Di zaman modern seperti sekarang ini, sepeda bukanlah barang mewah. Jika diminta memilih, orang lebih memilih sepeda motor daripada sepeda. Apalagi, jika pilihan sepedanya seperti sepeda bapak. Wah, tukang rongsok pun juga pasti berpikir ulang untuk membelinya. Paling-paling dihitung sebagai besi tua yang harganya berdasar berat timbangan.
Tapi, jangan main-main dengan benda itu. Bagi bapak, benda itu sepertinya barang keramat. Tak ada seorang pun anaknya yang diijinkan menaikinya. Sepeda bobrok itu begitu disayanginya.
"Buat apa sih benda itu masih diurus, Pak? Ganti saja yang baru. Nanti aku belikan model terbaru yang bisa dilipat. Atau mau yang ada listriknya, biar bapak tidak perlu capek-capek nggenjot?" belum bosan aku merayu bapak.
"Hmmm ...." Hanya itu jawaban yg aku terima, lalu bapak kembali asyik mengelap dan memberi oli pada sepeda bututnya.
Sepeda tua itu berwarna hitam. Masih terlihat jelas meski sudah banyak cat yang mengelupas. Sadelnya sudah penyok, sebagian ada yang mengelupas. Lampu berkonya sudah tak lagi menyala, hanya sebagai hiasan saja menempel di dekat ban depan. Keranjangnya entah sudah berapa kali dibetulkan, banyak kawat yang terkait untuk menjaga agar tidak rontok. Setang kiri agak bengkok dan ada bekas dilas di sana, aku yakin dulunya setang itu pernah patah. Boncengan belakang juga sepertinya pernah patah, ada jejak bekas las juga di tiang penyangganya.
Entah sudah berapa kali aku merayu bapak untuk mengganti sepedanya dengan yang baru, tapi bapak tak pernah mau. Bapak orang yang pendiam, tak pernah banyak kata yang diucapkannya. Jadi, aku tak pernah mendapat jawaban yang jelas kenapa beliau sangat menyayangi sepeda butut itu.
Kadang-kadang aku berpikir untuk diam-diam menjual sepeda itu dan menggantinya dengan yang baru. Tapi, aku masih sabar merayu bapak. Semoga tak lama lagi beliau mau, pikirku.
Siang itu, saat aku di kantor, tiba-tiba ada panggilan dari nomor asing masuk. Kupikir dari kolega atau rekan kantor, tapi ternyata itu dari kepolisian yang mengabarkan kalau bapak mengalami kecelakaan dengan sepedanya. Secepat kilat aku berlari menyambar kunci motor untuk menuju rumah sakit.
"Bapak kenapa, Rin?" tanyaku pada Rini adikku yang sudah sampai lebih dulu di IGD.
"Bapak kecelakaan, Mas. Tadi bapak sedang bersepeda lalu ada truk yang menyenggolnya. Sepedanya roboh, bapak terlempar ke dalam selokan. Semoga bapak tidak apa-apa, Mas." Rini melanjutkan penjelasannya sambil menangis.
"Iya, Rin. Semoga saja. Lalu, sepeda bapak di mana?" tanyaku lagi.