[caption caption="Jurnalis Pelajar-Juwiter mengucapkan Selamat Hari Kartini"][/caption]Ichsantiarini, Aravinda Pravita (Esai 2011) mengatakan atas nama emansipasi, perempuan membunuh peradaban dengan menghancurkan sosok-sosok kepemimpinan dalam diri generasi yang mereka tinggalkan di tangan baby sitter. Di Lombok belum banyak keluarga yang mampu membayar baby sitter, namun pasti mampu memberikan mereka uang jajan mengiringi langkahnya bersama pakain putih biru/abu-abu, namun tak sedikit yang membiarkan generasi bangsa ini tumbuh dalam kebekuan hati, sehingga “Saya mantan siswa pernah merasakan lebih tersanjung dan termotivasi dengan kenyamanan kasih sayang palsu mantan pacarku dari pada motivasi dari...........”.
Oleh : Emzet Juwiter
Suatu malam, luput dari catatan tanggal berapa?. Saya berjalan di depan Kantor Bazda Kabupaten Lombok Timur. Sepi, sengaja, mencari fakta terkait sebuah cerita dan juga pengalaman bahwa seringkali di lokasi itu remaja cewek-cowok berkumpul mesra, entah karena ada hubungan asmara atau memang karena lokasi itu sepi.
Di seputar jalan itu, mungkin karena mereka mengganggap Saya orang gila yang berjalan sendiri, maka melintasnya raga ini, bukan gangguan bagi mereka. Dalam waktu bertepatan, terdengar teriakan mengundang nafsu dari salah satu teman mereka. Terkesan main-main memang, namun kata itu tak akan keluar jika bukan merupakan sebuah kebiasaan.
“Besar ya, lihat pe besar kan,”penggalan suara itu mengundang tawa temannya dan memancing nafsu ini untuk menoleh, ternyata cewek itu dalam perkiraan masih SMA, tak menutup kemungkinan masih SMP, sedang menyingkap pakaian seksinya dan memamerkan barang berharga miliknya.
Jika Pembaca tak percaya cerita ini, maka tanyakan salah satu saksi yang ternyata, semula hanya ingin menjadi koleksi inspirasi menebar kata yang semoga bisa menjadi sebuah kebijakan. Singkat tema, malam itu, teman itu ada di dalam halaman Kantor. Bersembunyi.
Ketika membahas generasi zaman sekarang, diterangkannya, peristiwa serupa di depan gerbang itu sering terjadi bahkan lebih, maka tanyakanlah kepada penjaga di Kantor itu yang tak tau harus berbuat apa, begitupun Aku.
Pertanyaannya adalah apakah Kita akan menyalahkan Zaman? Tidak adakah upaya preventif untuk itu? Atau membuat mereka lebih tersanjung di Kelompok Remaja yang lebih produktif, karena tak sedikit pula remaja yang menggunakan malamnya untuk belajar kelompok?.
Bergabung di kelompok belajar, kelompok ekstrakurikuler, OSIS dan sebagainya tentu lebih baik. Lalu mereka yang berkumpul mesra disana, layaknya dalam kurung mungkin disebuah wisata halal, mau diapakan?.
Dua Puluh Satu April tinggal menghitung hari. Sebuah tanggal yang ditetapkan sebagai Hari Kartini. Bagi penulis hari itu adalah Hari aksi, bukan untuk berteriak minta perhatian, bukan pula untuk berjalan memacetkan jalan raya. Bukan pula untuk menghabiskan anggaran pamer citra kaum perempuan.
Hari itu adalah hari untuk membangun kebijakan bagaimana memberdayakan generasi kaum hawa yang seringkali menjadi catatan sejarah, “Annisa Imaadul Bilad”. Hingga dimasa depan nanti sosok Ibu yang hanya ditemui di malam hari menjelang tidur, “Yang mengajari anak-anak arti kejujuran, pentingnya menghargai orang lain, hingga hal yang paling esensi, religiusitas dan sebagainya jangan sampai tergadaikan oleh pembiasaan perempuan mengejar kesamaan,”kata Aravinda Pravita.
Tulisan diatas menjadi renungan bersama. Adalah sebuah semangat Kartini untuk menempatkan perempuan sesuai dengan harkat dan martabatnya kini dimodifikasi dalam persepsi liar yang salah kaprah. Tanpa disadari, siswi-siswi kita banyak yang terjerumus ke dalam penjajahan modern oleh emansipasi itu sendiri. Ironisnya, kadangkala kita menjauhi mereka dan mencemooh mereka.
Sampai akhirnya, kebebasan yang diterimanya ketika mulai mengenal hidup dimaknai tanpa batasan hingga kebablasan. Disisi yang sama Paradoks kegetiran telah tercermin nyata pada degradasi moral dan respons pemangku pendidikan terhadap siswi dan siswa nakal. Lebih ironis lagi, kok pemecatan menjadi solusi?.
Dengan dalih kebebasan, siapa yang akan disalahkan jika siswi yang pernah kita didik sebagai syarat sebab kita bisa makan, suatu saat berlomba-lomba membebaskan diri dari pakaian mereka dan mengeksplor setiap bagian tubuhnya pada khalayak. Maka apakah kita akan apatis dan enggan tau atas nama emansipasi, kita ikhlas melihat mereka berekspresi menjadi realisator unggul pengobralan kehormatan kaum Ibu kita.
Siapa yang akan disalahkan dan berdosa jika mereka dengan percaya diri, suatu saat hanya menggunakan secarik kain, berjalan mondar mandir dengan bangga meliuk-liuk di atas catwalk dan merelakan dirinya dinikmati khayalan lelaki.
Apakah kita akan tetap apatis, cuek tidak mau tau dan tidak ingin membina satu saja, dua saja, tiga saja kelompok mereka generasi syarat sebab sertifikasi itu untuk bisa tidak secara terang-terangan dan rahasia karena tak punya skill menjadi budak nafsu ketika mereka terpaksa melakukan itu. Dengan bangga kita akan sedikit malu mengatakan bahwa Saya pernah menjadi wali kelasnya.
Karena bagaimanapun juga, kriminalitas berupa eksploitasi perempuan kini menjamur di negeri
ini. Lihatlah di berbagai alat dan media, dari video clip, film, olahraga, novel, bahkan sampai iklan dongkrak mobil untuk sebuah pencitraan, kesannya, jika tak ada perempuan maka tidak afdhol jika tidak menampilkan sosok kaum hawa sebagai icon-nya dan semoga itu bukan siswi yang pernah kita bina.
Ichsantiarini Aravinda Pravita menyebutkan beberapa fakta terkait bagimanamana sebab dan akibat dari miskonsepsi Emansipasi. Digambarkannya, dalam menarik dari ajang FFI (Festifal Film Indonesia) yang digelar pada tahun 2006. Cukup lama tapi tapi tak kunjung menjadi pelajaran.
Diungkapkan oleh dewan juri bahwa 85% film cerita lepas yang masuk seleksi, sekitar 162 judul film, semuanya bertajuk eksploitasi perempuan dalam beragam bentuk, dari tindak kekerasan hingga obral kecantikan. “Mirisnya, lagi-lagi pledoi justru kembali hadir dari perempuan itu sendiri,” ketusnya. Selain itu masih terngiang pula betapa alotnya kontroversi terkait pengesahan RUU APP (Antipornoaksi dan Pornografi).
Mayoritas animo kontranya pun perempuan. Alasannya selalu sama, atas nama emansipasi, hak mengekspresikan diri, kebebasan untuk berkarya, dan pamungkasnya, semua itu disebut bagian dari seni. Pertanyaannya, Seni macam apa yang dimaksud? Apakah Seni pelecehan martabat perempuan oleh perempuan?, tanyanya.
Nasib Bangsa ini adalah nasib dari potret para penghuninya sendiri. Kita adalah penghuninya dan Saya bukan perempuan, bukan pula guru yang terdaftar memiliki NUPTK, namun karena perempuan adalah Ibu saya, Anak Saya, Nenek Saya, Guru-guru saya maka semoga suatu saat nanti bisa lahir perempuan yang sadar untuk saling membina, bukan saling menghina.
Perempuan yang menyadari bahwa keindahan tubuh kaumnnya membuat Internet Pornography Statistic, menempatkan Indonesia mulanya ada pada peringkat ketujuh dunia sebagai negara pengakses pornoografi terbesar. Kondisi ini kemudian terus meningkat menjadi peringkat kelima pada tahun 2007 dan pada akhirnya meraih peringkat ketiga pada tahun 2009, entah lah tahun ini?.
Siswiku, izinkan Saya memanggil demikian, meskipun Saya bukan mengisi raportmu, bukan mengisi jadwal mata pelajaranmu yang banyak meninggalkan pendidikan karakter, skill dan hanya sebatas mengisi tuntutan kurikulum, tugas dan apapun namanya. Cobalah mandiri mengembangkan diri, meskipun keapatisan bernyanyi di sekelilingmu.
Lahirkanlah perempuan atau sahabatmu yang membangun skill, menghindarkannya agar tidak menjadi (calon) sasaran dan (calon) korban dari fakta rahasia yang sengaja disembunyikan. Bangunkanlah aktiitas yang menjauhkan sahabat-sahabatmu dari calon-calon pengemis pekerjaan dengan memenuhi syarat menggadaikan diri, enam bulan kemudian di-PHK (dirumahkan) karena mereka sudah membosankan “tak punya skill” dan disisi yang sama negeri ini tak punya uang untuk menggaji.
Pegang pikirannya, ajak sahabat-sahabatmu bercita-cita menjadi Ibu dan Istri dari suamimu. Generasi yang menutup aurat. Berikan bimbingan sehalus mungkin, agar sahabat-sahabat kta tidak menjual wajah cantiknya dengan selfie dan mengunggahnya atau menjadi objek photography yang sangat dekat dengan pornography dan semoga jauh dari ending menantang bernama Pornoaksi.
Dari sekarang, pilih aktivitas bermoral yang bisa membangun kedewasaanmu dan sahabatmu dalam berfikir. Ada kelompok belajar. Ada Pramuka, ada PMR. Lebih baik lagi remaja Masjid. Jika tak ada karena budaya yang sudah kian membunuh, maka berdoalah, bangunlah, itu lebih baik dari sebuah ketertarikan kepada aktivitas-aktivitas yang jauh dari pantauan sekolahmu.
Ada juga bentuk aktivitas lain sejenis ekstrakurikuler yang memang Indah dan menyenangkan. Namanya Photografy. Diakui memang seni dan kebutuhan, namun diusiamu yang masih labih, maka cukuplah dua kebutuhan itu menjadi gaya hidup kaum-kaum yang sudah dewasa. Kaum-kaum yang sudah mampu memikirkan matang dampak positif dan negatifnya sebuah tindakan.
Kalian boleh mengatakan kami sudah dewasa, dan ini akan berguna di masa depan. Tapi buktinya diluar pantaun, siapa yang tau jika ketika Engkau memamerkan Indah Tubuhmu yang tersorot lensa kamera, maka teman lelakimu yang memegang kamera itu, apakah kalian yakini tak beronani dalam nafsunya. Begitupun Engkau? Maka melalui moment menuju Hari Kartini 2016 ini, Saya yang lemah ini berharap, jangan ada Sekolah yang mengizinkan Ekstrakurikuler Photografy. Kasian Perempuan.
Apalagi ada Ekstrakurikuler yang dirintis untuk memacu prestasi, inovasi dan transparansi pula memotivasi minat menulis dan membaca dikalangan kaum usia labil, bernama Ekstrakurikuler Jurnalistik. Sangat Ironis kegiatan remaja diluar KBM yang sangat bermanfaat itu digabungkan langsung dengan nama Ekstrakurikuler Jurnalistik dan Fhotografy di MA pula.
“Ber-ide dan berekspresi bebas si bole saja” namun pikirkan pula dampaknya di luar pantauan Sekolah. Apalagi, suatu saat nanti tentu kelabilan siswa dengan minat-minat yang menyenangkan akan semakin menindih pendidikan-pendidikan karakter yang kian hari semakin tergelincir.
Karena lihatlah prestasi yang cukup membanggakan untuk negeri ini. Indonesia kita dinobatkan sebagai negara peringkat ke-62 dengan kasus pelecehan seksual terbesar di dunia pada tahun 2008. Selain itu terdapat beberapa gambaran tentang Perempuan, dirimu nak, sebagai calon Ibu dari generasi bangsa ini, yang tentu tetap diharapkan tetap menjadi Ibu. Berikut Ichsantiarini, Aravinda Pravita menggambarkannya ;
Pada tahun 2008 Indonesia mengalami peningkatan kasus kejahatan konvensional sekitar 1,3 %. Dari 153.392 kasus perkosaan di tahun 2007 menjadi 155.413 kasus di 2008
sebanyak 2.021 perempuan dihancurkan kehormatannya hanya dalam waktu satu tahun! Parahnya, kehancuran moral ini tidak hanya menelan korban perempuan dewasa, tetapi juga anak-anak. UNICEF mensinyalir 30 % kegiatan prostitusi di Indonesia melibatkan anak yang berusia di bawah 18 tahun, atau sekitar 40 ribu sampai 75 ribu anak perempuan Indonesia telah menjadi korban eksploitasi
Permasalahan yang ditimbulkan pun semakin kompleks dengan berkembangnya budaya seks bebas sebagai cabang dari upaya memaknai kebebasan perempuan yang salah kaprah. Bebas berhubungan dengan siapapun tanpa perlu terikat oleh pernikahan. Cukup mengejutkan karena berdasarkan survei BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana) di tahun 2008, 63% remaja SMP dan SMA di Indonesia sudah pernah melakukan seks bebas.
Wajah bangsa ini pun semakin hancur dengan penyebaran penyakit menular seksual yang tidak terbendung. Pada September 2008, 15.210 warga Indonesia positif terjangkit AIDS. Luar biasa! Betapa berjasanya mispersepsi emansipasi menanamkan kebebasan nirmakna tanpa bisa dipertanggungjawaban.
Setiap tahun terdapat sekitar 2,6 juta kasus aborsi, atau 300 tindakan pengguguran janin tak berdosa setiap jamnya di negeri ini. Tujuh ratus ribu di antaranya dilakukan oleh perempuan berusia di bawah 20 tahun dan 11,13 %-nya dilakukan karena kehamilan di luar nikah. Berhubungan sebebas-bebasnya, kemudian membebaskan diri dari tanggung jawab dengan merampas kebebasan makhluk Tuhan untuk hidup. Inikah semangat emansipasi? Mispersepsi emansipasi semakin kronis dalam upaya memaknai kesetaraan hak laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan disalah artikan dalam kesamaan hak dengan kaum pria di segala bidang. Hingga atas nama semangat emansipasi, perempuan saat ini berlomba-lomba untuk keluar rumah, berkarier demi mengejar kesamaan finansial dengan kaum pria hingga lupa pada kewajiban utamanya, mendidik anak-anak. Akibatnya, generasi penerus menjadi tak terurus. Pendidikan moral yang sejatinya diperoleh di rumah terabaikan. Krisis keteladanan pun memperparah daftar panjang
deretan kasus yang meramaikan meja hijau setiap harinya.
Carut marut degradasi moral telah mencekik bangsa ini dalam detik-detik menuju momentum nekrosis. Hingga hari ini, saat Indonesia dibuat pusing oleh korupsi yang merajalela, sadar atau tidak, perempuan memegang andil besar di balik bencana tersebut. Lalu, sampai kapan perempuan akan bersikukuh dengan semangat emansipasi yang salah kaprah? Membiarkan wajah peradaban luluh lantak oleh moralitas anak bangsa yang semakin kacau? Sudah saatnya kebebasan berpikir dan berpendapat yang digaungkan emansipasi digunakan secara objektif.
Semua kekacauan yang ada dimulai oleh perempuan, maka pembenahannya pun harus dilakukan dari diri perempuan. Kunci perbaikan itu adalah pendidikan. Pendidikan utamanya ditujukan untuk merubah paradigma emansipasi yang keliru kepada hakikat sesungguhnya. Kebebasan menentukan pilihan dalam hidup yang dimaknai seiring fitrahnya sebagai perempuan, bukan kebebasan yang tanpa acuan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana yang diungkapkan Kartini dalam salah satu suratnya ke Profesor Anton - masih dalam kitab emansipasi
Perempuan Indonesia Habis Gelap Terbitlah Terang - :
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”
Siswiku, jadilah dari bagian apa yang direnungkan sumber utama tulisan ini, Seandainya semua perempuan memahami betul betapa berharga dirinya dan tugas mulia yang diembannya, tidak akan ada lagi kasus-kasus mengerikan tersebut di negeri ini. Kesadaran bahwa secara kodrati perempuan berbeda dengan pria baik secara fisiologis maupun emosional mampu mengurangi risiko sebuah persaingan tanpa batas antara pria dan perempuan dalam memenuhi peran dan menjalankan berbagai aktivitas. Yang terjadi justru sebuah harmoni. Saat perempuan dan laki-laki saling melengkapi. Sebab, ada ukuran lain yang dapat dipakai dalam kesetaraan, yaitu rasa keadilan.
Saat pemahaman akan hakikat emansipasi yang sesungguhnya telah mengakar dalam diri perempuan, maka semangat emansipasi akan berbalik menjadi energi positif dalam menyatukan serpihan-serpihan cermin yang retak dan membangun keutuhan wajah peradaban. Dimulai dengan kembalinya perempuan kepada kodratnya hingga pelaksanaan tanggung jawab utamanya dalam mencetak generasi penerus yang berkualitas. Seandainya semua wanita memahami tanggung jawab besar ini dan dapat membina dengan baik keluarganya, dapat dipastikan bahwa refleksi peradaban Indonesia yang baik pun akan segera tercipta dengan sendirinya.
Akhir kata mari direnungi ungkapan presiden Tanzania berikut “Jika Anda mendidik seorang pria, maka Anda hanya mendidik seorang manusia. Jika Anda mendidik seorang wanita, maka Anda telah mendidik seluruh manusia. Maka melalui kesempatan ini, menjelang 21 April 2016, mari jauhkan hal-hal yang membuatmu dekat dengan shirot penistaan
(wallahua’lam, Emzet G al-Kautsar, dari berbagai sumber)
Selamat Hari Kartini, 21 April 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H