Mohon tunggu...
Endah Rosa
Endah Rosa Mohon Tunggu... Freelancer - Bibliophile.

I write things that interests me and are fascinating.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Polemik Vaksin Halal-Haram di Indonesia

14 Oktober 2018   16:36 Diperbarui: 14 Oktober 2018   17:19 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisruh 'Vaksin Halal-Haram' merupakan permasalahan yang belakangan ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan di Indonesia. Pasalnya, sejak Majelis Ulama Indonesia (MUI) mewajibkan pemberian 'label' halal-haram pada produk obat-obatan, banyak masyarakat Indonesia terutama komunitas muslim menjadi heboh dan resah akan penggunaan vaksin. Vaksin yang dianggap 'haram' tersebut adalah vaksin Rubella (MMR), yang berfungsi untuk memberikan imunitas dari virus penyebab penyakit campak Jerman. 

Kebanyakan vaksin Rubella memang mengandung gelatin yang berasal dari babi. Gelatin merupakan substansi yang berasal dari kolagen hewan seperti ayam, sapi, babi dan ikan. Kalau Anda bingung kolagen itu seperti apa bentuknya, kikil sapi merupakan salah satu contohnya. Gelatin yang digunakan untuk pembuatan vaksin memang berasal dari kolagen babi. Pertanyaannya, mengapa dalam pembuatan vaksin harus menggunakan gelatin yang berasal dari babi dan bukan hewan lainnya?

Gelatin dan Fungsinya di dalam Vaksin

Gelatin sebenarnya digunakan dalam berbagai macam produk-produk kesehatan. Mulai dari busa/sponge penyerap darah sampai kapsul obat yang Anda konsumsi secara rutin pun bisa saja mengandung kolagen yang berasal dari babi. Dalam pembuatan vaksin, gelatin babi ini berfungsi sebagai stabilizer - molekul penstabil untuk menjaga kualitas vaksin agar tidak rusak dari pengaruh suhu tinggi maupun rendah, dan menjaga lama penyimpanan vaksin. 

Tujuannya, ketika vaksin tersebut digunakan kemampuan vaksin untuk memberikan daya imunitas dalam tubuh tetap terjaga dan seseorang yang diimunisasi dengan vaksin tersebut benar-benar akan memiliki imunitas (kekebalan) dari penyakit terkait. Perusahaan-perusahaan yang memproduksi vaksin sebenarnya telah menguji berbagai macam stabilizer dari berbagai sumber, hingga akhirnya mereka memilih satu sumber yang memang memiliki kualitas yang baik, bersifat stabil dan tersedia dalam jumlah cukup. 

Tidak seperti gelatin yang digunakan dalam produk makanan, gelatin yang terdapat di dalam vaksin telah dihancurkan melalui pencampuran berbagai senyawa kimia atau dalam kata lain 'dihidrolisis', menjadi molekul-molekul lain yang lebih kecil yang disebut peptida. Jadi sebenarnya gelatin babi tersebut telah berubah menjadi molekul lain dan tidak lagi dalam bentuk murni protein babi.

Apakah pemilihan babi sebagai sumber stabilizer merupakan akal-akalan orang non-Muslim untuk memaksa Muslim mengonsumsi babi?

Sekali lagi, pemilihan babi sebagai sumber stabilizer bukan merupakan hal yang disengaja oleh para pembuat vaksin. Mereka pasti sudah mempertimbangkan terlebih dahulu kalau di bumi ini ada hampir 2 milyar orang yang tidak bisa memakai produk yang mengandung babi. Coba pikirkan saja, bila para pembuat vaksin ini memilih sumber yang bersifat halal, maka pangsa pasar mereka akan menghasilkan profit yang jauh lebih besar dibandingkan membuat vaksin dari bahan yang dilarang oleh komunitas agama. 

Tapi kenapa mereka tetap memilih sumber dari babi sebagai kandidatnya? Tentu saja karena hasil penelitian mengatakan demikian. Gelatin dari babi memang memiliki kemampuan yang jauh lebih baik sebagai molekul penstabil dalam menjaga kualitas vaksin dibandingkan gelatin dari sumber lain1. Para pembuat vaksin tentu tidak akan mau mengambil resiko menggunakan stabilizer dari bahan yang kurang baik kemampuannya. Hal ini mungkin akan membuat Anda sedikit bertanya-tanya mengapa babi yang ternyata haram justru kaya akan manfaat.

Apakah tidak bisa diusahakan untuk membuat vaksin dari sumber non-babi?

Penelitian untuk mencari kandidat pengganti gelatin babi sebagai stabilizer sedang diusahakan untuk dilakukan. Satu kandidat lain yang saat ini tengah diteliti untuk menjadi pengganti gelatin babi yakni gelatin yang berasal dari rekombinasi sel manusia2. Namun tetap ada komunitas agama yang menganggap sumber tersebut dilarang untuk digunakan. 

Pada kenyataannya belum ada satupun kandidat stabilizer yang dapat mengungguli kualitas gelatin babi. Penelitian terhadap rekombinasi sel manusia untuk mencari kandidat stabilizer mungkin saja dilakukan karena beberapa komunitas agama merasa sangat keberatan untuk menggunakan vaksin yang mengandung protein sel babi. Meskipun demikian, penelitian tersebut akan memakan waktu yang sangat lama (>20 tahun) sampai akhirnya vaksin yang 100% bebas dari kandungan babi benar-benar dapat diproduksi.

Dilema Vaksin Haram dan Tantangan Masa Kini

Komunitas Muslim dan Yahudi merupakan dua komunitas agama yang melarang konsumsi sumber-sumber yang berasal dari babi. Melihat adanya vaksin yang mengandung gelatin babi, pada tahun 2001, WHO menyelenggarakan pertemuan bersama para ulama di Timur Tengah untuk mendiskusikan perihal status Halal-Haram vaksin tersebut3. 

Hingga akhirnya dari hasil pertemuan disepakati bahwa gelatin yang terkandung di dalam vaksin sama sekali tidak haram. Ini dikarenakan struktur senyawa gelatin tersebut telah berubah menjadi bentuk lain dan bukan lagi dalam bentuk murni protein babi. Sehingga penggunaan vaksin tersebut diperbolehkan bagi komunitas Muslim.

Meski demikian masih banyak juga masyarakat yang berpendapat bahwa penggunaan vaksin MMR haram, tidak peduli banyaknya sumber yang menyatakan bahwa penggunaan vaksin tersebut diizinkan. Bahkan banyak para orangtua yang lebih memilih untuk tidak mengimunisasi anaknya, membiarkan si anak tersebut rentan terkena serangan penyakit fatal, daripada harus menggunakan vaksin yang mereka yakini haram. 

Fenomena ini sebenarnya menunjukkan kegagalan pemerintah dalam memberikan edukasi mengenai pentingnya vaksin, dan keharusan melakukan imunisasi. Bila kita mengingat zaman Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, dimana beliau mewajibkan seluruh warga Negara Indonesia untuk melakukan imunisasi, sehingga penyakit Rubella yang muncul kembali pada masa kini sebenarnya telah musnah pada zaman beliau. Ini menunjukkan keberhasilan program kesehatan pada zaman pemerintahan tersebut.

Pentingnya Imunisasi

Banyak mungkin yang tidak tahu bahwa pada masa kini kita tidak pernah lagi melihat seseorang meninggal akibat penyakit-penyakit fatal yang pernah terjadi di zaman dahulu. Penyakit-penyakit seperti polio, cacar air, campak, tetanus dan muntaber tidak lagi dianggap sebagai penyakit berbahaya yang dapat membunuh jutaan orang. 

Tahukah Anda bahwa sebelum ditemukannya vaksin yang melawan penyakit-penyakit tersebut, si pengidap dipastikan akan meninggal dalam jangka waktu singkat? Penyakit-penyakit tersebut juga merupakan penyakit menular sehingga seorang pengidap dapat menularkan penyakitnya kepada seseorang yang sehat hingga akhirnya membunuh ratusan orang lainnya. Pada tahun 1953, cacar air merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia, membunuh hingga jutaan orang per tahunnya4. 

