Dalam kondisi kalut, tiba-tiba satu pikiran terlintas. Bapak ke kantor polisi. Dia pasti mau mengambil sepedanya sendiri.
Segera aku belokkan laju sepeda motorku ke arah kantor polisi. Benar saja, di sana aku melihat bapak.
"Bapak ... !!! Bapak ngapain, di sini?" tanyaku setengah berteriak saat melihat bapak di depan kantor polisi.
"Ayo pulang, Iwan jemput bapak!" sambungku.
"Bapak mau ambil sepeda, Wan," sambil menggeleng, bapak menjawabku.
"Kenapa bapak bersikeras mengambil sepeda itu? Sepeda itu sudah rusak, Pak. Setangnya patah, rodanya sudah tak lagi berbentuk, peleknya bengkok. Sadelnya hilang. Biarkan saja di kantor polisi. Nanti aku belikan yang baru," bujukku dengan sabar.
"Tidak, Wan. Bapak mau sepeda itu. Setidaknya, kalaupun tidak bisa diperbaiki, bapak ingin merawatnya. Sampai nanti, bapak tak mampu lagi melakukannya," jawab bapak sendu.
"Dulu, sepeda itu dibeli dari hasil ibumu menjual cincin pernikahan kami. Sebagian untuk modal usaha, sebagian untuk membeli sepeda," Bapak melanjutkan bercerita.
"Sepeda itu sudah sangat berjasa untuk keluarga kita. Bapak tiap hari keliling menjajakan dagangan juga ditemani sepeda itu," lanjutnya.
"Ibumu meninggal juga karena saat sedang bersepeda diseruduk orang mabuk dari belakang. Setangnya patah, boncengannya patah, rantainya putus. Sepeda itu masih bisa diperbaiki. Tapi, ibumu .... " Bapak tidak melanjutkan ceritanya, matanya menerawang jauh. Ada duka mendalam di sana.
"Cuma sepeda itu kenangan dari ibumu yang masih ada, Wan. Bapak ingin menjaganya selama bapak masih mampu melakukannya. Tolong ambilkan sepeda bapak." setengah memohon suara bapak terdengar di telingaku.