Adalah Pos Bayangan yang berada ± 30 meter sebelum Pos III, menjadi tempat kami menunaikan sholat. Di sini kami mulai akrab dengan beberapa team tetangga. Ada team Haekal dari Jakarta dan team-nya Pak Djoko dari Petrokimia Gresik.
Pos III biasa menjadi area camping transit para pendaki, tetapi berdasarkan pertimbangan waktu yang masih mencukupi, maka kami melanjutkan pendakian ini dengan titik destinasi berikutnya adalah Plawangan Sembalun. Tanjakan demi tanjakan selepas Pos III ini nyiksanya bener-bener nggak santai. Konon kabarnya jalur yang dinamakan tujuh bukit penyesalan ini setara dengan seratus kali Tanjakan Cinta di atas Ranu Kumbolo, jalur pendakian Semeru (survey kurang ilmiah). Setiap kali selesai mendaki satu bukit, akan ada bukit lain yang menanti didaki lebih tinggi seperti nggak ada habisnya. Sementara tenaga semakin terkuras. Hujan dan hawa dingin melanda. Tak terasa squad kami terpisah-pisah. Adhi (dengan double keril, selain keril 70 liternya dia masih bawa keril 32 liternya Achi), Dian, mbak Indri dan Lia berada di barisan depan. Saya konstan jalan bareng Adinda di tengah. Sisanya tiga orang di belakang menjadi team sapu bersih kami, ada Hamzah, Achi dan Nina. Sesekali saya dan Adin masih bisa menyusul Dian dkk, sempat bertemu lagi dengan rombongan Haekal dan merasa berhutang budi karena hibahan air tawar panas team mereka memberi asupan energi baru di antara medan berat yang harus kami lalui. Ketika hari mulai gelap dan masih saja terlunta-lunta diantara punggung-punggung bukit, tiba-tiba saya dan Adin serasa ditemukan oleh sesosok mulekat, seorang mas-mas yang tampak sakti di mata saya karena naik gunung dengan medan begini memakai sandal jepit. Saya yang bersepatu trekking saja terseok-seok. Si mas Mulekat Sendal Jepitsepertinya jatuh iba dan menggugah niatnya secara suka rela untuk mem-back up kami sampai puncak Plawangan Sembalun. Sesampai Plawangan dia seperti hilang ditelan bumi, saya pun kehilangan jejaknya. (padahal belum tukeran ID. #ditoyor)
Plawangan Sembalun, lepas Maghrib.
“Diaaaaaannn….!!! Adhiiiiiiii…..”
Saya mencoba berteriak sesampai di Plawangan Sembalun, mencoba mengidentifikasi di mana team saya yang sudah sampai terlebih dahulu membuka lapak tenda, cara primitive yang bisa saya lakukan karena ponsel jelas sudah tidak bias diharapkan kesaktiannya. Saya menuai sahutan balasan dari Mbak Indri. Itu pun ternyata mbak Indri sedang terdampar di tenda kelompok Pak Djoko. Hypothermia, frustasi dan entah tekanan mental jenis apa lagi yang saya sendiri ogah menganalisa lebih dalam kala itu, karena penyakit serupa juga melanda diri saya. Selanjutnya saya pun tersangkut di tenda kelompok Mas Tege. Ketika team sapu bersih saya mencapai bumi Plawangan pun mereka makmum terimbas nyangkut sejenak melepas frustasi. Hanya Hamzah yang kekeuh mencoba melanjutkan perjalanan mencari tenda adhi dkk. Saya nggak seberapa tega melihat Hamzah dengan ingus yang sudah meler membentuk angka sebelas di bawah lubang hidungnya, mata nanar yang melukiskan capek luar biasa setelah menggendong dua keril karena Nina yang nge-drop oleh hypothermia dan secara otomatis menjadikan Hamzah sebagai tumbal.
Team kami benar-benar berkumpul setelah Dian muncul dipandu Haekal menjemput kami. Mas Tege membantu menjemput Mbak Indri dari binaan tenda Pak Djoko. Dari tenda Mas Tege menuju tenda kami berdiri masih berjarak dua bukit. Memang tidak separah medan tujuh bukit penyesalan, tapi tetap saja rasanya meluluhlantakkan mental kami mendengar realita ini. Terlepas dari semua rasa terhimpit ini, bisa berkumpul kembali dalam keadaan sehat adalah rasa syukur yang lebih dari apapun.