Namun di zaman sekarang ini, sejak ditemukannya vaksin dan adanya kebijakan kesehatan yang mewajibkan imunisasi, cacar air bukan lagi menjadi ancaman bagi orang-orang yang mengidapnya. Kita bahkan hanya menderita penyakit tersebut 1-2 kali seumur hidup tanpa khawatir kehilangan nyawa, sampai akhirnya tubuh kita memiliki kekebalan sendiri dalam melawan virus penyebab cacar air. 

Mengapa penyakit yang ada pada zaman dahulu tidak lagi kita temui pada masa kini?

Musnahnya suatu penyakit hingga tidak lagi/jarang ditemui pada masa kini disebabkan karena telah berkembangnya suatu bentuk imunitas yang disebut imunitas kawanan (herd immunity). Kekebalan kawanan adalah bentuk perlindungan tidak langsung dari penyakit menular karena sebagian besar populasi telah memiliki kekebalan terhadap infeksi tersebut, sehingga secara tidak langsung mereka juga akan memberikan kekebalan bagi individu yang belum kebal. 

Ketika pemerintah pada zaman Presiden Soeharto mewajibkan seluruh warga Negara Indonesia melakukan imunisasi, hal itu tidak lain bertujuan untuk menciptakan sistem kekebalan kawanan tersebut sehingga pada akhirnya penyakit-penyakit yang berbahaya pada zaman dahulu tidak lagi mematikan dan mungkin banyak dari kita yang tidak pernah lagi menemukan penderita penyakit polio pada masa kini. Hal itu disebabkan karena kekebalan kawanan (herd immunity) terhadap virus penyebab penyakit polio telah lama terbentuk di Indonesia sejak diwajibkannya program imunisasi pada masa Orde Baru.

Skema Proses Terjadinya Kekebalan Kawanan (Herd Immunity) [Sumber: sciencealert.com]
Skema Proses Terjadinya Kekebalan Kawanan (Herd Immunity) [Sumber: sciencealert.com]
Imunisasi merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk memproteksi diri dari serangan penyakit-penyakit fatal yang menyebabkan kematian/cacat. Artinya jika Anda tidak mengimunisasi diri Anda berarti Anda menyiapkan tubuh Anda untuk diserang penyakit. Sebagian besar vaksin yang dibuat ditujukan untuk memberikan perlindungan dari virus, namun ada juga beberapa vaksin yang digunakan untuk melindungi diri dari serangan bakteri berbahaya seperti misalnya bakteri penyebab penyakit tifus, TBC, pneumonia, difteri dan batuk rejan. 

Dengan imunisasi, secara tidak langsung kita telah memberikan kekebalan tambahan terhadap sistem imunitas tubuh untuk membunuh si virus/bakteri penyebab penyakit tersebut secara spesifik. Kekebalan yang diperoleh dari vaksin ini dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama, sehingga ketika Anda berada di sekitar para pengidap penyakit TBC misalnya, Anda tidak perlu khawatir penyakit tersebut akan menular ke Anda. Imunitas yang didapat dari proses imunisasi ini tidak dapat Anda gantikan dengan mengonsumsi antibiotik atau ekstrak-ekstrak tanaman lainnya, sehingga proses imunisasi ini sangat penting untuk menjaga kesehatan Anda maupun orang-orang di sekitar Anda.

Referensi :

1. Kissmann, J., Ausar, S.F, Rudolph, A., Braun, C., Cape, S.P., Slevers, R.E., Federspiel, M.J., Joshi, S.B., dan Middaugh, C.R. 2008. Stabilization of measles virus for vaccine formulation. Human Vaccines, 4(5): 350-359.

2. Liska, V., Bigert, S.A., Bennett, P.S., Olsen, D., Chang, R., dan Burke, C.J. 2007. Evaluation of a recombinant human gelatin as a substitute for a hydrolyzed porcine gelatin in a refrigerator-stable Oka/Merck live varicella vaccine. Journal of Immune Based Therapies and Vaccines, 5:4.

3. World Health Organization. 2003. WHO letter reports on Islamic legal scholars' verdict on the medicinal use of gelatin derived from pork products. IAC Express, 400. http://www.immunize.org/concerns/porcine.pdf

4. Center for Disease Control and Prevention. 2018. Measles History. https://www.cdc.gov/measles/about/history.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun