Delapan kuda gagah berlari kencang menerjang medan perang, di belakang kuda terlihat kelibat bayang yang berjenjang. Gerak mereka bergelombang, berjuang dan menyerang.
Kedelapannya menggambarkan simbol alam semesta yang disebut Asta Batra, yaitu kisma (bumi), surya (matahari), agni (api), kartika (bintang), baruna (samudera), samirana (angin), tirta (air), dan candra (bulan).
Sang sais pedati bukanlah kusir biasa, dia adalah Sang Batara Kresna, aktor intelektual pada perang maha dahsyat di rimba Khuruksetra. Sementara di belakangnya tampak berdiri elegan sang Ksatria pilih tanding, tokoh panutan dari Pandawa, Arjuna yang menggenggam erat busur panah Gandiwa pemberian Batara Agni, dimana anak panahnya tiada akan pernah habis dilepaskan.
Itulah gambaran patung Arjuna Wijaya yang berdiri jemawa selama lebih dari tiga dasawarsa di gerbang utama Jalan Medan Merdeka Barat. Patung tersebut dibuat oleh sang Maestro asal Bali, Nyoman Nuarta atas keinginan Presiden Soeharto.
Sepulang kunjungan kerja dari Turki, Presiden Soeharto merasa takjub akan kondisi di negeri Ottoman di mana banyak patung dan prarasati yang menggambarkan kegemilangan Turki di masa lalu.
Beliau meminta Nyoman Nuarta, Sang Maestro untuk membuat prasasti yang mempresentasikan bangsa Indonesia yang sesuai nilai-nilai filosofi dan histori negeri Nusantara. Patung tersebut menggambarkan kejadian paling epik dari kisah paling populer pada Kitab Mahabaratha.
Patung tersebut menceritakan peristiwa terakhir dari perang Baratayuda dimana Batara Kresna sedang mengantarkan Arjuna ke medan perang untuk bertarung dengan kakaknya sendiri, Adipati Karna sang pemilik senjata paling mematikan Konta Wijaya yang telah membuat Pandawa lari tunggang langgang. Karna juga membuat si otot kawat tulang besi, Gatot kaca meregang nyawa.
Namun bila ditilik lebih jauh lagi, prasasti-prasasti yang ikonik di jantung Ibu Kota dan telah berdiri tegak sampai saat ini ternyata mayoritas adalah prasasti "warisan Bung Karno". Tengoklah prasasti paling monumental di Jakarta, Monumen Nasional adalah mahakarya yang dibangun atas instruksi Bung Besar.
Proyek pengerjaannya dimulai dengan cara yang unik, dimana Bung Besar mengendarai sendiri alat berat dan menabrakannya pada sebuah tali besar sebagai proses "gunting pita".
Dalam sebuah wawancara untuk penyusunan Otobiografi miliknya yang kelak diberi judul "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat", Cindy Adams pernah mewawancarainya.