Mohon tunggu...
Endah Raharjo
Endah Raharjo Mohon Tunggu... -

~...~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pohon Kenanga di Halaman Belakang

16 Oktober 2014   17:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:47 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Memasuki akhir tahun kedua hidup tanpa bunda dan terus menerus menanggung murka ayahnya, amarah Kiki tumbuh bagai sel-sel kanker: tak terlihat namun mematikan. Gadis itu menyalurkan amarahnya lewat sepak bola dan karate. Ia ingin kuat dan perkasa demi melindungi adik yang ia sayangi.

"Mbak Kiki akan menjagamu. Jangan kuatir," janji Kiki pada adiknya bila si adik menangis merindukan ayah-bundanya.

Di sepenggal pagi, Kiki mendapati Bobi tersedu-sedu di sudut kamarnya.

"Ada apa, Bob?" Kiki mengelus kepala adiknya yang sebulan lagi ulang tahun ke-9. Adiknya membisu. Air matanya membanjir. Kiki memeluknya tanpa bertanya lagi. Ia tahu ayahnya telah berbuat sesuatu yang menyakitkan hati adiknya.

Pada hari ulang tahun Bobi, Subakti membelikannya satu set komputer. Namun Bobi menolaknya. Ia berlari ke kamar. Ayahnya membanting pintu depan. Pergi.

"Kenapa, Bob?" tanya Kiki, membujuk adiknya agar menerima hadiah itu. Bobi tetap menolak. Kiki mendesaknya, mengatakan kalau Bobi beruntung mendapat perhatian besar dari ayahnya, sedangkan ia jarang disapa.

"Aku nggak mau! Ayah jahat, Mbak. Ayah memberi hadiah agar aku mau terus digituin ...." Tangis anak lelaki itu tumpah ruah.

Saat itu Kiki tidak mengerti, tidak menyadari petaka yang menimpa adiknya. Ia mengira Bobi sekedar dibentak ayahnya. Seperti biasa, Kiki hanya memeluk Bobi sampai tangisnya reda.

Hingga seminggu kemudian.

Kiki terbangun oleh suara pintu depan dibuka. Ayahnya pulang dini hari, tanpa membuka pintu garasi. Pasti ia menggadaikan lagi mobilnya, atau malah menjualnya akibat kalah judi, pikir Kiki. Ia tengah berusaha kembali tidur saat terdengar rintihan dari kamar adiknya, disusul suara ayahnya berusaha membujuk Bobi. Awalnya Kiki tak berniat bangun, namun ia ingat keluhan Bobi tentang ayahnya.

Remaja itu curiga. Sesuatu yang tak sepenuhnya ia pahami menyuruhnya segera menengok adiknya. Gadis 15 tahun itu pelan-pelan membuka pintu kamar Bobi. Matanya terbeliak. Mulutnya menganga namun tak ada suara. Jantungnya seakan mencelat hingga menyumpal tenggorokannya. Dalam temaram lampu tidur 5 watt Kiki melihat tubuh tambun ayahnya menunggangi tubuh kerempeng adiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun