Oleh karenanya apabila pencopotan dilakukan dengan dalih 'ketidaksukaan', maka kebijakan tersebut akan berimplikasi pada runtuhnya wibawa keadilan serta melemahnya sistem peradilan.
Selain 3 alasan yang menjadi pertimbangan di atas, perlu dipahami bahwa antara MK dan DPR bukanlah dua lembaga yang saling superior-inferior. Melainkan dua lembaga yang masing-masing mempunyai hubungan wewenang dalam kaitannya dengan undang-undang. DPR bersama presiden berwenang membentuk undang-undang, sedangkan MK berwenang menguji undang-undang yang telah dibentuk DPR dan presiden.
Hingga saat ini telah banyak undang-undang buatan DPR dan presiden yang diajukan judicial review ke MK. Secara ideal, banyaknya undang-undang yang di-judicial review semestinya menjadi alarm peringatan DPR dan presiden bahwa undang-undang yang selama ini dibuat banyak yang tidak sejalan dengan kebutuhan hukum dan kepentingan masyarakat.
Banyaknya judicial review semestinya DPR merefleksikan dan memperbaiki diri bahwa undang-undang yang dibuat banyak dinyatakan inkonstitusional bertentangan dengan UUD NRI 1945, sehingga memang harus dibatalkan oleh MK.
Lebih jauh lagi apabila pencopotan tersebut mengakibatkan konflik lembaga--antara DPR dan MK--maka bukan tidak mungkin yang merasakan dampaknya secara langsung adalah rakyat, mengingat DPR dan MK mempunyai kepentingan fundamental yang bersentuhan langsung dengan kepentinga rakyat.
Dalam hal ini, Penulis merekomendasikan kepada DPR untuk membatalkan pencopotan tersebut dan Jokowi supaya menolak menerbitkan Keppres pencopotan. Apabila memang ada dugaan pelanggaran peraturan atau kode etik yang dilakukan Aswanto, maka semestinya dugaan tersebut harus diselesaikan secara etik terlebih dahulu di MK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H