Di ketinggian hampir 3000 mdpl itu, hawa dingin malam terasa semakin menusuk. Hamzah, tanpa sleeping bag, meringkuk jauh dari tingkat kenyamanan. Berbagai posisi untuk menghalau dingin sudah di-pose-kan. Sleeping bag-nya basah oleh air hujan sepanjang perjalanan Sembalun Lawang hingga Plawangan Sembalun. Sekitar pukul 01.00 dini hari saya terbangun dan menjumpai Hamzah dengan kondisi yang semakin gemetar memprihatinkan menahan dingin menusuk tulang. Saya benar-benar nggak tega melihatnya kedinginan, saya paksa Hamzah menerima sleeping bag saya, sementara kaki saya yang selapis terbungkus celana panjang saya balut dengan baju-baju bersih dan mukena. Lalu saya minta Dian di sebelah saya untuk menindih kaki saya supaya berada di bawah tubuhnya yang bergelung sleeping bag hangat. Saya tidur memeluk dian, mencari kehangatan.
14 Mei 2012
Pagi yang berkabut. Dan gerimis awet yang sepertinya mengandung formalin. Berharap pagi ini bisa memandang danau segara anak dari kawasan bumi Plawangan ini, tetapi view di pelupuk mata tetap putih-abu-abu yang mendominasi, membuat saya memilih tetap melungker di dalam tenda. Monyet-monyet berkeliaran di sekeliling perkemahan, begitu bandelnya sampai-sampai berani mencuri makanan atau barang lain di luar tenda. Ada ajakan team Haekal untuk muncak pagi ini. Matahari sudah mulai tinggi tapi kami meng-iyakannya mengingat squad team yang didominasi ibu-ibu pkk. Tentu saja ajakan Haekal terdengar seperti tawaran mem-back up kami secara sukarela. Setelah sarapan dan acara prepare yang entah kenapa nggak kunjung selesai, sukses bikin team Haekal bosan menunggu, team kami bersembilan plus 3 orang team Haekal berangkat summit. Jam tangan saya sudah menunjukkan angka di atas jam 10 pagi. Cuaca masih dingin. Kabut dan mendung silih berganti, sedikit matahari yang terkadang menyapa.
Ketika bukit pertama berhasil kami lalui, Achi sudah mulai menyerah, maagnya kambuh lagi. Hamzah turun untuk mengantar Achi sampai di tenda. Adalah jaket saya yang terbawa turun oleh Hamzah, sedikit membuat saya khawatir di tengah cuaca seperti ini, hanya berbalut T-shirt, tanpa jaket dan tanpa raincoat.
Kami bertujuh melanjutkan perjalanan muncak plus Arsyan dan Bayu (teamnya Haekal). Sementara Haekal sudah jauh di depan sana, (sekali lagi) bertemu rombongan Pak Djoko yang sebelumnya ‘soulmate’ sama mbak Indri.
Jalan yang kami lalui berupa medan pasir yang siap menurunkan tubuh setiap kali melangkah. Hujan, kabut dan angin makin menerpa kami. Satu orang anggota menyerah untuk kembali ke tenda. Posisi saya kebetulan di depan, tidak tahu menahu tentang kemelut apa yang terjadi di belakang. Nggak begitu ngerti ketika Adin memutuskan menyerah dan turun diantar Dian. Saya masih terus berusaha menggapai puncak meski paham benar titik 3726 mdpl itu hanya akan menyisakan view kabut. Lalu Bayu dan Arsyan juga memutuskan untuk turun. Kegalauan pun semakin melanda, karena squad yang kami harapkan membantu mem-back up justru memutuskan turun. Hujan dan angin masih saja datang bersamaan. Sekali dua awan putih dan langit biru tersibak, tetapi hanya dalam hitungan detik sudah menghilang. Kami sudah beberapa puluh meter lebih tinggi dari titik dimana Adin memutuskan turun, saat mbak Indri memanggil saya untuk berbalik. (fyi, ketika kita naik gunung, dan posisi kita sudah sedikit lebih tinggi dari pada temen kita, lalu diminta kembali, perjuangan yang selangkah-dua langkah itu rasanya berhargaaaaa sekali). Dan opsi yang saya khawatirkan pun terlahir, Mbak IIndri mengajak kami untuk kembali karena kondisi cuaca yang sepertinya semakin tidak bersahabat untuk melakukan pendakian. Sedih rasanya dengan pengorbanan baju basah kuyup ini, semangat muncak masih penuh, tenaga masih cukup kuat untuk mendaki. Ingin rasanya bilang tidak. Tapi saya cukup paham dengan apa yang dinamakan keputusan bersama.
Hamzah tiba-tiba sudah muncul menyusul kami. Saya merasa seperti mendapat secercah harapan. Sekali lagi team kami harus terpisah. Saya diantar Hamzah mencoba melanjutkan pendakian setelah logistik dibagi dua, sementara sisanya memutuskan untuk turun. Sepeninggal teman-teman, badai masih saja tak kunjung menghilang.