Mohon tunggu...
Enang Suhendar
Enang Suhendar Mohon Tunggu... Administrasi - Warga sadarhana yang kagak balaga dan gak macam-macam. Kahayangna maca sajarah lawas dan bacaan yang dapat ngabarakatak

Sayah mah hanya warga sadarhana dan kagak balaga yang hanya akan makan sama garam, bakakak hayam, bala-bala, lalaban, sambal dan sarantang kadaharan sajabana. Saba'da dahar saya hanya akan makan nangka asak yang rag-rag na tangkalna.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menilik Prasasti Warisan Pak Harto di Tengah Kerumunan Prasasti Bung Karno

10 Februari 2020   10:33 Diperbarui: 11 Februari 2020   03:56 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Delapan kuda gagah berlari kencang menerjang medan perang, di belakang kuda terlihat kelibat bayang yang berjenjang. Gerak mereka bergelombang, berjuang dan menyerang.

Kedelapannya menggambarkan simbol alam semesta yang disebut Asta Batra, yaitu kisma (bumi), surya (matahari), agni (api), kartika (bintang), baruna (samudera), samirana (angin), tirta (air), dan candra (bulan).

Sang sais pedati bukanlah kusir biasa, dia adalah Sang Batara Kresna, aktor intelektual pada perang maha dahsyat di rimba Khuruksetra. Sementara di belakangnya tampak berdiri elegan sang Ksatria pilih tanding, tokoh panutan dari Pandawa, Arjuna yang menggenggam erat busur panah Gandiwa pemberian Batara Agni, dimana anak panahnya tiada akan pernah habis dilepaskan.

Itulah gambaran patung Arjuna Wijaya yang berdiri jemawa selama lebih dari tiga dasawarsa di gerbang utama Jalan Medan Merdeka Barat. Patung tersebut dibuat oleh sang Maestro asal Bali, Nyoman Nuarta atas keinginan Presiden Soeharto.

Sepulang kunjungan kerja dari Turki, Presiden Soeharto merasa takjub akan kondisi di negeri Ottoman di mana banyak patung dan prarasati yang menggambarkan kegemilangan Turki di masa lalu.

Beliau meminta Nyoman Nuarta, Sang Maestro untuk membuat prasasti yang mempresentasikan bangsa Indonesia yang sesuai nilai-nilai filosofi dan histori negeri Nusantara. Patung tersebut menggambarkan kejadian paling epik dari kisah paling populer pada Kitab Mahabaratha.

Patung tersebut menceritakan peristiwa terakhir dari perang Baratayuda dimana Batara Kresna sedang mengantarkan Arjuna ke medan perang untuk bertarung dengan kakaknya sendiri, Adipati Karna sang pemilik senjata paling mematikan Konta Wijaya yang telah membuat Pandawa lari tunggang langgang. Karna juga membuat si otot kawat tulang besi, Gatot kaca meregang nyawa.

Patung Arjuna Wijaya--city-data.com
Patung Arjuna Wijaya--city-data.com
Patung yang dibangun pada bulan Agustus 1987 akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto. Pada peresmiannya Pak Harto menyampaikan makna filosofis pada sebuah tulisan yang tersemat pada patung itu "Kuhantarkan kau melanjutkan perjuangan dengan pembangunan yang tidak mengenal akhir".

Namun bila ditilik lebih jauh lagi, prasasti-prasasti yang ikonik di jantung Ibu Kota dan telah berdiri tegak sampai saat ini ternyata mayoritas adalah prasasti "warisan Bung Karno". Tengoklah prasasti paling monumental di Jakarta, Monumen Nasional adalah mahakarya yang dibangun atas instruksi Bung Besar.

Proyek pengerjaannya dimulai dengan cara yang unik, dimana Bung Besar mengendarai sendiri alat berat dan menabrakannya pada sebuah tali besar sebagai proses "gunting pita".

Dalam sebuah wawancara untuk penyusunan Otobiografi miliknya yang kelak diberi judul "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat", Cindy Adams pernah mewawancarainya.

"Ada kritik yang mengatakan bahwa Presiden Soekarno lebih mementingkan monumen dibanding kepentingan rakyatnya. Apakah menurut Anda penting bagi rakyat untuk memiliki sebuah monumen?"

Bung Karno dengan baju khas kebesarannya, duduk di atas sofa sambil menghisap sebuah rokok bertanya balik pada Cindy Adams "Kenapa pemerintah Amerika membuat monumen George Washington untuk rakyat Amerika?"

Bung Karno meneruskan bahwa penting bagi sebuah bangsa memiliki sebuah monumen untuk pembentukan mental bangsa tersebut.

Dalam sejarahnya Monumen Nasional memang merupakan sebuah proyek ambisius Sang Proklamator yang dibangun pada awal tahun 1960-an ketika Indonesia tengah mengajukan diri sebagai tuan rumah Asian Games ke-4 tahun 1962. Dengan Monas, Bung Karno ingin menunjukan kebesaran bangsa Indonesia.

Tak pelak kritik datang dari berbagai pihak, pasalnya kondisi perekonomian Indonesia tengah morat-marit, utang pemerintah mulai menumpuk, inflasi menjulang tinggi dan kegiatan ekspor cukup lesu.

Bung Karno bergeming dengan segala kritik. Alih-alih menghentikan, Bung Besar menginstruksikan agar pembangunan diteruskan. Ketua Panitia Pembangunan Monumen Nasional pun dijabat Bung Karno sendiri.

Prasasti warisan Sang Putera Fajar lainnya adalah patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia (HI) yang dibangun khusus untuk menyambut kehadiran 144 delegasi yang datang dari mancanegara dalam perhelatan olah raga akbar se-Asia yaitu Asian Games 1962.

Patung setinggi 6 meter yang disangga oleh 2 pilar beton tersebut diperuntukan agar para tamu yang datang melalui pesawat terbang dapat melihat langsung patung dari pesawat udara. Lambaian tangan dan bunga adalah cermin sifat keramahan masyarakat Indonesia.

Patung Pembebasan Irian Barat--fineartamerica.com
Patung Pembebasan Irian Barat--fineartamerica.com

Jakarta Vintage

Warisan lainnya dari Presiden Indonesia pertama itu adalah Patung Pembebasan Irian Barat yang terletak di Lapangan Banteng. Patung seberat 8 ton tersebut menggambarkan sosok pemuda yang berhasil mematahkan belenggu rantai baik pada kedua tangannya maupun kedua kakinya.

Patung tersebut didirikan untuk mengenang jasa-jasa para pejuang dan masyarakat Irian Barat yang terbebas dari cengkraman Belanda dan kembali pada pangkuan Ibu Pertiwi.

Posisi patung menghadap ke arah barat untuk menunjukan pada dunia barat bahwa Indonesia adalah negeri yang mandiri dan merdeka. Diresmikan oleh Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1963.

Prasasti lainnya adalah Patung Dirgantara atau biasa dikenal dengan Patung Pancoran. Patung Dirgantara menggambarkan tokoh pewayangan Gatot Kaca yang menjulurkan tangan kanannya menuju udara dan siap untuk terbang. Berdiri diatas pilar beton setinggi 27 meter dengan tinggi 11 meter.

Menurut pakar sejarah Asvi Warman Adam, inspirasi pembangunan patung tersebut adalah berhasilnya Yuri Gagarin, seorang perwira Angkatan Udara Uni Soviet sebagai orang yang pertamakali menerbangkan pesawat ke luar angkasa. Patung itu sebagai simbol semangat pada anak negeri untuk selalu berkarya dan bercita-cita setinggi langit.

Ketiga patung tersebut, Patung Selamat Datang, Patung Pembebasan Irian Barat, dan Patung Dirgantara dibuat oleh seorang maestro pematung, Edhi Sunarso atas instruksi Bung Karno. Bung Karno telah menanamkan rasa patriotisme dan nasionalisme kepada Edhi untuk membuat patung-patung tersebut.

"Apakah aku harus mendatangkan seniman asing untuk menggarap patung itu?" pertanyaan Bung Karno tersebutlah yang melecut semangat Edhi Sunarso.

Patung Dirgantara adalah patung yang belum pernah diresmikan hingga saat ini. Ketika itu Indonesia sedang mengalami masa transisi pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Status Bung Karno sedang dalam tahanan rumah dan sudah tidak mempunyai akses lagi ke keuangan negara.

Karena utang untuk membiayai pembuatan patung telah menumpuk, Edhi menghadap Bung Karno. Bung Karno menegaskan komitmennya dengan menjual mobil hadiah dari negara lain. Hasil penjualannya 100 persen digunakan agar pembuatan patung terus berlanjut.

Ketika proses pembuatan patung hampir rampung, Bung Besar pulang untuk selamanya. Mobil jenazah Bung Karno melewati Patung Dirgantara. Edhi pun mengikuti acara pemakaman Bung Karno di Blitar. Kelak, Edhi pun harus menjual rumahnya karena Patung Dirgantara masih menyisakan setumpuk utang.

"Sudah, ini sudah milik bangsa, sudah terpasang, apapun yang terjadi ya sudah. Bapak sangat berhati besar, itu sudah jadi milik bangsa. Artinya, bangsa ini harus terus merawat, menghargai hasil karya anak bangsanya sendiri, hasil karya cita-cita presidennya sendiri, jangan pernah disalah artikan" demikian dikatakan Satya Sunarso (Putra Edhi Sunarso) dalam Film Dokumenter Tiga Patung Kebanggaan Bangsa.

Dr. Hilmar Farid, penulis buku Kisah Tiga Patung mengatakan mengenai latar belakang Bung Karno menginisiasi pembuatan patung-patung tersebut. Menurutnya Jakarta dibangun oleh pihak kolonial di mana struktur, planologi, tata kota dan arsitekturnya bernuansa kolonial. Pembuatan patung-patung itu adalah upaya untuk mengubah wajah Jakarta yang kolonial menjadi nasional.

"Hanja bangsa jang menghargai pahlawan-pahlawannja dapat menjadi bangsa jang besar" demikian sebuah tulisan yang tersemat pada Patung Pahlawan atau dikenal dengan Patung Tugu Tani sebagai pengingat kepada masyarakat Indonesia untuk dapat merawat negeri dengan mengingat jasa para pahlawannya.

Keberadaan patung-patung tersebut menggambarkan bahwa semangat nasionalisme yang ditujukan baik oleh Bung Karno maupun Pak Harto tidak hanya diwujudkan dalam panggung politik, namun juga diimplemetasikan dalam bidang kebudayaan.

Prasasti dalam bentuk patung-patung itu seolah ingin menunjukan kepada dunia bahwa Indonesia merupakan negara besar yang mempunyai kepribadian dan budaya yang luhur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun