan pencopotan tersebut menunjukkan bahwa DPR tidak paham mekanisme hukum yang terdapat dalam UU MK--yakni produk hukum yang dibuatnya sendiri bersama presiden.
Mengingat tidak adanya pijakan hukumnya, maka wajar apabila pencopotan Aswanto lebih menunjukkan nuansa politis ketimbang nuansa demokratisnya.
Logika Pencopotan yang Keliru
Bambang Wuryanto selaku Ketua Komisi III DPR--pada intinya--mengatakan bahwa pencopotan Aswanto karena dianggap tidak komitmen kepada DPR, padahal diketahui bahwa Aswanto menjadi Hakim MK dari unsur perwakilan DPR.
Apabila menelaah alasan pencopotan tersebut, terdapat kerancuan nalar berpikir hukum DPR yang tidak tepat. Berdasarkan Pasal 24C ayat (3), anggota hakim konstitusi diajukan oleh 3 lembaga, yakni 3 orang dari MA, 3 orang dari presiden, dan 3 orang dari DPR. Perlu dipahami bahwa pengajuan hakim MK bukanlah sebagai bentuk 'perwakilan lembaga' yang kepentingan lembaganya harus diaspirasikan di MK, melainkan hanyalah sebatas proses formal untuk pengisian jabatan hakim MK.
Apabila logika 'representasi lembaga' diterapkan di MK, maka pastilah akan terjadi 'pertarungan kepentingan dari lembaga asal' yang kandang bertarungnya adalah di MK.
Pada konteks ini semestinya perlu dipahami bahwa terdapat perbedaan antara proses pengisian jabatan dengan proses peradilan. Dalam kaitannya dengan pengisian jabatan, yang dimaksud adalah proses formal untuk mengajukan hakim MK yang merupakan proses politik. Sedangkan dalam proses peradilan, ketika sudah menjadi hakim MK maka setiap hakim yang diajukan DPR, MA, dan Presiden sudah tidak boleh lagi dibeda-bedakan asal lembaganya, karena proses politik pengisian jabatan hakim MK sudah selesai pada saat pengajuan hingga pelantikan.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah proses politik dalam pengajuan hakim MK sama sekali tidak ada hubungannya dengan proses peradilan. Justru pada saat menjadi hakim MK yang harus dikedepankan adalah hakim harus bersikap independen, merdeka, dan menerapkan asas imparsialitas, serta tidak lagi mewakili kepentingan lembaga yang mengajukannya--entah DPR, MA, ataupun Presiden.
Merusak Sistem Peradilan
Berdasarkan pengaturan konstitusi, kedudukan DPR dan MK adalah sejajar dan menerapkan checks and balances system. Artinya, tugas dan wewang lembaga negara adalah saling mengawasi dan mengimbangi, sehingga tidak bisa saling mengintervensi antar kedua lembaga dalam bentuk apapun.
Dengan adanya pencopotan Aswanto, bukan tidak mungkin akan mengakibatkan rusaknya sistem peradilan akibat adanya campur tangan politik yang mengintervensi lembaga peradilan.
Dengan adanya intervensi, maka bisa jadi lembaga peradilan akan kehilangan independensi dan menjadi kekuasaan kehakiman yang tidak lagi merdeka.
Apabila DPR dengan seenaknya mencopot hakim MK, bukan tidak mungkin apabila di kemudian hari akan terjadi pencopotan lagi dan menjadi kebiasaan buruk yang akan merobohkan sendi-sendi lembaga peradilan.
Misalnya saja MA secara tiba-tiba ikut meniru DPR dengan mencopot hakim MK yang telah diajukan karena berseberangan dengan kepentingan MA, begitu juga dengan presiden yang juga dapat mencopot hakim MK yang telah diajukan.
Oleh karenanya apabila pencopotan dilakukan dengan dalih 'ketidaksukaan', maka kebijakan tersebut akan berimplikasi pada runtuhnya wibawa keadilan serta melemahnya sistem peradilan.
Selain 3 alasan yang menjadi pertimbangan di atas, perlu dipahami bahwa antara MK dan DPR bukanlah dua lembaga yang saling superior-inferior. Melainkan dua lembaga yang masing-masing mempunyai hubungan wewenang dalam kaitannya dengan undang-undang. DPR bersama presiden berwenang membentuk undang-undang, sedangkan MK berwenang menguji undang-undang yang telah dibentuk DPR dan presiden.
Hingga saat ini telah banyak undang-undang buatan DPR dan presiden yang diajukan judicial review ke MK. Secara ideal, banyaknya undang-undang yang di-judicial review semestinya menjadi alarm peringatan DPR dan presiden bahwa undang-undang yang selama ini dibuat banyak yang tidak sejalan dengan kebutuhan hukum dan kepentingan masyarakat.
Banyaknya judicial review semestinya DPR merefleksikan dan memperbaiki diri bahwa undang-undang yang dibuat banyak dinyatakan inkonstitusional bertentangan dengan UUD NRI 1945, sehingga memang harus dibatalkan oleh MK.
Lebih jauh lagi apabila pencopotan tersebut mengakibatkan konflik lembaga--antara DPR dan MK--maka bukan tidak mungkin yang merasakan dampaknya secara langsung adalah rakyat, mengingat DPR dan MK mempunyai kepentingan fundamental yang bersentuhan langsung dengan kepentinga rakyat.
Dalam hal ini, Penulis merekomendasikan kepada DPR untuk membatalkan pencopotan tersebut dan Jokowi supaya menolak menerbitkan Keppres pencopotan. Apabila memang ada dugaan pelanggaran peraturan atau kode etik yang dilakukan Aswanto, maka semestinya dugaan tersebut harus diselesaikan secara etik terlebih dahulu di MK.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI