Lahirkanlah perempuan atau sahabatmu yang membangun skill, menghindarkannya agar tidak menjadi (calon) sasaran dan (calon) korban dari fakta rahasia yang sengaja disembunyikan. Bangunkanlah aktiitas yang menjauhkan sahabat-sahabatmu dari calon-calon pengemis pekerjaan dengan memenuhi syarat menggadaikan diri, enam bulan kemudian di-PHK (dirumahkan) karena mereka sudah membosankan “tak punya skill” dan disisi yang sama negeri ini tak punya uang untuk menggaji.
Pegang pikirannya, ajak sahabat-sahabatmu bercita-cita menjadi Ibu dan Istri dari suamimu. Generasi yang menutup aurat. Berikan bimbingan sehalus mungkin, agar sahabat-sahabat kta tidak menjual wajah cantiknya dengan selfie dan mengunggahnya atau menjadi objek photography yang sangat dekat dengan pornography dan semoga jauh dari ending menantang bernama Pornoaksi.
Dari sekarang, pilih aktivitas bermoral yang bisa membangun kedewasaanmu dan sahabatmu dalam berfikir. Ada kelompok belajar. Ada Pramuka, ada PMR. Lebih baik lagi remaja Masjid. Jika tak ada karena budaya yang sudah kian membunuh, maka berdoalah, bangunlah, itu lebih baik dari sebuah ketertarikan kepada aktivitas-aktivitas yang jauh dari pantauan sekolahmu.
Ada juga bentuk aktivitas lain sejenis ekstrakurikuler yang memang Indah dan menyenangkan. Namanya Photografy. Diakui memang seni dan kebutuhan, namun diusiamu yang masih labih, maka cukuplah dua kebutuhan itu menjadi gaya hidup kaum-kaum yang sudah dewasa. Kaum-kaum yang sudah mampu memikirkan matang dampak positif dan negatifnya sebuah tindakan.
Kalian boleh mengatakan kami sudah dewasa, dan ini akan berguna di masa depan. Tapi buktinya diluar pantaun, siapa yang tau jika ketika Engkau memamerkan Indah Tubuhmu yang tersorot lensa kamera, maka teman lelakimu yang memegang kamera itu, apakah kalian yakini tak beronani dalam nafsunya. Begitupun Engkau? Maka melalui moment menuju Hari Kartini 2016 ini, Saya yang lemah ini berharap, jangan ada Sekolah yang mengizinkan Ekstrakurikuler Photografy. Kasian Perempuan.
Apalagi ada Ekstrakurikuler yang dirintis untuk memacu prestasi, inovasi dan transparansi pula memotivasi minat menulis dan membaca dikalangan kaum usia labil, bernama Ekstrakurikuler Jurnalistik. Sangat Ironis kegiatan remaja diluar KBM yang sangat bermanfaat itu digabungkan langsung dengan nama Ekstrakurikuler Jurnalistik dan Fhotografy di MA pula.
“Ber-ide dan berekspresi bebas si bole saja” namun pikirkan pula dampaknya di luar pantauan Sekolah. Apalagi, suatu saat nanti tentu kelabilan siswa dengan minat-minat yang menyenangkan akan semakin menindih pendidikan-pendidikan karakter yang kian hari semakin tergelincir.
Karena lihatlah prestasi yang cukup membanggakan untuk negeri ini. Indonesia kita dinobatkan sebagai negara peringkat ke-62 dengan kasus pelecehan seksual terbesar di dunia pada tahun 2008. Selain itu terdapat beberapa gambaran tentang Perempuan, dirimu nak, sebagai calon Ibu dari generasi bangsa ini, yang tentu tetap diharapkan tetap menjadi Ibu. Berikut Ichsantiarini, Aravinda Pravita menggambarkannya ;
Pada tahun 2008 Indonesia mengalami peningkatan kasus kejahatan konvensional sekitar 1,3 %. Dari 153.392 kasus perkosaan di tahun 2007 menjadi 155.413 kasus di 2008
sebanyak 2.021 perempuan dihancurkan kehormatannya hanya dalam waktu satu tahun! Parahnya, kehancuran moral ini tidak hanya menelan korban perempuan dewasa, tetapi juga anak-anak. UNICEF mensinyalir 30 % kegiatan prostitusi di Indonesia melibatkan anak yang berusia di bawah 18 tahun, atau sekitar 40 ribu sampai 75 ribu anak perempuan Indonesia telah menjadi korban eksploitasi
Permasalahan yang ditimbulkan pun semakin kompleks dengan berkembangnya budaya seks bebas sebagai cabang dari upaya memaknai kebebasan perempuan yang salah kaprah. Bebas berhubungan dengan siapapun tanpa perlu terikat oleh pernikahan. Cukup mengejutkan karena berdasarkan survei BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana) di tahun 2008, 63% remaja SMP dan SMA di Indonesia sudah pernah melakukan seks bebas.
Wajah bangsa ini pun semakin hancur dengan penyebaran penyakit menular seksual yang tidak terbendung. Pada September 2008, 15.210 warga Indonesia positif terjangkit AIDS. Luar biasa! Betapa berjasanya mispersepsi emansipasi menanamkan kebebasan nirmakna tanpa bisa dipertanggungjawaban.
Setiap tahun terdapat sekitar 2,6 juta kasus aborsi, atau 300 tindakan pengguguran janin tak berdosa setiap jamnya di negeri ini. Tujuh ratus ribu di antaranya dilakukan oleh perempuan berusia di bawah 20 tahun dan 11,13 %-nya dilakukan karena kehamilan di luar nikah. Berhubungan sebebas-bebasnya, kemudian membebaskan diri dari tanggung jawab dengan merampas kebebasan makhluk Tuhan untuk hidup. Inikah semangat emansipasi? Mispersepsi emansipasi semakin kronis dalam upaya memaknai kesetaraan hak laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan disalah artikan dalam kesamaan hak dengan kaum pria di segala bidang. Hingga atas nama semangat emansipasi, perempuan saat ini berlomba-lomba untuk keluar rumah, berkarier demi mengejar kesamaan finansial dengan kaum pria hingga lupa pada kewajiban utamanya, mendidik anak-anak. Akibatnya, generasi penerus menjadi tak terurus. Pendidikan moral yang sejatinya diperoleh di rumah terabaikan. Krisis keteladanan pun memperparah daftar panjang
deretan kasus yang meramaikan meja hijau setiap harinya.
Carut marut degradasi moral telah mencekik bangsa ini dalam detik-detik menuju momentum nekrosis. Hingga hari ini, saat Indonesia dibuat pusing oleh korupsi yang merajalela, sadar atau tidak, perempuan memegang andil besar di balik bencana tersebut. Lalu, sampai kapan perempuan akan bersikukuh dengan semangat emansipasi yang salah kaprah? Membiarkan wajah peradaban luluh lantak oleh moralitas anak bangsa yang semakin kacau? Sudah saatnya kebebasan berpikir dan berpendapat yang digaungkan emansipasi digunakan secara objektif.
Semua kekacauan yang ada dimulai oleh perempuan, maka pembenahannya pun harus dilakukan dari diri perempuan. Kunci perbaikan itu adalah pendidikan. Pendidikan utamanya ditujukan untuk merubah paradigma emansipasi yang keliru kepada hakikat sesungguhnya. Kebebasan menentukan pilihan dalam hidup yang dimaknai seiring fitrahnya sebagai perempuan, bukan kebebasan yang tanpa acuan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana yang diungkapkan Kartini dalam salah satu suratnya ke Profesor Anton - masih dalam kitab emansipasi