Setiap pembuatan dokumen tersebut, dikenai satu kali Bea Meterai dengan tarif tetap sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).[4]
Secara sederhana, kita dapat memahami Bea meterai adalah salah satu bentuk pajak atas dokumen yang salah satu cara pembayaran pajaknya dilakukan dengan perlekatan meterai pada dokumen tersebut.
Bahwa salah satu dokumen yang termasuk dalam pengenaan bea meterai adalah akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya. Maka, menjadi kewajiban bagi para Notaris, untuk memahami seluk beluk mengenai aturan bea meterai ini. Meskipun, perlu kita pahami bahwa pelekatan meterai pada suatu akta notaris, tidak menjadi syarat wajib untuk keabsahan akta tersebut. Sebab, sepanjang proses pembuatan akta notaris telah memenuhi ketentuan yang ada di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan telah memenuhi syarat verlijden (dibuat oleh pejabat yang berwenang, dibacakan di hadapan para pihak dan saksi, dan ditandatangani oleh para pihak, saksi, dan notaris), maka akta notaris telah secara sah berlaku sebagai suatu akta autentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.[5]
Umumnya dikenal ada dua jenis meterai, yakni pertama kita mengenal adanya Meterai Tempel dan Meterai Elektronik. Meterai Tempel merupakan meterai berupa carik yang penggunaannya dilakukan dengan cara ditempel pada dokumen.[6] sedangkan Meterai Elektronik, adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada dokumen melalui sistem tertentu.[7] Pada artikel ini, kita akan fokus membahas meterai jenis pertama, yaitu Meterai Tempel. Karena para Notaris di Indonesia masih menggunakan Meterai Tempel pada pembuatan aktanya.
Aturan Bea Meterai awalnya diatur dalam Zegelverordening 1921, yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan Aturan Bea Meterai 1921 disingkat dengan "ABM-1921". Aturan ini diumumkan pada Stb. 1921 Nomor 498 dan Nomor 632, peraturan ini telah mengalami perubahan, penambahan serta pencabutan, hingga kini aturan yang berlaku atas bea meterai adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6571); dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 134/PMK.03/2021 tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum dan Ciri Khusus Meterai Tempel, Meterai dalam Bentuk Lain, dan Penentuan Keabsahan Meterai, serta Pemeteraian Kemudian.
Dalam ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 134/PMK.03/2021, mengatur tentang tata cara penggunaan Meterai Tempel, yang berbunyi sebagai berikut.
"(1) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dilakukan dengan membubuhkan Meterai Tempel yang sah dan berlaku serta belum pernah dipakai untuk pembayaran Bea Meterai atas suatu Dokumen, pada Dokumen yang terutang Bea Meterai.Â
(2) Pembubuhan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:Â
a. Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di tempat Tanda Tangan akan dibubuhkan; dan
b. Tanda Tangan dibubuhkan sebagian di atas kertas dan sebagian di atas Meterai Tempel disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya penandatanganan.
Dalam ketentuan Pasal 4 di atas terdapat frasa "belum pernah dipakai", yang merujuk pada Meterai Tempel belum pernah digunakan pada dokumen lain. Kemudian juga terdapat frasa "Meterai Tempel disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya penandatanganan", hal ini adalah untuk mengantisipasi penggunaan ulang Meterai Tempel pada dokumen lainnya, pecantuman tanggal ini pada pratiknya disebut dengan istilah "mematikan meterai". Hakikat aturan ini mengatur bahwa satu Meterai Tempel hanya dapat digunakan satu kali untuk satu dokumen saja. Mengapa demikian? Sebab Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai mengatur adanya ketentuan pidana larangan menggunakan meterai ulang, yakni diatur dalam Pasal 26 yang berbunyi sebagai berikut.